Minggu, 02 Agustus 2009

Semar;

Tokoh Misterius, Sumber Kearifan*

Oleh H. Bambang Murtiyoso, S. Kar., M. Hum.

(STSI Surakarta)


Text Box: Pernah jadi wanitaSampai makalah ini selesai disusun pem­bicaraan tentang Semar, tokoh wayang kulit purwa, belum usai. Arinya, setiap orang ingin menge­tahui apa dan siapa Semar yang sebenarnya tidak dapat tuntas, apa­lagi memuaskan. Senar, tokoh fiktif, reka­an, atau sebenarnya nyata-nyata ada? Belum ada jawaban yang pasti; ter­gantung dari sudut pandang dan pe­maham­­an se­tiap orang. Dengan demi­kian mungkin benar-benar ada atau pernah ada, te­tapi juga barangkali memang tidak pernah ada.

*

* Keunikan Semar, atas dasar narasi dan garapan cerita yang disajikan para dalang, adalah seperti di bawah ini.

1. Asli wayang Jawa, tidak terdapatkan dalam kitab wira­carita Maha­barata dan Ramayana.

2. Semar lahir dari putih telor, hasil ciptaan Sang Hyang Tunggal, ayah­nya.

3. Jenis kelamin Semar tidak jelas, bukan laki-laki, bukan perempuan, juga bukan banci; tetapi beristri (Kanastrèn) dan juga memiliki keturunan yang semua dewa (di antaranya: Yamadipati, Bongkokan, Kuwera, Candra, Surya, Kamajaya, Wrahaspati, Patuk, dan Temboro).

4. Meskipun lebih banyak berperan sebagai abdi, tetapi bukan manusia biasa, déwa ngéjawantah, sebab sebenarnya Semar adalah pen­jelmaan Sang Hyang Ismaya.

5. Asal yakin atas kebenarannya, Semar tidak pernah takut kepada siapa saja, meskipun Guru, pembesar para dewa sekalipun.

6. Semar sangat murka apabila kebenaran, kearifan, dan keadilan mulai dilecehkan serta para ksatria dikalahkan para tirani atau pendzalim.

7. Semar memiliki senjata yang berkekuatan sangat dahsyat, meski­­pun hanya berupa kentut.

Text Box: Kreasi Bambang Suwarno


Salah seorang paman saya, Sutomo, percaya benar bahwa Semar itu ada sampai sekarang, dan bertahta di sebuah goa di wilayah Gunung Srandil. Sejumlah penghayat kepercayaan yakin benar bahwa Semar itu ada, lazim­nya mereka memiliki foto ‘figur tertentu’ yang dipercaya sebagai Semar. Beberapa teman saya me­ngata­kan bahwa foto itu tidak sebanarnya, sebab obyeknya adalah lukisan, bukan makhluk hidup. Kesimpulan ini perlu di­cermati melalui penelitian yang didukung peralatan dan/atau teknologi mut­akhir yang ter­canggih. Makalah ini tidak membahas tentang eksistensi Semar, sebenarnya pernah ada atau tidak; akan lebih memusatkan perhatian pada kenyataan dalam jagat pedalangan yang pernah saya amati.

Para dalang sekarang menangkap figur Semar tidak berbeda dengan tokoh lain, sebagai pemeran dalam alur repertoar cerita wayang tertentu; bahkan banyak yang memerankan sama dengan panakawan lain, Garènng, Pétruk, dan Bagong. Para dalang sekarang ini, Semar lebih sering di­tampilkan sebagai seorang batur, gedibal sanga likur, badut, dagelan, atau humoris yang mbanyol sepanjang adegan. Pemeranan Semar, hanya se­bagai pelawak, semacam ini langka terjadi pada 30 tahun yang lalu.

Pada tiga dasawarsa lalu, apalagi sebelumnya, oleh sebagian besar para dalang, Semar didudukkan sebagai tokoh sangat istimewa: ‘déwa ngéjawantah, pamomonging para satriya, penasehat, pamomong para satriya pinilih, seperti ter­ungkap pada Sekar Pocung di bawah ini:

“Semar iku dadya darsaning rahayu,

yuwananing sedya,

supadya padha basuki,

yèn pinesu ambabar dadya warastra.”

‘Semar iku pamongé satriya tuhu,

Trahing Witaradya,

Tut wuri pan handayani,

Text Box: Semar CirebonYèn ngandika dadiya tepa tuladha.”

Tembang di atas menunjukkan bahwa Semar bukan sekedar pelawak, dagelan, atau humoris saja. Sebenarnya, dalam cerita wayang di Jawa, Semar beserta anak-anaknya¾Garèng, Pétruk, dan Bagong¾bukan se­kedar jongos yang mengikuti Pandawa dan keluarganya, tetapi seluruh tokoh ksatria yang suka memayu hayuning bangsa, memayu hayuning buwana, penegak kebenaran dan keadilan. Saya belum pernah menjumpai ada cerita wayang yang melukiskan tokoh Semar telah mengikuti pe­ngembaraan Rahwana, Cakil, Sengkuni, Burisrawa, dan Suyudana; meskipun semua pihak ingin mem­boyong­nya.

Dalam cerita Semar Boyong, dan beberapa repertoar lakon wayang yang lain, dikisahkan sejumlah raja sangat mengharap agar Semar bersedia tinggal di negara mereka, meskipun hanya beberapa saat. Para raja itu percaya apabila negara mereka ketempatan Semar akan memperoleh kedamaian, keaman­an, dan rakyatnya menjadi makmur sejahtera.

Text Box: Semar Jawatimuran Pada kondisi yang normal serta keseharian, Semar memang lebih bersikap pasif¾bahkan mengantuk seakan-akan pe­kerja­an utama¾sebab berkedudukan sebagai pana­kawan, abdi pendhèrèk, pamomong, atau kawan ber­cengkerama para ksatria. Pada kondisi yang demikian wajah Semar tergolong jelek, tua, berkeriput, mata sipit dan rembes; postur badan tambun dan pendek. Dalam keseharian seperti ini, Semar memang sering dijadikan bahan ejekan untuk mencari efek ketawa, tetapi senantiasa tenang, tetap sabar, justru larut dalam suasana humor.

Judul-judul lakon yang menggunakan nama Semar adalah seperti yang tertulis pada tabel di bawah ini.

1. Semar mBarang Jantur

2. Semar Boyong

3. Semar Tambal

4. Semar Kuning

5. Semar Tumbal

6. Semar Mantu

7. Semar mBangun Gedhong Kencana

8. Semar mBangun Kayangan

9. Semar mBangun Klampis Ireng

10. Semar mBabar Jatidhiri

11. Semar Raga atau Semar Kembar Papat

12. Semar Gugat

13. Semar Tambak

14. Gègèr Semar

Text Box: Semar Yogyakarta


Di luar 14 judul cerita itu, masih ada sejumlah ceritera yang peran Semar cukup penting, misalnya: Wisnu Krama, Manumayasa Rabi, Pandhu Lahir, Pandhu Krama, Mintaraga, Makutharama, Kilatbuwana, dan Gathutkaca Sungging. Hampir seluruh alur cerita di atas menunjukkan ekspresi protes, ke­marahan dan/atau kekuatan Semar yang sebenarnya dalam menghadapi krisis dunia yang sangat memuncak, kecuali cerita “Semar Boyong” dan “Semar mBarang Jantur” yang kadar protesnya kecil.

Apabila Semar sudah menunjukkan kekuatan yang sebenarnya, tidak ada satu pun tokoh wayang yang berani melawannya, meskipun para dewa di kayangan. Khususnya, para ksatria yang dibelanya akan sangat menghormat dan santun (dengan meng­guna­kan bahasa Jawa krama) kepada Semar saat-saat sedang menunjukkan kemarah­an­nya. Sebab, dalam kondisi yang demi­kian itu Semar bukan lagi panakawan, bukan batur, bukan wong cilik, bukan abdi, tetapi tokoh ber­kekuatan supra­natural yang ngédab-edabi, nggegirisi, ditakuti dan tak ter­kalahkan oleh siapa saja. Ekspresi kemarah­an ber­gantung tingkat per­masalah­an yang di­hadap­­i­nya; dapat tetap berwujud Semar, juga dapat ber­ubah total, lazim­nya menjadi ksatria yang sangat tampan.

Apabila Pandawa menghadapi masalah berat, para dalang masa lalu, Semar selalu tampil sebagai pemegang kunci pemecahan masalah, selain Kresna dan Abiyasa. Pada saat perang Baratayuda dimulai, Semar men­duduki tempat istimewa setara dengan Kresna, penasehat utama; sudah tidak lagi berkelana dengan ksatria ke hutan-hutan.

Dari uraian serba singkat tentang Semar dalam jagat pewayangan di atas, dapat dikatakan bahwa Semar merupakan tokoh khusus, penting, dan sentral. Apabila dibenarkan bahwa wayang merupakan salah satu ekspresi budaya¾yang terdiri atas pandangan, cita-cita, kehendak, simbo-simbol, keyakin­an, dan harapan-harapan¾maka Semar adalah simbol dari budaya Jawa secara lebih luas. Semar didudukkan sebagai simbol: kawula (rakyat atau wong cilik) yang sabar, narima, tawakal, dan penuh pengabdian. Sepanjang kebenaran dan keadilan tetap tegak Semar berperan sebagai rakyat. Apabila terjadi sebaliknya, keadilan dan kebenaran tidak tegak, tirani (kezaliman) merajalela serta pemimpin ber­tindak semena-mena, maka Semar akan melakukan protes keras dengan caranya

Pertanyaannya adalah, apakah keyakinan orang Jawa tentang Semar sudah ada sebelum wayang Ramayana dan Mahabarata berkembang di Jawa? Kalau Semar ada sebelumnya wujud ekspresinya seperti apa? Kalau adanya Semar setelah orang Jawa mengenal kebudayaan Hindu, kenapa? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dikembangkan dalam sarasehan yang terhormat malam ini.

Terlepas kapan Semar muncul dalam budaya Jawa, yang terpenting adalah melalui tokoh Semar kita dapat melacak serta mengacu sumber kearifan dan/atau kebijakan Jawa secara lengkap, berupa: kesahajaan, kesabaran, kesetia­kawanan/kerukunan, dan sejenis dengan sifat moral yang terpuji. Kearifan bersama sekarang ini sangat penting, agar eksistensi bangsa tetap tegak. Apabila kearifan bersama sudah dilupakan semua pihak, jangan harap krisis bangsa ini dapat teratasi. Semoga sarasehan kali ini mampu membuahkan hasil yang berfaedah bagi peserta, orang Jawa, bahkan Indonesia yang tercinta.

BIODATA

Nama : Bambang Murtiyoso, S. Kar., M. Hum.

Tempat/tanggal lahir : 24 Juli 1946

Pangkat/golongan : Pembina, IV/a

Jabatan : Lektor Kepala

Alamat : Jln. Kapten Mulyadi No. 304 Surakarta

Pendidikan :

1. Lulus S-1 ASKI Surakarta, tahun 1981

2. Lulus Magester pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gajah Mada Yogya­karta, tahun 1995

Jabatan di STSI Surakarta:

1. Dosen S-1 dan S-2;

2. Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat

Jabatan di luar STSI Surakarta:

1. Ketua Majelis SMKI Surakarta

2. Pengurus PEPADI Komda Jawa Tengah

3. Anggota Dewan Penasehat PEPADI Pusat Jakarta

4. Anggota Dewan Kebijaksanaan SENA WANGI di Jakarta

5. Ketua Yayasan Sesaji Dhalang ‘93

6. Ketua Paguyuban Penggemar Nartasabda “Sabdo Pandito.”

Lain-lain, tetapi penting:

1. pembicara dalam berbagai dialog seni,

2. penggagas pakeliran layar lebar “Sandosa” (1982),

3. penggagas Festival Greget Dalang 1995, per­tunjuk­an wayang selama 50 malam berturut-turut dalam rangka HUT RI ke-50 di Surakarta,

4. penulis naskah wayang dan kethoprak, dan

5. pengamat seni pertunjukan.



* makalah disajikan pada Sarasehan Budaya Jawa dalam rangka menyongsong tahun baru 1 Muharram 1424 H di Desa Tlogo, Prambanan Klaten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar