Minggu, 02 Agustus 2009

PELINTASAN YANG TERBATAS

PADA PERTUNJUKAN WAYANG KITA[*]

Oleh Bambang Murtiyoso

Pelintasan batas budaya akan selalu ter­jadi sepanjang sarana komunikasi & transportasi ter­buka. Dalam pelintasan demikian ini me­mungkin­­kan terjadinya dialog, tawar-menawar (Kayam), persilangan budaya, baik secara paksa maupun melalui proses alami, apabila ada dorongan kepentingan dari salah satu atau keduanya. Silang atau dialog yang terjadi dapat merubah bentuk budaya yang telah ada, bahkan apabila per­silangan berjalan secara radikal dapat melahirkan sebuah ‘wajah baru’ sama se­kali. Per­silangan dengan berbagai ekspresi­nya sejak lama telah terjadi dalam jagat pedalangan dan/atau pe­wayang­an, ter­utama di Jawa.

Kepentingan agama dan politik atau kekuasaan turut mewarnai proses persilangan dalam jagat wayang di masa lalu. Tercatat dalam sejarah pewayangan di Jawa, para cendekia­wan muslim masa lalu telah menyilangkan geneologi wayang secara cerdas. Batara Syiwa, yang dalam agama Hindu dipercaya sebagai salah satu dewa tertinggi, sejajar Brahma dan Wisnu, dalam wayang Jawa dirubah menjadi manusia biasa, sebagai keturunan Nabi Adam. Brahma dan Wisnu dikatakan sebagai anak Syiwa. Perubahan ini jelas didorong oleh ke­pentingan untuk mengganti sistem ketuhanan, yang semula polytheisme menjadi mono­theisme sesuai dengan aqidah Islam.

Wiracarita Ramayana dan Mahabarata di India merupakan dua siklus cerita yang terpisah, sekarang di Jawa telah bersilang secara mulus. Tokoh-tokoh dalam siklus Ramayana (seperti Rama, Lesmana, Anoman, Rahwana, dan Indrajid) telah melintas ‘zamannya’, sering muncul dalam kisah-kisah wayang pada episode-episode cerita Pandawa, tanpa menimbulkan masalah yang berarti. Perlu diteliti kebenar­annya, konon epik Ramayana merupakan panduan bagi orang Hindu beraliran Wisnu, sedang Maha­barata untuk aliran Syiwa. Kalau benar, berarti persilangan antar siklus cerita wayang ini dapat dipahami sebagai upaya sinkretisme dua aliran dalam agama Hindu di Jawa .

Kehadiran tokoh-tokoh Ramayana dalam episode Mahabarata sekarang di antaranya dapat dirunut pada repertoar lakon: Rama Nitik, Rama Nitis, Semar Boyong, Wahyu Purbasejati, dan Wahyu Makutha­rama. Pada genre lakon tertentu, misalnya Kilat­buwanan, Rahwana sering menjelma dan menjadi tokoh antagonis, untuk melawan Pandawa. Dalam lakon Mayangkara diceritakan bahwa kematian Anoman terjadi di Kerajaan Kediri, yang sebenarnya sudah merupakan bagian awal dari siklus cerita Panji. Sekarang, Anoman hampir selalu dimunculkan para dalang gaya Surakarta di dalam repertoar cerita apa pun. Pengembaraan Anoman di mana-mana ini merupa­kan salah satu cara dalang untuk memikat penonton. Tokoh Anoman, yang berwajah kera itu dapat dijadikan salah satu andalan dalang di bidang gerak wayang, sabet, secara leluasa dan atraktif.

Parikesit merupakan tokoh terakhir dalam cerita Mahabarata India. Perkembangannya di Jawa, Parikesit telah menurunkan raja-raja Jawa, mulai dari tokoh-iokoh legenda kerajaan Jawa lama, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, sampai ber­akhir pada dinasti Mataram; Sura­karta dan Yogyakarta. Wujud persilang­an itu dapat dijumpai pada naskah atau kitab lama yang memuat silsilah wayang; di antaranya Paramayoga dan Sejarah Pangiwa lan Panengen Karaton Surakarta Hadi­ningrat lan Ngayogyakarta Hadi­ningrat. Dalam Sejarah Pangiwa lan Panengen Karaton Surakarta Hadi­ningrat lan Ngayogyakarta Hadi­ningrat (disusun Padmo­susastro) menyebut­kan bahwa Adam merupakan manusia pertama serta berakhir pada tokoh Jayakartika yang di­makam­kan di Desa Janti. Silsilah wayang yang diawali dari Adam, berlanjut pada para dewa, diteruskan tokoh-tokoh Ramayana dan Pandawa, diikuti para raja Hindu Jawa (Kediri, Singasari, dan Maja­pahit), serta berakhir para raja dinasti Mataram ini tidak menutup kemungkinan merupa­kan salah satu upaya pihak kerajaan (Jawa) untuk mendapat legitimasi genetik.

Persilangan dalam pewayangan di masa lampau banyak yang berkait dengan masalah teknis, seperti penggunaan nama sejumlah repertoar sulukan di Surakarta, pathet Kedu, pathet Lasem, dan ada-ada Mataraman. Penyebutan nama Kedu, Lasem, dan Mataram dalam sulukan Surakarta ini dapat dipahami sebagai wujud per­silangan antar wilayah. Penggunaan nama daerah untuk menyebut suatu repertoar gending di daerah lain juga pernah terjadi. Kalangan pengrawit tua di Tulungagung dan sekitarnya memiliki sebuah jenis gending yang lazim disebut srepeg Nganjukan, anehnya para dalang dan peng­rawit Nganjuk sama sekali tidak mengenalnya. Kasus serupa terjadi di lingkungan komunitas dalang Sragen, yang memliki repertoar srepeg Mediunan, yang sama sekali tidak dikenal di Madiun.

Ke­mungkinan besar pelintasan dan sekaligus persilangan yang terjadi secara intens dan cukup lama, akhirnya luluh menyatu di daerah baru, sehingga orang-orang yang berada di daerah asal sudah tidak mengenalnya lagi. Para pengamat wayang India dapat dipastikan terheran-heran apabila melihat wujud boneka wayang Pandawa di Jawa (Yudistira, Arjuna, Nangkula, dan Sadewa) yang berpostur tubuh kecil dan ramping. Tanda-tanda keperkasaan Pandawa dalam wayang Jawa, kecuali Bima, tidak terlihat secara wadag seperti dalam kisah Mahabarata di India.

Pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam penyebutan sejumlah nama tokoh pewayangan Jawa akan semakin mem­bingungkan. Nama-nama padanan (dasanama) padanan dari tokoh-tokoh Ramayana dan Mahabarata, terutama wayang pavorit seperti: Ajatasatru, Gunatalikrama, Kusumawlil­kita, Margana, Parta, Lara Ireng, Janardana, Danardana, Tri Gantalpati, Kilat­maka, dan Singamulang­jaya dapat dipastikan asing bagi telinga para pengamat wayang yang hanya mengandalkan studi literatur. Selain itu banyak tokoh baru yang tidak dikenal dalam Mahabarata dan Ramayana India, seperti Tuhayata, Adi­manggala, Kala Bendana, dan Sempani; termasuk juga para tokoh pana­kawan. Kalau di Jawa masa lalu jumlah panakawan hanya dua atau tiga, sekarang menjadi empat tokoh. Bahkan sejak lama wayang kulit purwa di Cirebon telah memiliki sembilan pana­kawan.

Persilangan pakeliran dengan penggunaan boneka wayang dari berbagai jenis dan/atau siklus cerita juga menarik untuk diingat. Wayang golèk (thengul) dengan siklus cerita Menak sempat ber­kolaborasi dengan wayang kulit purwa yang bersiklus Pandawa. persilangan ini di wilayah Kabupaten Pati disebut dengan wayang ukluk. Wayang golèk dalam ukluk ini menyatu dalam alur lakon, berbeda dengan kehadiran wayang thengul di dalam wayang kulit purwa Surakarta yang hanya tampil sebagai selingan di tengah-tengah atau tanda ber­akhirinya pertunjukan. Persilangan ini mungkin yang memberikan inspirasi sejumlah dalang Surakarta untuk menyusun lakon menak campur yang akan disampaikan di belakang. Sayang, wayang ukluk tidak terkenal secara luas dan sudah berakhir, sebab satu-satunya dalang sudah meninggal dunia serta tidak ada pelanjut­nya.

Penggunaan boneka baru, merupakan modifikasi dari boneka konvensional, sering tidak konsisten dan tidak sesuai dengan rancang­an semula, contoh wayang baru yang semula direka untuk Arimba pada saat lain, oleh dalang, diterap­kan pada tokoh Kumba­karna. Tumpang tindih penggunaan wayang ini dapat dimaklumi kalau terjadi di masa lampau, saat fasilitas boneka wayang masih sangat terbatas atau belum lengkap seperti sekarang. Para dalang sekarang tidak konsisten mungkin karena kurang paham, dalam menerapkan (ndhapuk atau casting) boneka wayang, meski­pun fasilitas lengkap, contoh boneka Rama sering diguna­kan untuk tokoh Arjuna­sasrabahu, Pandu, Parikesit, dan Jaya­baya.

Penggunaan satu boneka untuk beberapa tokoh wayang dem­i­kian ada hubungannya dengan selera dalang. Alasan lain yang sering dikemukakan dalang adalah merasa sreg, mantab dan lebih mudah dalam menggerakkan wayang tertentu, sabet. Alasan teknis demikian juga dilakukan Timbul Cermo­manggolo (Bantull, DIY). Ia memesan beberapa disain wayang putihan (belum diberi warna) Surakarta yang kemudian diberi warna (disungging) sesuai dengan konvensi pa­sungging­an wayang Yogyakarta. Timbul merasa lebih mudah meng­gunakan wayang-wayang Sura­karta tertentu untuk keperluan adegan perang.

Pada dekade 60-an, almarhum Nartasabda dengan bebas menyilang-silangkan sejumlah repertoar sulukan dan gending wayang­an dari berbagai daerah atau gaya pakeliran ke dalam pakelirannya, yang bergaya pokok Surakarta. Lebih dari itu mendiang Nartasabda juga memberi bumbu pakelirannya, yang bergaya Surakarta itu, dengan adegan khusus gara-gara gaya Yogyakarta. Pelintasan adegan gara-gara dari Yogyakarta ke Surakarta ini terus berlanjut hingga sekarang. Bahkan adegan gara-gara sering di­anggap menu utama dalam pertunjukan wayang sekarang. Oleh sebab anggapan demikian ini, semua potensi dalang dengan seluruh kerabat kerjanya seakan-akan hanya dipusatkan untuk adegan gara-gara saja. Akibat­nya, bila adegan gara-gara telah usai, seluruh energi dalang beserta kerabat kerja dan penontonnya seakan-akan telah terkuras habis.

Pembuatan pertunjukan wayang ‘baru’ termasuk bonekanya untuk keperluan agama, seperti wayang wahyu (Katholik), wayang warta (Kristen Protestan), dan wayang sadat (Islam) hanya pentas di komunitas masing-masing, sama sekali tidak berkembang sebab pola pertunjukannya cenderung meniru pakeliran wayang kulit purwa. Peniruan semacam ini juga sudah terjadi di masa pra kemerdekaan, seperti wayang dupara, wayang gedhog, wayang madya, wayang kancil, dan wayang suluh atau wayang pancasila. Sekarang tinggal dikenal namanya saja, sebab tidak diketahui lagi seperti apa bentuk atau wujud pertunjukannya saat awal diikrarkan.

Terdengar kabar, meskipun belum meluas, di Taman Budaya Jawa Tengah, Jlitheng Suparman dan kawan-kawan telah men­coba mem­buat pertunjukan wayang baru, diberi nama wayang kampung, non Ramayana maupun Maha­barata. Tema-tema cerita cenderung menggambarkan masalah-masalah aktual di lingkung­an masyarakat akar rumput. Boneka wayang dibuat dari kertas karton dan diiringi satu perangkat alat musik non gamelan. Dengan garapan serba sederhana, santai, realistik, lebih manusiawi, kontemporer, dan me­libatkan banyak pe­nonton dalam pertunjukan. Bagai­mana nasib­ wayang kampung sekarang, wallahu alam bisawab.

Sekitar tahun 80-an almarhum Gandabuwana menampilkan cerita Ménak Campur di forum Rebo Legèn yang diselenggarakan di Notodingiratan, rumah Ki Anom Suroto. Diceritakan pada waktu itu Marwaya (salah satu tokoh wayang Ménak) hadir di persidangan Kerajaan Astina, yang ingin mengembangkan agama Islam. Pe­lintasan dan/atau persilangan ini cenderung mencari bahan dan efek humor semata. Peristiwa ini dapat dimaklumi, sebab ada pemeo (rumor) di komunitas pedalangan Surakarta, apabila se­seorang me­nyaji­kan pakeliran di lingkungan para dalang tidak mampu membuat ketawa belum dapat diakui sebagai seorang dalang.

Penyelenggaraan acara wayangan seperti di forum Rebo Legèn, sejak akhir 70-an, yang semula dijadikan ajang kreativitas, silaturahmi, dan tukar pengalaman antar dalang, sekarang sering hanya disikapi sebagai sarana untuk guyonan semata. Yang me­ngawatir­kan adalah, pemeo ini di­tangkap secara linear oleh sebagian besar para dalang muda, tanpa merasa perlu untuk memahami makna hakiki sebuah lakon pakeliran, kurang dapat menyerap ke­piawian para dalang senior dalam mengungkap etika, bahasa/ sastra, antawacana, sanggit, dan garap­an dramatik pakeliran.

Kebiasaan tidak sehat ini diusung para dalang ke luar komunitas mereka; yang berdampak luas di khalayak ramai. Pakeliran disikapi hanya memiliki nilai tunggal, yaitu hiburan (lucu, meriah, dan gayeng) saja. Nilai-nilai lain seperti devosional, etika, dan estetika seolah-olah diabaikan. Para elite politik, pejabat, dan penanggap wayang yang kurang apresiatif, secara sengaja atau tidak, turut mendorong pa­keliran bentuk hiburan ini, yang sudah diprihatinkan mendiang SD Humardani semenjak 70-an awal.

Banyak hal mendera seni pertunjukan pada umumnya, menjadi tidak kondusif, disharmoni, dan turut mendorong jagat pe­dalang­­an menjadi tenggelam ke dalam situasi memprihatinkan,. Sistem pen­didik­an, purifikasi agama, mobilisasi sosial, per­kembang­an tekno­logi komunikasi, politisasi, marjinalisasi, dan komersialisasi budaya sering menghanyutkan dalang ke situasi yang tidak kreatif. Banyak dalang gagap dalam menghadapi situasi yang semakin mengglobal. Sebagi­an ingin segera terkenal dengan melalui jalan pintas, tanpa berbekal kesenimanan yang cukup, sebagai dalang, sebagai kreator, sebagai manager, dan sekaligus sebagai pembawa pesan moral. Yang pokok bagi mereka adalah, merasa lebih mampu melayani selera pasar, yang sebenarnya sangat subyektif. Akibatnya, dalang-dalang yang di­anggap serius serta tidak lucu, tidak meriah, dan tidak gayeng sering ditinggal pe­nonton sebelum kayon ditanceb­kan ter­akhir.




























Sebenarnya, jagat pedalangan tidak sepi dari persilangan, hasil dari ‘dialog’ yang panjang. Para dalang khusus, seperti mendiang Narta­sabda (Semarang), mendiang Darman Gandadarsana (Sragen), men­diang Harjunadi (Nganjuk), Hadisugito (Wates, Kulonpraga), akhir-akhir ini Sukron Suwondo (Blitar) dan Enthus Susmono (Tegal) sering membumbui pakelirannya dengan pertunjukan lain, dari hasil pe­ngembaraan masing-masing di luar profesinya se­bagai dalang (seperti wayang wong, kethoprak, ludruk, dan reog). Wujud dan kualitas dari hasil persilangan ini tentu sangat ditentukan oleh ke­mampu­an ke­seni­manan, termasuk penguasaan teknik, para dalang.

Persilangan antar seni pertunjukan seperti ini dilakukan juga oleh sejumlah dalang yang tidak memiliki dasar keseni­manan cukup kuat. Apabila para dalang masa lalu hanya menggabungkan nuansa-nuansanya dan/atau spirit yang dimiliki pertunjukan lain, sekarang sejumlah dalang seolah-olah memindahkan (mengusung) secara phisik ke dalam pakeliran. Sebenarnya sekarang ini banyak dalang yang sangat menguasai teknis pakeliran, didukung para pengrawit handal yang mampu menggarap karawit­an lumayan bagus, kualitas suara pe­sinden dan penggerong pilihan, perangkat gamelan dalam ukuran dan jumlah besar, bentuk panggung yang luas dan gemerlap­an serta peralatan modern/mutakhir. Sayang tidak diimbangi dengan proses yang singkat dan melalui perenungan; sehingga pakeliran berubah menjadi se­buah pasar kolaborasi berbagai pertunjukan yang berserak­an yang mengekploitasi hal-hal yang sepele dan dangkal. Banyak pihak merasa tidak mendapatkan apa-apa saat nonton wayang format seperti ini. Kondisi demikian ini sudah lama diprihatin­kan para pengamat pedalangan/pewayangan.

Para pemain wayang orang, pelawak, pesulap, bintang tamu (baik spontan maupun khusus diundang; pejabat, dalang lain, dan penonton), penari dan/atau penyanyi dangdut serta campursari, penari jaipongan, jaranan, dan apa saja berjubel di dalam sejumlah pakeliran sekarang; bahkan demonstran ‘buatan’ ikut konfilasi di dalamnya. Beberapa waktu lalu Rahayu Supanggah, pada temu pakar wayang dalam rangka evaluasi program SENA WANGI di Jakarta, menyebut kondisi pakelir­an ini sebagai “keranjang sampah” sebab, berbagai kekuatan aspek pertunjukan seperti disebut pada alinea di atas tidak digarap dalam kesatuan yang utuh serta tidak dilakukan secara maksimal. Selain itu tidak memberikan kontribusi pengalaman batin apa pun, kecuali hiburan yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari,

Kalangan khusus, para pecinta wayang, kalau kurang tepat disebut dengan kreator apalagi inovator, di luar dalang profesional telah sejak lama mencoba melakukan persilangan dalam pertunjukan wayang. Sejak akhir 70-an, tokoh-tokoh seperti SD Humardani, Boedi­hardjo, dan Jayakusuma, dalam berbagai kesempatan, selalu me­macu para seniman pewayangan, terutama kalangan kampus, untuk bereksperimen terus. Berkat pergaulan yang luas dan intens dengan berbagai etnis dan pengalaman berkesenian maka muncul­lah karya-karya eksperimen pewayangan, di antaranya: wayang buda, pa­keliran padat, sandosa, gilgamesh, wayang ukur, dan wayang suket.

Karya-karya ini dicoba melalui proses pelatihan yang lama serta ‘pergumulan’ konsep berkeseni­an secara intens. Persilangan yang terjadi telah melibatkan ber­bagai kreator seni pertunjukan yang ada; tari, musik, teater, seni rupa, dan karawitan; baik yang modern mau­pun tradisional. Tercatat nama-nama yang tidak asing dalam karya-karya eksperimen itu, di antaranya Rahayu Supanggah, Hajar Satoto, Bambang Suwarno, Sunarno, Rusini, I Nyoman Chaya, Suprapto Suryo­darmo, Sumanto, Sukasman, B. Subono, Sri Mulyono Ds., Slamet Gundono, dan masih banyak lagi.

Karya-karya baru ini belum dikenal masyarakat luas karena berbagai alasan, misalnya: kurang publikasi, produktivitas rendah, mungkin terlalu ideal sehingga sulit menembus pasar yang terlanjur carut marut. Yang paling memprihatinkan adalah, gagasan inovasi yang muncul sering tidak didukung oleh sumber daya yang mewadai, baik jumlah maupun bobotnya. Karya-karya eksperimen tersebut kiranya perlu dibantu para dalang terkenal untuk melibatkan diri di dalamnya agar segera dapat digemari masyarakat luas. Sebelum Manteb Soedharsono secara tekun ikut menggarap dan bersedia men­dalang pakeliran padat, kiranya sulit untuk memasyaratkan bentuk pakeliran yang digagas SD Humardani tersebut. Pertanyaan­nya adalah, apakah setiap karya kreatif dan inovatif harus menjadi pavorit di khalayak luas? Apakah sebuah karya kreatif inovatif tidak mungkin menjadi populer di masyarakat?

Sementara dapat dikatakan bahwa pelintasan dan/atau per­silangan yang terjadi dalam dunia pedalangan sudah banyak dilaku­kan di berbagai strata, tetapi kenyataannya masih sangat terbatas dalam segala hal. Selamat berseminar.

Surakarta, menjelang akhir Agustus 2004.

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, HW,, 1981. “Kreativitas Usaha Memelihara Kehidupan Budaya” dalam Analisis Kebudayaa. Th. I, nomor 2,

Kartodirdjo, S., 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspekti Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kayam, U., 1981. Semangat Indonesia: suatu Perjalanan Budaya. Jakarta: Sinar Harapan.

, 1987. “Keselarasan dan Kebersamaan” dalam Kebudayaan dan Pembangunan, sebuah Pendekatan Antropologi Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor-Indonesia.

__________, 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media untuk Pusat Studi Kebudayaan UGM.

Khisbiyah, Yayah dan Atiqa Sabardila (ed.), 2004. Pendidikan Apresiasi, Wacana dan Praktik untuk Toleransi Prularitas Budaya. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammad­iyah Surakarta.

Kuwato, 2001. “Pertunjukan Wayang Kulit di Jawa Tengah, Suatu Alternatif Pembaharuan, Sebuah Studi Kasus,” tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta.

Murtiyoso, B. 1998a. “Bayang-bayang di Balik Dalang.” Pidato Dies Natalis XXXIV STSI Suarakarta, dalam Dies Natalis XXXIV, Wisuda Sarjana/Diploma STSI Surakarta, 15 Juli 1998. Surakarta: STSI Surakarta.

___________, 1998b. “Model-model Bentuk Pembaruan Pedalangan Jawa.” Dalam Gelar, Jurnal Ilmiah dan Seni STSI Surakarta, No. 1 Th. I/1998.

___________, 2004. Menggapai Populeritas, Aspek-aspek Pendukung Menjadi Dalang Kondang. Surakarta: STSI Press.

Murtiyoso dkk., B. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika

Nugroho, Sugeng, 2003. “Studi tentang Pertunjukan Wayang Kulit Enthus Susmono.” Tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni, Minat Pe­wayangan Nusantara, Program Pascasarjana STSI Surakarta.

Suanda, Endo, 1994. “Beberapa Catatan dari Studi Kasus Wayang Cirebon,” dalam Laporan Temu Ilmiah dan Festival MSPI ’94. Surakarta: Masyarakat Seni Peretunjukan Indonesia.

Sudarko, 1994. “Pakeliran Padat Pembentukan dan Penyebarannya,” tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta.

Sutarto, Ayu, 2002. Menjinakkan Globalisasi, tentang Peran Strategis Produk-produk Budaya Lokal. Jember: Kompyaswista dan Universitas Jember.

Tim STSI Surakarta, 1994. “Konsep Pengembangan dan Strategi Pembinaan Kehidupan Seni Tradisi.” Makalah dipaparkan pada Seminar Nasional Peranan Perguruan Tinggi Seni terhadap Penanganan Seni Tradisi sebagai Unsur Budaya Nasional Indonesia di STSI Surakarta, tanggal 8─9 Juli 1994.


[*] Makalah dipaparkan pada Serial Seminar Nasional Seni Pertunjukan Indonesia tanggal 30 dan 31 Agustus 2004 di STSI Surakarta

Semar;

Tokoh Misterius, Sumber Kearifan*

Oleh H. Bambang Murtiyoso, S. Kar., M. Hum.

(STSI Surakarta)


Text Box: Pernah jadi wanitaSampai makalah ini selesai disusun pem­bicaraan tentang Semar, tokoh wayang kulit purwa, belum usai. Arinya, setiap orang ingin menge­tahui apa dan siapa Semar yang sebenarnya tidak dapat tuntas, apa­lagi memuaskan. Senar, tokoh fiktif, reka­an, atau sebenarnya nyata-nyata ada? Belum ada jawaban yang pasti; ter­gantung dari sudut pandang dan pe­maham­­an se­tiap orang. Dengan demi­kian mungkin benar-benar ada atau pernah ada, te­tapi juga barangkali memang tidak pernah ada.

*

* Keunikan Semar, atas dasar narasi dan garapan cerita yang disajikan para dalang, adalah seperti di bawah ini.

1. Asli wayang Jawa, tidak terdapatkan dalam kitab wira­carita Maha­barata dan Ramayana.

2. Semar lahir dari putih telor, hasil ciptaan Sang Hyang Tunggal, ayah­nya.

3. Jenis kelamin Semar tidak jelas, bukan laki-laki, bukan perempuan, juga bukan banci; tetapi beristri (Kanastrèn) dan juga memiliki keturunan yang semua dewa (di antaranya: Yamadipati, Bongkokan, Kuwera, Candra, Surya, Kamajaya, Wrahaspati, Patuk, dan Temboro).

4. Meskipun lebih banyak berperan sebagai abdi, tetapi bukan manusia biasa, déwa ngéjawantah, sebab sebenarnya Semar adalah pen­jelmaan Sang Hyang Ismaya.

5. Asal yakin atas kebenarannya, Semar tidak pernah takut kepada siapa saja, meskipun Guru, pembesar para dewa sekalipun.

6. Semar sangat murka apabila kebenaran, kearifan, dan keadilan mulai dilecehkan serta para ksatria dikalahkan para tirani atau pendzalim.

7. Semar memiliki senjata yang berkekuatan sangat dahsyat, meski­­pun hanya berupa kentut.

Text Box: Kreasi Bambang Suwarno


Salah seorang paman saya, Sutomo, percaya benar bahwa Semar itu ada sampai sekarang, dan bertahta di sebuah goa di wilayah Gunung Srandil. Sejumlah penghayat kepercayaan yakin benar bahwa Semar itu ada, lazim­nya mereka memiliki foto ‘figur tertentu’ yang dipercaya sebagai Semar. Beberapa teman saya me­ngata­kan bahwa foto itu tidak sebanarnya, sebab obyeknya adalah lukisan, bukan makhluk hidup. Kesimpulan ini perlu di­cermati melalui penelitian yang didukung peralatan dan/atau teknologi mut­akhir yang ter­canggih. Makalah ini tidak membahas tentang eksistensi Semar, sebenarnya pernah ada atau tidak; akan lebih memusatkan perhatian pada kenyataan dalam jagat pedalangan yang pernah saya amati.

Para dalang sekarang menangkap figur Semar tidak berbeda dengan tokoh lain, sebagai pemeran dalam alur repertoar cerita wayang tertentu; bahkan banyak yang memerankan sama dengan panakawan lain, Garènng, Pétruk, dan Bagong. Para dalang sekarang ini, Semar lebih sering di­tampilkan sebagai seorang batur, gedibal sanga likur, badut, dagelan, atau humoris yang mbanyol sepanjang adegan. Pemeranan Semar, hanya se­bagai pelawak, semacam ini langka terjadi pada 30 tahun yang lalu.

Pada tiga dasawarsa lalu, apalagi sebelumnya, oleh sebagian besar para dalang, Semar didudukkan sebagai tokoh sangat istimewa: ‘déwa ngéjawantah, pamomonging para satriya, penasehat, pamomong para satriya pinilih, seperti ter­ungkap pada Sekar Pocung di bawah ini:

“Semar iku dadya darsaning rahayu,

yuwananing sedya,

supadya padha basuki,

yèn pinesu ambabar dadya warastra.”

‘Semar iku pamongé satriya tuhu,

Trahing Witaradya,

Tut wuri pan handayani,

Text Box: Semar CirebonYèn ngandika dadiya tepa tuladha.”

Tembang di atas menunjukkan bahwa Semar bukan sekedar pelawak, dagelan, atau humoris saja. Sebenarnya, dalam cerita wayang di Jawa, Semar beserta anak-anaknya¾Garèng, Pétruk, dan Bagong¾bukan se­kedar jongos yang mengikuti Pandawa dan keluarganya, tetapi seluruh tokoh ksatria yang suka memayu hayuning bangsa, memayu hayuning buwana, penegak kebenaran dan keadilan. Saya belum pernah menjumpai ada cerita wayang yang melukiskan tokoh Semar telah mengikuti pe­ngembaraan Rahwana, Cakil, Sengkuni, Burisrawa, dan Suyudana; meskipun semua pihak ingin mem­boyong­nya.

Dalam cerita Semar Boyong, dan beberapa repertoar lakon wayang yang lain, dikisahkan sejumlah raja sangat mengharap agar Semar bersedia tinggal di negara mereka, meskipun hanya beberapa saat. Para raja itu percaya apabila negara mereka ketempatan Semar akan memperoleh kedamaian, keaman­an, dan rakyatnya menjadi makmur sejahtera.

Text Box: Semar Jawatimuran Pada kondisi yang normal serta keseharian, Semar memang lebih bersikap pasif¾bahkan mengantuk seakan-akan pe­kerja­an utama¾sebab berkedudukan sebagai pana­kawan, abdi pendhèrèk, pamomong, atau kawan ber­cengkerama para ksatria. Pada kondisi yang demikian wajah Semar tergolong jelek, tua, berkeriput, mata sipit dan rembes; postur badan tambun dan pendek. Dalam keseharian seperti ini, Semar memang sering dijadikan bahan ejekan untuk mencari efek ketawa, tetapi senantiasa tenang, tetap sabar, justru larut dalam suasana humor.

Judul-judul lakon yang menggunakan nama Semar adalah seperti yang tertulis pada tabel di bawah ini.

1. Semar mBarang Jantur

2. Semar Boyong

3. Semar Tambal

4. Semar Kuning

5. Semar Tumbal

6. Semar Mantu

7. Semar mBangun Gedhong Kencana

8. Semar mBangun Kayangan

9. Semar mBangun Klampis Ireng

10. Semar mBabar Jatidhiri

11. Semar Raga atau Semar Kembar Papat

12. Semar Gugat

13. Semar Tambak

14. Gègèr Semar

Text Box: Semar Yogyakarta


Di luar 14 judul cerita itu, masih ada sejumlah ceritera yang peran Semar cukup penting, misalnya: Wisnu Krama, Manumayasa Rabi, Pandhu Lahir, Pandhu Krama, Mintaraga, Makutharama, Kilatbuwana, dan Gathutkaca Sungging. Hampir seluruh alur cerita di atas menunjukkan ekspresi protes, ke­marahan dan/atau kekuatan Semar yang sebenarnya dalam menghadapi krisis dunia yang sangat memuncak, kecuali cerita “Semar Boyong” dan “Semar mBarang Jantur” yang kadar protesnya kecil.

Apabila Semar sudah menunjukkan kekuatan yang sebenarnya, tidak ada satu pun tokoh wayang yang berani melawannya, meskipun para dewa di kayangan. Khususnya, para ksatria yang dibelanya akan sangat menghormat dan santun (dengan meng­guna­kan bahasa Jawa krama) kepada Semar saat-saat sedang menunjukkan kemarah­an­nya. Sebab, dalam kondisi yang demi­kian itu Semar bukan lagi panakawan, bukan batur, bukan wong cilik, bukan abdi, tetapi tokoh ber­kekuatan supra­natural yang ngédab-edabi, nggegirisi, ditakuti dan tak ter­kalahkan oleh siapa saja. Ekspresi kemarah­an ber­gantung tingkat per­masalah­an yang di­hadap­­i­nya; dapat tetap berwujud Semar, juga dapat ber­ubah total, lazim­nya menjadi ksatria yang sangat tampan.

Apabila Pandawa menghadapi masalah berat, para dalang masa lalu, Semar selalu tampil sebagai pemegang kunci pemecahan masalah, selain Kresna dan Abiyasa. Pada saat perang Baratayuda dimulai, Semar men­duduki tempat istimewa setara dengan Kresna, penasehat utama; sudah tidak lagi berkelana dengan ksatria ke hutan-hutan.

Dari uraian serba singkat tentang Semar dalam jagat pewayangan di atas, dapat dikatakan bahwa Semar merupakan tokoh khusus, penting, dan sentral. Apabila dibenarkan bahwa wayang merupakan salah satu ekspresi budaya¾yang terdiri atas pandangan, cita-cita, kehendak, simbo-simbol, keyakin­an, dan harapan-harapan¾maka Semar adalah simbol dari budaya Jawa secara lebih luas. Semar didudukkan sebagai simbol: kawula (rakyat atau wong cilik) yang sabar, narima, tawakal, dan penuh pengabdian. Sepanjang kebenaran dan keadilan tetap tegak Semar berperan sebagai rakyat. Apabila terjadi sebaliknya, keadilan dan kebenaran tidak tegak, tirani (kezaliman) merajalela serta pemimpin ber­tindak semena-mena, maka Semar akan melakukan protes keras dengan caranya

Pertanyaannya adalah, apakah keyakinan orang Jawa tentang Semar sudah ada sebelum wayang Ramayana dan Mahabarata berkembang di Jawa? Kalau Semar ada sebelumnya wujud ekspresinya seperti apa? Kalau adanya Semar setelah orang Jawa mengenal kebudayaan Hindu, kenapa? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dikembangkan dalam sarasehan yang terhormat malam ini.

Terlepas kapan Semar muncul dalam budaya Jawa, yang terpenting adalah melalui tokoh Semar kita dapat melacak serta mengacu sumber kearifan dan/atau kebijakan Jawa secara lengkap, berupa: kesahajaan, kesabaran, kesetia­kawanan/kerukunan, dan sejenis dengan sifat moral yang terpuji. Kearifan bersama sekarang ini sangat penting, agar eksistensi bangsa tetap tegak. Apabila kearifan bersama sudah dilupakan semua pihak, jangan harap krisis bangsa ini dapat teratasi. Semoga sarasehan kali ini mampu membuahkan hasil yang berfaedah bagi peserta, orang Jawa, bahkan Indonesia yang tercinta.

BIODATA

Nama : Bambang Murtiyoso, S. Kar., M. Hum.

Tempat/tanggal lahir : 24 Juli 1946

Pangkat/golongan : Pembina, IV/a

Jabatan : Lektor Kepala

Alamat : Jln. Kapten Mulyadi No. 304 Surakarta

Pendidikan :

1. Lulus S-1 ASKI Surakarta, tahun 1981

2. Lulus Magester pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gajah Mada Yogya­karta, tahun 1995

Jabatan di STSI Surakarta:

1. Dosen S-1 dan S-2;

2. Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat

Jabatan di luar STSI Surakarta:

1. Ketua Majelis SMKI Surakarta

2. Pengurus PEPADI Komda Jawa Tengah

3. Anggota Dewan Penasehat PEPADI Pusat Jakarta

4. Anggota Dewan Kebijaksanaan SENA WANGI di Jakarta

5. Ketua Yayasan Sesaji Dhalang ‘93

6. Ketua Paguyuban Penggemar Nartasabda “Sabdo Pandito.”

Lain-lain, tetapi penting:

1. pembicara dalam berbagai dialog seni,

2. penggagas pakeliran layar lebar “Sandosa” (1982),

3. penggagas Festival Greget Dalang 1995, per­tunjuk­an wayang selama 50 malam berturut-turut dalam rangka HUT RI ke-50 di Surakarta,

4. penulis naskah wayang dan kethoprak, dan

5. pengamat seni pertunjukan.



* makalah disajikan pada Sarasehan Budaya Jawa dalam rangka menyongsong tahun baru 1 Muharram 1424 H di Desa Tlogo, Prambanan Klaten.