Minggu, 02 Agustus 2009

PERANG KEMBANG & BAMBANGAN - CAKIL

Tontonan Bermakna Ganda*

Oleh Bambang Murtiyoso

Mencari makna yang menyelubungi tari Bambangan-Cakil sebaiknya jangan dilepaskan dari kisah awal yang dijadikan sumber acuan; yaitu perang kembang salah satu adegan bagian dari suatu per­tunjuk­an wayang (pakeliran). Di mata orang Jawa masa lalu, pertunjukan wayang dianggap sarat dengan simbol-simbol budaya. Sebagai salah satu tontonan, adegan perang kembang memiliki daya pikat luar biasa. Sebab, dalam adegan ini telah terjadi sebuah konflik phisik antara dua kubu yang sangat kontras, yaitu perkelahian antara tokoh halus yang lemah gemulai melawan tokoh-tokoh yang dinamis dan atraktif[1].

Adegan perang kembang lazimnya disajikan di tengah-tengah pakeliran semalam suntuk, saat-saat para penonton sudah mulai jenuh, letih, dan mengantuk. Di masa lalu, adegan perang ini dapat dikatakan menjadi adegan unggulan, yang hampir selalu ditunggu-tunggu oleh sebagian besar penonton pakeliran wayang kulit. Barang­kali karena adegan perang ini sangat menarik, dalam tradisi pakeliran Sala kemudian disebut dengan adegan perang kembang[2]. Dalam konteks tontonan, istilah ‘perang kembang’ dapat diartikan sebagai sebuah perang èdèn-èdèn (hiasan), perang unggulan, atau perang primadona dari sebuah pertunjuk­an wayang yang utuh.

Istilah ‘kembang,’ apabila dirangkai dengan kosa kata lain sering memiliki arti kiasan atau bermakna simbolik; di antaranya menonjol, bukan hal yang lumrah (remeh), sangat menarik, prima­dona, ter­kenal, unggulan, dan sebagainya. Bandingkan makna perang kembang dengan kata-kata majemuk lain, seperti: ‘randha kembang (janda muda yang cantik dan kaya), kembang lambé (buah bibir banyak orang), kembangé désa (primadona desa), dan sebagai­nya.

Orang Jawa di masa lampau, setiap menyikapi ber­bagai hal¾adat-istiadat, tradisi, estetika, etika atau moral¾yang bernilai tinggi kemudian diberi rangkapan makna falsafi. Demi­kian halnya dengan adegan perang kembang, dianggap sesuatu yang bernilai sangar tinggi. Dalam adegan perang kembang tersaji pertarung­an antara tokoh yang berperilaku tenang (ksatria halus) dengan lawannya (yang sangat dinamis, atraktif, dan keras atau mungkin radikal). Dalam budaya Jawa masa lalu, segala hal yang dinamis, suka menantang arus, atraktif, keras atau radikal, sering dinilai sebagai sesuatu yang kasar dan dilawanankan dengan perilaku halus.

Ksatria dalam pakeliran Jawa hampir selalu dianggap se­bagai tokoh yang memiliki karakter terpuji; selalu membela ke­benar­an, suka me­nolong, tokoh pilihan, sering menjadi idola, dan sebagai­nya yang serba baik. Pemberian kedudukan ksatria ini, dalam budaya Jawa, bukan ditentukan oleh faktor keturunan; sebagian besar para Korawa yang berkarakter buruk tidak dapat digolong­kan sebagai ksatria, meski­pun memiliki leluhur yang sama dengan para Pandawa, yaitu para raja, brahmana, dan bahkan dewa.

Di masa lalu, lawan ksatria tidak selalu cakil CS, dalam lakon-lakon tertentu kadang-kadang ksatria harus berhadapan dengan sepasang raksasa hutan yang masih liar. Bahkan, di masa pa­keliran masih sering disajikan di waktu siang hari, sampai sekitar tahun 1960-an, ksatria tidak selalu melawan para raksasa, tetapi se­pasang binatang hutan yang buas (lazimnya harimau dan ular), yang juga bermakna kasar[3].

Istilah bambangan tidak mewakili atau menunjuk nama yang pasti dari tokoh tertentu, seperti: Bambang Irawan, Bambang Priya­mbada, Bambang Wija­narka, Bambang Wisanggeni, Bambang Swatama, Bambang Senggotho, dan sebagainya. Dalam pe­wayang­an¾baik wayang kulit maupun wayang wong panggung ¾perwujudan tokoh bambang­­­an lazimnya bermuka ‘luruh;’ arti­nya menunduk (tidak mendongak) berperawakan langsing dan kecil (mbambang). Bambangan me­rupakan simbol­isasi dari tokoh ksatria berwajah tampan yang serba halus dalam segala hal, meliputi: perilaku, cara beribicara, isi ucapan, dan budi pekerti­nya.

Tokoh-tokoh ksatria yang termasuk bambang­an di antranya adalah Sumantri, Rama, Laksmana, Palasara, Pandu, Permadi (Ar­juna), Abimanyu, Irawan, dan Priyambada. Tokoh-tokoh wayang gagah seperti: Gandamana, Salya, Bima, Gathutkaca, Antareja, Kakrasana, dan yang sejenis tidak lazim disebut sebagai bambang­an, meskipun ter­golong dengan ksatria. Berkaitan dengan perang kembang atau Bambangan-Cakil, tokoh-tokoh tampan yang ber­perawakan kecil dan langsing tetapi bermuka men­dongak (tradisi wayang menyebut ‘longok’ atau ‘lanyap­an’) tidak lazim disebut dengan bambang­an; seperti: Karna, Nangkula, Sadewa, Trutha­­jumena, Nara­soma, Narayana, Wisanggeni, dan Samba.

Berkaitan dengan pengertian halus kasar ini, seorang filsuf yang sering menulis tentang pewayangan, me­ngatakan bahwa:

Halus adalah tanda keselarasan yang sempurna . . . kekuatannya mengalir dengan tenang, tanpa me­nimbulkan perhatian, mirip dengan putaran roda sebuah generator raksasa yang karena kecepat­an dan kehalusannya tak lagi kelihatan gerakannya. Halus adalah seseorang yang sudah mengontrol ke­jasmani­annya dan telah mengatur batinnya sehingga ia mencapai rasa yang benar. Sebaliknya kelakuan kasar adalah tanda kekurangan kontrol diri dan ke­kurangmatangan. Halus merupakan tanda kekuat­an, kasar tanda kelemahan (Franz Magnis-Suseno 1985: 212).

Pendapat Franz Magnis-Suseno ini mungkin dirumuskan atas dasar pengamatannya pada adegan perang kembang dalam pakeliran, yang kemudian juga dapat dilihat dalam pertunjukan wayang wong panggung. Ekspresi tokoh bambangan dalam perang kembang disajikan secara tenang, tetapi cekatan (Jawa: trengginas trampil) pada saat me­lawan musuhnya¾para raksasa atau binatang buas dan liar¾dengan pola perang gendiran; yaitu menggunakan tuding (tangkai tangan wayang) sebagai senjata. Sebaliknya, para raksasa digambarkan dengan gerak-gerak yang liar awut-awutan dibarengi suara auman, geraman (nglokor) dan/ atau berteriak-teriak sesuai dengan wataknya yang ‘kasar.’

Berbeda dengan Franz Magnis-Suseno, Sri Mulyono ber­pen­dapat bahwa:

Perang kembang, yaitu adegan perang antara raksasa Cakil, berwarna kuning, rambut geni berwarna merah, Pragalba berwarna hitam, Galiyuk berwarna hijau, melawan seorang satria yang diikuti panakawan. Adegan ini melambangkan suattu tataran/tingkat, di mana manusia sudah mulai mampu dan berani me­menangkan atau mengalahkan nafsu-nafsu angkara­­nya; sufiah, aluamah, amarah, dan mulhimah (Sri Mul­yono dalam F.X. Koesno ‘Puspa Sari’ 1981:49).

Selain kedua penulis di atas, Suwaji Bastomi memberi arti simbolis perang kembang dalam Gandrung Wayang adalah se­bagai berikut:

Perang kembang sebagai gambaran perjalanan hidup pemuda. Pada usia muda itu orang mencari jati diri untuk memasuki masa dewasa. Dalam menemukan jati diri itu pemuda masih menjumpai godaan-godaan, antara lain godaan setan (raksasa), Satria sebagai gambaran sifat “baik” melawan sifat “buruk” yang digambarkan berupa raksasa. Perang kembang dapat pula diartikan sebagai keberhasilan masa muda dalam memerangi nafsu-nafsu jelek yaitu nafsu aluamah, amarah, sopiah, dan mutmainah (1996a:68¾69)

Berdasarkan pembicaraan awal dalam makalah ini, tari Bambangan-Cakil jelas merupakan cuplikan dari sebagian adegan perang kembang yang memiliki daya pukau (estetika) luar biasa bagi pe­­nonton. Oleh sebab itulah, perang kembang memiliki makna ganda, seperti: adegan primadona, lambang pertarungan antar nafsu baik buruk, konflik kasar halus, dan sebagainya.

Pertanyaannya adalah, apakah pemaknaan tentang halus dan kasar serta perang kembang seperti pendapat Franz Magnis-Suseno, Sri Mulyono, dan Suwaji Bastomi di atas¾dan mungkin masih banyak tokoh lain¾sekarang masih relevan? Apakah para dalang sekarang yang lebih berorientasi kepada komersial (pasar) juga memahaminya? Apalagi pakeliran sekarang telah meng­alami pergeseran, perang kembang bukan lagi sebagai sesuatu yang diunggulkan atau dijadikan primadona dan bukan sesuatu yang selalu dinanti-nanti. Yang selalu ditunggu kehadirannya oleh penonton wayang sekarang adalah: adeg­an limbuk-cangik dan gara-gara yang lebih sarat dengan hiburan dalam durasi waktu yang sangat panjang. Pergeseran sikap demikian ini sering mem­prihatinkan berbagai kalang­­an yang masih menganggap pakeliran sebagai wacana budaya yang me­ngandung muatan nilai tuntunan (devosional dan etika) serta tontonan (estetika dan hiburan).

Selamat bersarasehan.


DAFTAR BACAAN

Abdullah

1979 “Filsafat Jawa,” dalam Mawas Diri, majalah bulanan No. 10 Th. VIII Oktober 1979 dan No. 11 Th. VIII Nopember 1979.

Anderson, Benedict R’OG

1965 Mythology and the Tolerance of the Javanese. Ithaca N.Y.:Cornel University.

Franz Magnis-Suseno

1981 “Renungan tentang Etika dalam Wayang,” dalam Kompas tanggal 7, 8, 10, dan 11 Agustus 1981.

1985 Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksana­an Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Kanti Walujo

2000 Dunia Wayang, Nilai Estetis, Sakralitas & Ajaran Hidup. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Linus Suryadi AG

1993 Regol Megal Megol, Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogya­karta: Andi Offset.

Seno-Sastroamidjojo. A.

1964 Renungan tentang Pertundjukan Wajang Kulit. Jakarta: Kinta.

Soedarsono, Retno Astuti, dan LW Pantja Sunjata (ed)

1986 Lakon Carangan dan Citra Kepahlawanan dalam Pe­wayangan dan Sastra Jawa. Yogyakarta: Proyek Pe­nelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Java­nologi).

Sri Mulyono

1975 Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: B.P. Alda.

1976 “Simbolisme Pergelaran Wayang,” makalah dipaparkan pada Sarasehan Dalang Seluruh Indonesia di Pandaan Jawa Timur dan dihimpun FX Koesno dalam Sebuah Kumpulan Puspa-Sar i, 1981:41¾51.

Suwaji Bastomi

1996a Gandrung Wayang. Semarang: IKIP Semarang Press.

1996b Gelis Kenal Wayang. Semarang: IKIP Semarang Press.


BIODATA

Nama : Bambang Murtiyoso, S. Kar., M. Hum.

Tempat/tanggal lahir : Nganjuk/24 Juli 1946

Alamat : Jln. Kapten Mulyadi No. 304 Surakarta

Pendidikan :

1. Lulus S-1 ASKI Surakarta, tahun 1981

2. Lulus Magester pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gajah Mada Yogya­karta, tahun 1995

Jabatan di STSI Surakarta:

1. Dosen S-1 dan S-2;

2. Kepala Unit Penelitian

Jabatan di luar STSI Surakarta:

1. Ketua Majelis SMKI Surakarta

2. Pengurus PEPADI Komda Jawa Tengah

3. Anggota Dewan Penasehat PEPADI Pusat Jakarta

4. Anggota Dewan Kebijaksanaan SENA WANGI di Jakarta

5. Ketua Yayasan Sesaji Dhalang ‘93

6. Ketua Paguyuban Penggemar Nartasabda “Sabdo Pandito.”

Lain-lain, tetapi penting:

1. pembicara dalam berbagai dialog seni,

2. penggagas pakeliran layar lebar “Sandosa” (1982),

3. penggagas Festival Greget Dalang 1995, per­tunjuk­an wayang selama 50 malam berturut-turut dalam rangka HUT RI ke-50 di Surakarta,

4. penulis naskah wayang dan kethoprak, dan

5. pengamat seni pertunjukan.



* Makalah dipaparkan pada Sarasehan Tari Bambangan-Cakil, diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) dan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Boyolali di Boyolali, tanggal 8 Juni 2002.

[1] Pada awalnya adegan perang kembang hanya dimiliki pada pakeliran Gaya Surakarta, perkembangan selanjutnya pakeliran Gaya Yogyakarta juga memakainya, yang biasa disebut dengan perang bégal.

[2] Pada awalnya adegan perang kembang hanya dimiliki pada pakeliran Gaya Surakarta, perkembangan selanjutnya pakeliran Gaya Yogyakarta juga memakainya, yang biasa disebut dengan perang bégal.

[3] Yang sering terjadi, dalam repertoar lakon-lakon khusus, sepasang raksasa serta binatang hutan yang buas dan liar ini sebenarnya adalah tokoh jadi-jadian (Batara Kamajaya dan Batari Ratih).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar