PELINTASAN YANG TERBATAS
PADA PERTUNJUKAN WAYANG KITA[*]
Oleh Bambang Murtiyoso
Pelintasan batas budaya akan selalu terjadi sepanjang sarana komunikasi & transportasi terbuka. Dalam pelintasan demikian ini memungkinkan terjadinya dialog, tawar-menawar (Kayam), persilangan budaya, baik secara paksa maupun melalui proses alami, apabila ada dorongan kepentingan dari salah satu atau keduanya. Silang atau dialog yang terjadi dapat merubah bentuk budaya yang telah ada, bahkan apabila persilangan berjalan secara radikal dapat melahirkan sebuah ‘wajah baru’ sama sekali. Persilangan dengan berbagai ekspresinya sejak lama telah terjadi dalam jagat pedalangan dan/atau pewayangan, terutama di Jawa.
Kepentingan agama dan politik atau kekuasaan turut mewarnai proses persilangan dalam jagat wayang di masa lalu. Tercatat dalam sejarah pewayangan di Jawa, para cendekiawan muslim masa lalu telah menyilangkan geneologi wayang secara cerdas. Batara Syiwa, yang dalam agama Hindu dipercaya sebagai salah satu dewa tertinggi, sejajar Brahma dan Wisnu, dalam wayang Jawa dirubah menjadi manusia biasa, sebagai keturunan Nabi Adam. Brahma dan Wisnu dikatakan sebagai anak Syiwa. Perubahan ini jelas didorong oleh kepentingan untuk mengganti sistem ketuhanan, yang semula polytheisme menjadi monotheisme sesuai dengan aqidah Islam.
Wiracarita Ramayana dan Mahabarata di India merupakan dua siklus cerita yang terpisah, sekarang di Jawa telah bersilang secara mulus. Tokoh-tokoh dalam siklus Ramayana (seperti Rama, Lesmana, Anoman, Rahwana, dan Indrajid) telah melintas ‘zamannya’, sering muncul dalam kisah-kisah wayang pada episode-episode cerita Pandawa, tanpa menimbulkan masalah yang berarti. Perlu diteliti kebenarannya, konon epik Ramayana merupakan panduan bagi orang Hindu beraliran Wisnu, sedang Mahabarata untuk aliran Syiwa. Kalau benar, berarti persilangan antar siklus cerita wayang ini dapat dipahami sebagai upaya sinkretisme dua aliran dalam agama Hindu di Jawa .
Kehadiran tokoh-tokoh Ramayana dalam episode Mahabarata sekarang di antaranya dapat dirunut pada repertoar lakon: Rama Nitik, Rama Nitis, Semar Boyong, Wahyu Purbasejati, dan Wahyu Makutharama. Pada genre lakon tertentu, misalnya Kilatbuwanan, Rahwana sering menjelma dan menjadi tokoh antagonis, untuk melawan Pandawa. Dalam lakon Mayangkara diceritakan bahwa kematian Anoman terjadi di Kerajaan Kediri, yang sebenarnya sudah merupakan bagian awal dari siklus cerita Panji. Sekarang, Anoman hampir selalu dimunculkan para dalang gaya Surakarta di dalam repertoar cerita apa pun. Pengembaraan Anoman di mana-mana ini merupakan salah satu cara dalang untuk memikat penonton. Tokoh Anoman, yang berwajah kera itu dapat dijadikan salah satu andalan dalang di bidang gerak wayang, sabet, secara leluasa dan atraktif.
Parikesit merupakan tokoh terakhir dalam cerita Mahabarata India. Perkembangannya di Jawa, Parikesit telah menurunkan raja-raja Jawa, mulai dari tokoh-iokoh legenda kerajaan Jawa lama, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, sampai berakhir pada dinasti Mataram; Surakarta dan Yogyakarta. Wujud persilangan itu dapat dijumpai pada naskah atau kitab lama yang memuat silsilah wayang; di antaranya Paramayoga dan Sejarah Pangiwa lan Panengen Karaton Surakarta Hadiningrat lan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam Sejarah Pangiwa lan Panengen Karaton Surakarta Hadiningrat lan Ngayogyakarta Hadiningrat (disusun Padmosusastro) menyebutkan bahwa Adam merupakan manusia pertama serta berakhir pada tokoh Jayakartika yang dimakamkan di Desa Janti. Silsilah wayang yang diawali dari Adam, berlanjut pada para dewa, diteruskan tokoh-tokoh Ramayana dan Pandawa, diikuti para raja Hindu Jawa (Kediri, Singasari, dan Majapahit), serta berakhir para raja dinasti Mataram ini tidak menutup kemungkinan merupakan salah satu upaya pihak kerajaan (Jawa) untuk mendapat legitimasi genetik.
Persilangan dalam pewayangan di masa lampau banyak yang berkait dengan masalah teknis, seperti penggunaan nama sejumlah repertoar sulukan di Surakarta, pathet Kedu, pathet Lasem, dan ada-ada Mataraman. Penyebutan nama Kedu, Lasem, dan Mataram dalam sulukan Surakarta ini dapat dipahami sebagai wujud persilangan antar wilayah. Penggunaan nama daerah untuk menyebut suatu repertoar gending di daerah lain juga pernah terjadi. Kalangan pengrawit tua di Tulungagung dan sekitarnya memiliki sebuah jenis gending yang lazim disebut srepeg Nganjukan, anehnya para dalang dan pengrawit Nganjuk sama sekali tidak mengenalnya. Kasus serupa terjadi di lingkungan komunitas dalang Sragen, yang memliki repertoar srepeg Mediunan, yang sama sekali tidak dikenal di Madiun.
Kemungkinan besar pelintasan dan sekaligus persilangan yang terjadi secara intens dan cukup lama, akhirnya luluh menyatu di daerah baru, sehingga orang-orang yang berada di daerah asal sudah tidak mengenalnya lagi. Para pengamat wayang India dapat dipastikan terheran-heran apabila melihat wujud boneka wayang Pandawa di Jawa (Yudistira, Arjuna, Nangkula, dan Sadewa) yang berpostur tubuh kecil dan ramping. Tanda-tanda keperkasaan Pandawa dalam wayang Jawa, kecuali Bima, tidak terlihat secara wadag seperti dalam kisah Mahabarata di India.
Pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam penyebutan sejumlah nama tokoh pewayangan Jawa akan semakin membingungkan. Nama-nama padanan (dasanama) padanan dari tokoh-tokoh Ramayana dan Mahabarata, terutama wayang pavorit seperti: Ajatasatru, Gunatalikrama, Kusumawlilkita, Margana, Parta, Lara Ireng, Janardana, Danardana, Tri Gantalpati, Kilatmaka, dan Singamulangjaya dapat dipastikan asing bagi telinga para pengamat wayang yang hanya mengandalkan studi literatur. Selain itu banyak tokoh baru yang tidak dikenal dalam Mahabarata dan Ramayana India, seperti Tuhayata, Adimanggala, Kala Bendana, dan Sempani; termasuk juga para tokoh panakawan. Kalau di Jawa masa lalu jumlah panakawan hanya dua atau tiga, sekarang menjadi empat tokoh. Bahkan sejak lama wayang kulit purwa di Cirebon telah memiliki sembilan panakawan.
Persilangan pakeliran dengan penggunaan boneka wayang dari berbagai jenis dan/atau siklus cerita juga menarik untuk diingat. Wayang golèk (thengul) dengan siklus cerita Menak sempat berkolaborasi dengan wayang kulit purwa yang bersiklus Pandawa. persilangan ini di wilayah Kabupaten Pati disebut dengan wayang ukluk. Wayang golèk dalam ukluk ini menyatu dalam alur lakon, berbeda dengan kehadiran wayang thengul di dalam wayang kulit purwa Surakarta yang hanya tampil sebagai selingan di tengah-tengah atau tanda berakhirinya pertunjukan. Persilangan ini mungkin yang memberikan inspirasi sejumlah dalang Surakarta untuk menyusun lakon menak campur yang akan disampaikan di belakang. Sayang, wayang ukluk tidak terkenal secara luas dan sudah berakhir, sebab satu-satunya dalang sudah meninggal dunia serta tidak ada pelanjutnya.
Penggunaan boneka baru, merupakan modifikasi dari boneka konvensional, sering tidak konsisten dan tidak sesuai dengan rancangan semula, contoh wayang baru yang semula direka untuk Arimba pada saat lain, oleh dalang, diterapkan pada tokoh Kumbakarna. Tumpang tindih penggunaan wayang ini dapat dimaklumi kalau terjadi di masa lampau, saat fasilitas boneka wayang masih sangat terbatas atau belum lengkap seperti sekarang. Para dalang sekarang tidak konsisten mungkin karena kurang paham, dalam menerapkan (ndhapuk atau casting) boneka wayang, meskipun fasilitas lengkap, contoh boneka Rama sering digunakan untuk tokoh Arjunasasrabahu, Pandu, Parikesit, dan Jayabaya.
Penggunaan satu boneka untuk beberapa tokoh wayang demikian ada hubungannya dengan selera dalang. Alasan lain yang sering dikemukakan dalang adalah merasa sreg, mantab dan lebih mudah dalam menggerakkan wayang tertentu, sabet. Alasan teknis demikian juga dilakukan Timbul Cermomanggolo (Bantull, DIY). Ia memesan beberapa disain wayang putihan (belum diberi warna) Surakarta yang kemudian diberi warna (disungging) sesuai dengan konvensi pasunggingan wayang Yogyakarta. Timbul merasa lebih mudah menggunakan wayang-wayang Surakarta tertentu untuk keperluan adegan perang.
Pada dekade 60-an, almarhum Nartasabda dengan bebas menyilang-silangkan sejumlah repertoar sulukan dan gending wayangan dari berbagai daerah atau gaya pakeliran ke dalam pakelirannya, yang bergaya pokok Surakarta. Lebih dari itu mendiang Nartasabda juga memberi bumbu pakelirannya, yang bergaya Surakarta itu, dengan adegan khusus gara-gara gaya Yogyakarta. Pelintasan adegan gara-gara dari Yogyakarta ke Surakarta ini terus berlanjut hingga sekarang. Bahkan adegan gara-gara sering dianggap menu utama dalam pertunjukan wayang sekarang. Oleh sebab anggapan demikian ini, semua potensi dalang dengan seluruh kerabat kerjanya seakan-akan hanya dipusatkan untuk adegan gara-gara saja. Akibatnya, bila adegan gara-gara telah usai, seluruh energi dalang beserta kerabat kerja dan penontonnya seakan-akan telah terkuras habis.
Pembuatan pertunjukan wayang ‘baru’ termasuk bonekanya untuk keperluan agama, seperti wayang wahyu (Katholik), wayang warta (Kristen Protestan), dan wayang sadat (Islam) hanya pentas di komunitas masing-masing, sama sekali tidak berkembang sebab pola pertunjukannya cenderung meniru pakeliran wayang kulit purwa. Peniruan semacam ini juga sudah terjadi di masa pra kemerdekaan, seperti wayang dupara, wayang gedhog, wayang madya, wayang kancil, dan wayang suluh atau wayang pancasila. Sekarang tinggal dikenal namanya saja, sebab tidak diketahui lagi seperti apa bentuk atau wujud pertunjukannya saat awal diikrarkan.
Terdengar kabar, meskipun belum meluas, di Taman Budaya Jawa Tengah, Jlitheng Suparman dan kawan-kawan telah mencoba membuat pertunjukan wayang baru, diberi nama wayang kampung, non Ramayana maupun Mahabarata. Tema-tema cerita cenderung menggambarkan masalah-masalah aktual di lingkungan masyarakat akar rumput. Boneka wayang dibuat dari kertas karton dan diiringi satu perangkat alat musik non gamelan. Dengan garapan serba sederhana, santai, realistik, lebih manusiawi, kontemporer, dan melibatkan banyak penonton dalam pertunjukan. Bagaimana nasib wayang kampung sekarang, wallahu alam bisawab.
Sekitar tahun 80-an almarhum Gandabuwana menampilkan cerita Ménak Campur di forum Rebo Legèn yang diselenggarakan di Notodingiratan, rumah Ki Anom Suroto. Diceritakan pada waktu itu Marwaya (salah satu tokoh wayang Ménak) hadir di persidangan Kerajaan Astina, yang ingin mengembangkan agama Islam. Pelintasan dan/atau persilangan ini cenderung mencari bahan dan efek humor semata. Peristiwa ini dapat dimaklumi, sebab ada pemeo (rumor) di komunitas pedalangan Surakarta, apabila seseorang menyajikan pakeliran di lingkungan para dalang tidak mampu membuat ketawa belum dapat diakui sebagai seorang dalang.
Penyelenggaraan acara wayangan seperti di forum Rebo Legèn, sejak akhir 70-an, yang semula dijadikan ajang kreativitas, silaturahmi, dan tukar pengalaman antar dalang, sekarang sering hanya disikapi sebagai sarana untuk guyonan semata. Yang mengawatirkan adalah, pemeo ini ditangkap secara linear oleh sebagian besar para dalang muda, tanpa merasa perlu untuk memahami makna hakiki sebuah lakon pakeliran, kurang dapat menyerap kepiawian para dalang senior dalam mengungkap etika, bahasa/ sastra, antawacana, sanggit, dan garapan dramatik pakeliran.
Kebiasaan tidak sehat ini diusung para dalang ke luar komunitas mereka; yang berdampak luas di khalayak ramai. Pakeliran disikapi hanya memiliki nilai tunggal, yaitu hiburan (lucu, meriah, dan gayeng) saja. Nilai-nilai lain seperti devosional, etika, dan estetika seolah-olah diabaikan. Para elite politik, pejabat, dan penanggap wayang yang kurang apresiatif, secara sengaja atau tidak, turut mendorong pakeliran bentuk hiburan ini, yang sudah diprihatinkan mendiang SD Humardani semenjak 70-an awal.
Banyak hal mendera seni pertunjukan pada umumnya, menjadi tidak kondusif, disharmoni, dan turut mendorong jagat pedalangan menjadi tenggelam ke dalam situasi memprihatinkan,. Sistem pendidikan, purifikasi agama, mobilisasi sosial, perkembangan teknologi komunikasi, politisasi, marjinalisasi, dan komersialisasi budaya sering menghanyutkan dalang ke situasi yang tidak kreatif. Banyak dalang gagap dalam menghadapi situasi yang semakin mengglobal. Sebagian ingin segera terkenal dengan melalui jalan pintas, tanpa berbekal kesenimanan yang cukup, sebagai dalang, sebagai kreator, sebagai manager, dan sekaligus sebagai pembawa pesan moral. Yang pokok bagi mereka adalah, merasa lebih mampu melayani selera pasar, yang sebenarnya sangat subyektif. Akibatnya, dalang-dalang yang dianggap serius serta tidak lucu, tidak meriah, dan tidak gayeng sering ditinggal penonton sebelum kayon ditancebkan terakhir.
Sebenarnya, jagat pedalangan tidak sepi dari persilangan, hasil dari ‘dialog’ yang panjang. Para dalang khusus, seperti mendiang Nartasabda (Semarang), mendiang Darman Gandadarsana (Sragen), mendiang Harjunadi (Nganjuk), Hadisugito (Wates, Kulonpraga), akhir-akhir ini Sukron Suwondo (Blitar) dan Enthus Susmono (Tegal) sering membumbui pakelirannya dengan pertunjukan lain, dari hasil pengembaraan masing-masing di luar profesinya sebagai dalang (seperti wayang wong, kethoprak, ludruk, dan reog). Wujud dan kualitas dari hasil persilangan ini tentu sangat ditentukan oleh kemampuan kesenimanan, termasuk penguasaan teknik, para dalang.
Persilangan antar seni pertunjukan seperti ini dilakukan juga oleh sejumlah dalang yang tidak memiliki dasar kesenimanan cukup kuat. Apabila para dalang masa lalu hanya menggabungkan nuansa-nuansanya dan/atau spirit yang dimiliki pertunjukan lain, sekarang sejumlah dalang seolah-olah memindahkan (mengusung) secara phisik ke dalam pakeliran. Sebenarnya sekarang ini banyak dalang yang sangat menguasai teknis pakeliran, didukung para pengrawit handal yang mampu menggarap karawitan lumayan bagus, kualitas suara pesinden dan penggerong pilihan, perangkat gamelan dalam ukuran dan jumlah besar, bentuk panggung yang luas dan gemerlapan serta peralatan modern/mutakhir. Sayang tidak diimbangi dengan proses yang singkat dan melalui perenungan; sehingga pakeliran berubah menjadi sebuah pasar kolaborasi berbagai pertunjukan yang berserakan yang mengekploitasi hal-hal yang sepele dan dangkal. Banyak pihak merasa tidak mendapatkan apa-apa saat nonton wayang format seperti ini. Kondisi demikian ini sudah lama diprihatinkan para pengamat pedalangan/pewayangan.
Para pemain wayang orang, pelawak, pesulap, bintang tamu (baik spontan maupun khusus diundang; pejabat, dalang lain, dan penonton), penari dan/atau penyanyi dangdut serta campursari, penari jaipongan, jaranan, dan apa saja berjubel di dalam sejumlah pakeliran sekarang; bahkan demonstran ‘buatan’ ikut konfilasi di dalamnya. Beberapa waktu lalu Rahayu Supanggah, pada temu pakar wayang dalam rangka evaluasi program SENA WANGI di Jakarta, menyebut kondisi pakeliran ini sebagai “keranjang sampah” sebab, berbagai kekuatan aspek pertunjukan seperti disebut pada alinea di atas tidak digarap dalam kesatuan yang utuh serta tidak dilakukan secara maksimal. Selain itu tidak memberikan kontribusi pengalaman batin apa pun, kecuali hiburan yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari,
Kalangan khusus, para pecinta wayang, kalau kurang tepat disebut dengan kreator apalagi inovator, di luar dalang profesional telah sejak lama mencoba melakukan persilangan dalam pertunjukan wayang. Sejak akhir 70-an, tokoh-tokoh seperti SD Humardani, Boedihardjo, dan Jayakusuma, dalam berbagai kesempatan, selalu memacu para seniman pewayangan, terutama kalangan kampus, untuk bereksperimen terus. Berkat pergaulan yang luas dan intens dengan berbagai etnis dan pengalaman berkesenian maka muncullah karya-karya eksperimen pewayangan, di antaranya: wayang buda, pakeliran padat, sandosa, gilgamesh, wayang ukur, dan wayang suket.
Karya-karya ini dicoba melalui proses pelatihan yang lama serta ‘pergumulan’ konsep berkesenian secara intens. Persilangan yang terjadi telah melibatkan berbagai kreator seni pertunjukan yang ada; tari, musik, teater, seni rupa, dan karawitan; baik yang modern maupun tradisional. Tercatat nama-nama yang tidak asing dalam karya-karya eksperimen itu, di antaranya Rahayu Supanggah, Hajar Satoto, Bambang Suwarno, Sunarno, Rusini, I Nyoman Chaya, Suprapto Suryodarmo, Sumanto, Sukasman, B. Subono, Sri Mulyono Ds., Slamet Gundono, dan masih banyak lagi.
Karya-karya baru ini belum dikenal masyarakat luas karena berbagai alasan, misalnya: kurang publikasi, produktivitas rendah, mungkin terlalu ideal sehingga sulit menembus pasar yang terlanjur carut marut. Yang paling memprihatinkan adalah, gagasan inovasi yang muncul sering tidak didukung oleh sumber daya yang mewadai, baik jumlah maupun bobotnya. Karya-karya eksperimen tersebut kiranya perlu dibantu para dalang terkenal untuk melibatkan diri di dalamnya agar segera dapat digemari masyarakat luas. Sebelum Manteb Soedharsono secara tekun ikut menggarap dan bersedia mendalang pakeliran padat, kiranya sulit untuk memasyaratkan bentuk pakeliran yang digagas SD Humardani tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah setiap karya kreatif dan inovatif harus menjadi pavorit di khalayak luas? Apakah sebuah karya kreatif inovatif tidak mungkin menjadi populer di masyarakat?
Sementara dapat dikatakan bahwa pelintasan dan/atau persilangan yang terjadi dalam dunia pedalangan sudah banyak dilakukan di berbagai strata, tetapi kenyataannya masih sangat terbatas dalam segala hal. Selamat berseminar.
Surakarta, menjelang akhir Agustus 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, HW,, 1981. “Kreativitas Usaha Memelihara Kehidupan Budaya” dalam Analisis Kebudayaa. Th. I, nomor 2,
Kartodirdjo, S., 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspekti Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kayam, U., 1981. Semangat Indonesia: suatu Perjalanan Budaya. Jakarta: Sinar Harapan.
, 1987. “Keselarasan dan Kebersamaan” dalam Kebudayaan dan Pembangunan, sebuah Pendekatan Antropologi Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor-Indonesia.
__________, 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media untuk Pusat Studi Kebudayaan UGM.
Khisbiyah, Yayah dan Atiqa Sabardila (ed.), 2004. Pendidikan Apresiasi, Wacana dan Praktik untuk Toleransi Prularitas Budaya. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kuwato, 2001. “Pertunjukan Wayang Kulit di Jawa Tengah, Suatu Alternatif Pembaharuan, Sebuah Studi Kasus,” tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta.
Murtiyoso, B. 1998a. “Bayang-bayang di Balik Dalang.” Pidato Dies Natalis XXXIV STSI Suarakarta, dalam Dies Natalis XXXIV, Wisuda Sarjana/Diploma STSI Surakarta, 15 Juli 1998. Surakarta: STSI Surakarta.
___________, 1998b. “Model-model Bentuk Pembaruan Pedalangan Jawa.” Dalam Gelar, Jurnal Ilmiah dan Seni STSI Surakarta, No. 1 Th. I/1998.
___________, 2004. Menggapai Populeritas, Aspek-aspek Pendukung Menjadi Dalang Kondang. Surakarta: STSI Press.
Murtiyoso dkk., B. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika
Nugroho, Sugeng, 2003. “Studi tentang Pertunjukan Wayang Kulit Enthus Susmono.” Tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni, Minat Pewayangan Nusantara, Program Pascasarjana STSI Surakarta.
Suanda, Endo, 1994. “Beberapa Catatan dari Studi Kasus Wayang Cirebon,” dalam Laporan Temu Ilmiah dan Festival MSPI ’94. Surakarta: Masyarakat Seni Peretunjukan Indonesia.
Sudarko, 1994. “Pakeliran Padat Pembentukan dan Penyebarannya,” tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta.
Sutarto, Ayu, 2002. Menjinakkan Globalisasi, tentang Peran Strategis Produk-produk Budaya Lokal. Jember: Kompyaswista dan Universitas Jember.
Tim STSI Surakarta, 1994. “Konsep Pengembangan dan Strategi Pembinaan Kehidupan Seni Tradisi.” Makalah dipaparkan pada Seminar Nasional Peranan Perguruan Tinggi Seni terhadap Penanganan Seni Tradisi sebagai Unsur Budaya Nasional Indonesia di STSI Surakarta, tanggal 8─9 Juli 1994.
[*] Makalah dipaparkan pada Serial Seminar Nasional Seni Pertunjukan