Minggu, 02 Agustus 2009

MENGGALI DASAR-DASAR KEBIJAKSANAAN ORANG JAWAâ


Oleh Bambang Murtiyoso

(STSI Surakarta)

PENGANTAR WACANA

Tema utama dialog budaya kali ini benar-benar sangat menarik, “Revitalisasi dan Reinvensi Budaya Lokal dalam Upaya Membangun dan Memperkokoh Jatidiri Bangsa,” meskipun sebenarnya telah agak kedaluwarsa, kalau tidak berkenan disebut dengan ngayawara. Sebab, sejak lama budaya lokal, termasuk yang ada di Jawa, secara perlahan-lahan telah mengalami banyak terpaan atau terkikis di makan masa. Hal itu terjadi adanya “gempuran budaya” yang berupa: purifikasi agama, marjinalisasi, politisasi, monetisasi/komersial­isasi, teknologi dan/atau media komunikasi massa baru (radio, televisi, kaset audio dan visual dan/ atau VCD) serta mobilitas sosial dalam segala bentuknya. Sisa-sisa budaya lokal, yang kadang-kadang muncul ke per­muka­an, hanya bersifat ritual dan di­pahami se­cara artifisial semata.

Topik siang ini adalah “Pandangan Hidup dan Perangkat Nilai.” Topik ini membingungkan pemakalah, meskipun berubah tetapi diharapkan tidak jauh melenceng dari tujuan utama, rumusan makalah menjadi “Menggali Dasar-dasar Kebijaksana­an Orang Jawa,” agar tebanya tidak meluas. Perubahan rumusan judul ini ditempuh dengan asumsi dasar bahwa pandang­an hidup dan perangkat nilai dapat dilacak pada wujud dasar kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah merupa­kan tujuan akhir dari pandangan hidup. Mudah-mudahan paparan makalah ini tidak sangat mengecewakan semua pihak, terutama para penggagas acara dialog budaya kali ini, yaitu Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah, Badan Pengembang­an Kebudayaan dan Pari­wisata Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BUDAYA LOKAL TELAH LAMA TERKIKIS

Penggunaan istilah ekstrim gempuran, terpaan, atau kikisan pada awal makalah ini terpaksa dipakai untuk menjelaskan betapa ketidak­ber­daya­annya budaya lokal dalam “berdialog” dengan berbagai hal yang datang dari luar dirinya, seperti adanya purifikasi agama, marjinal­­isasi, politisasi, monetisasi/komersial­isasi, teknologi dan/atau media komunikasi massa baru serta mobilitas sosial. Dialog dengan berbagai hal itu semestinya dapat berjalan dengan seimbang, saling memberi dan menerima, saling melengkapi, serta saling memperkaya; seperti yang telah terjadi di masa-masa lampau.

Tercatat dalam sejarah, di masa lalu Nusantara mampu ber­akulturasi dengan berbagai agama dan budaya dari luar, dengan cara tawar-menawar yang panjang, sehingga telah terwujud budaya baru, yang kemudian menjadi milik bangsa Indonesia. Tetapi dalam kenyataan sekarang, semenjak kemerdekaan, budaya lokal selalu terpojok tak berdaya dalam menghadapi desakan ber­bagai masalah yang datang dari luar dirinya. Desakan itu dapat datang secara pasial maupun simultan. Semboyan “bhineka tunggal ika” sekarang hanya terhenti pada slogan-slogan saja. Semangat nasionalisme para politisi dan birokrat yang tinggi pada awal-awal kemerdekaan, menyebabkan berbagai bentuk budaya lokal telah dikesempingkan, demi kepenting­an per­satuan Indonesia. Keragam­an budaya lokal semakin lama semakin susut dan banyak yang telah mati.

Penyusutan bentuk budaya lokal, baik jumlah maupun mutunya, dapat terjadi karena berbagai terpaan atau gempuran dari luar seperti yang disebutkan di atas. Marjinalisasi dapat dilihat pada bentuk pakem­­­isasi wayang yang terjadi di masa kerajaan, dan berlanjut sampai pada pasca ke­merdekaan, sehingga terjadi sentralisasi gaya pertunjukan wayang; gaya-gaya kerakyatan yang bersifat lokal secara pelan-pelan telah mati, sebab dianggap jelek, kasar, dan ndésa. Kehadiran sekolah kesenian yang didirikan oleh pemerintah RI, seperti Konservaori Karawitan Indonesia[1], merupakan wujud lain marjinalisasi budaya lokal. Sekarang ini semakin kecil jumlah kesenian tradisional; kalaupun ada telah meng­alami lesu darah, setengah hidup dan se­tengah mati misalnya: srandul, wayang klithik, kethoprak, wayang wong panggung, kentrung, wayang bèbèr, wayang gedhog, dan wayang madya.

Purifikasi (pemurnian amalan) agama dapat juga menyusutkan jumlah budaya lokal, misalnya berkurangnya jumlah upacara ruwatan tradisional, baik menggunakan wayang maupun tidak. Selain purifikasi agama penyusutan budaya lokal juga dapat disebabkan adanya komersialisasi/monesisasi dalam upa­cara ruwatan itu sendiri. Pe­nyelenggara upa­cara ruwatan di masa-masa lalu hanya menyedia­kan kelengkapan sesaji (sajèn) saja. Tetapi sekarang, selain biaya peng­adaan sajèn mahal, penyelenggara ruwatan masih harus membayar dalang beserta kerabat kerjanya, mem­bayar sewa: gamelan, wayang, sound sistem, serta ke­lengkapan yang lain.

Bukti penyusutan budaya lokal dapat dicacat adanya sejumlah tobong seni tradisional, seperti: aneka ria Sri Mulat, ludruk, kethoprak, dan wayang orang panggung yang telah gulung tikar satu-persatu; sebab ditinggal oleh penonton, yang sekaligus pendukung eksisitensi­nya. Pertunjukan-pertunjukan seni tradisional itu sekarang hanya dapat dilihat di layar kaca. Yang masih tersisa wujudnya telah ber­ubah, bahkan terjadi penurunan kualitas, kalau kurang setuju disebut dengan “merosot.” Tradisi macapatan dan klenèngan nyamleng atau mat-matan langsung sudah jarang terdengar, tinggal dalam bentuk rekaman dan bergeser pada pertunjukan musik campur bawur yang kurang menggarap pada sari-sarining rasa (estetika, keindahan seni) serta cenderung ke arah saru (tidak pantas). Humor­isasi di dalam pertunjukan kethoprak, wayang orang, dan wayang kulit sekarang menunjukkan gejala merosotnya kualitas. Sebab, para pelakunya telah “gagap” dalam menghadapi perkembangan zaman.

Semenjak pelajaran di sekolah harus menggunakan pengantar bahasa Indonesia, menyebabkan bahasa daerah semakin tidak di­kenal oleh generasi muda. Akibatnya, selain tidak mengenal unggah-ungguh, telah mem­per­­lebar kesenjangan anak-anak dengan budaya lokalnya. Ungkap­an bahasa Jawa yang penuh makna sekarang hanya dipakai dalam bentuk hapalan klise oleh para MC perhelatan dan dalang, yang sering tidak pas peng­gunaan dan pemaknaanya.

Pendangkalan makna juga terjadi terutama disebabkan oleh monetisasi/komersialisasi dan politis­asi. Kuningisasi dalam bidang seni pada masa Propinsi Jawa Tengah dipimpin Gubernur Suwardi sangat dirasakan dampaknya hingga sekarang. Seiring dengan politisasi budaya lokal, telah terjadi komersial­isasi di bidang seni. Sayang, monesisasi atau komersialisasi yang terjadi hanya melayani selera publik; sering tidak dibarengi dengan peningkat­an kualitas dan peng­galian nilai yang terkandung di dalamnya.

Orang-orang tua sekarang pada umumnya telah mengeluh disebabkan merasa sudah tidak mendapatkan sesuatu yang bernilai saat menyaksikan pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang sekarang lebih memusatkan pada bentuk hiburan, hura-hura, dan glamoritas. Perkembangan ekspresi wayang sekarang telah berubah lebih rumit, sophisticated; tetapi masalah ethika dan devosional nyaris tidak digarap oleh para dalang[2]. Jika ada dalang yang menyajikan fungsi-fungsi itu secara lengkap sering ditinggal penonton, sebab bentuk kemasannya dianggap sudah tidak komunikatif lagi, terutama oleh generasi muda.

Pada saat berdialog dengan berbagai hal di luar dirinya, budaya lokal semestinya tidak harus kalah, sepanjang ditangani oleh para pelaku yang kreatif dan memiliki pandangan ke depan. Selain itu, para pelaku perlu memiliki bekal ketahanan budaya yang tangguh sejak masih kecil. Peran lembaga pendidikan formal sangat sentral dan diperlukan. Berdasarkan pengamatan saya, pelajaran kesenian di sekolah-sekolah umum hanya terbatas pada teknik saja dan tidak diimbangi dengan pemahaman apresiasi.

Berbagai kegiatan lomba kesenian yang diadakan di tingkat sekolah sering dibatasi pada paket atau bentuk yang telah jadi seperti yang dikuasai para pengajar, sehingga kesempatan untuk me­ngembang­kan kreatifvitas siswa jarang mendapat perhatian. Guru-guru yang dididik di berbagai program diploma kesenian juga tidak dibekali untuk kepentingan pengembangan kreativitas itu. Ber­kaitan dengan hal ini anak didik hanya menghapal atau melakukan teknik dan menirukan guru saja, dalam menari, menyanyi, meng­gambar, bermain musik, me­nabuh gamelan, dan sebagainya. Akibat­nya, pe­masungan kreativitas siswa berlanjut terus.

Sebenarnya, kurikulum sekolah model Taman Siswa dapat di­cermati lagi. Seingat saya pelajaran bahasa Jawa, seni tari, dan ka­rawitan dikembangkan dengan baik di pawiyatan (sekolah) Taman Siswa. Masalah­nya adalah, apakah masih ada guru-guru yang bersedia dan memiliki kemampuan untuk itu? Kebijakan Depdikbud, di masa lampau bahwa pendidikan guru, termasuk guru kesenian, harus di­selenggara­kan oleh FKIP atau IKIP merupakan kesalahan besar. Sebab, orientasi­nya hanya dipusatkan pada masalah dedaktif dan metode peng­ajaran saja, bukan substansinya, kesenian.

Guru-guru kesenian itu diwajibkan melaksanakan GBPP dan SAP yang telah “diseragamkan” dari pusat tanpa melihat ragam dan potensi kesenian (lokal) yang berkembang dan tersebar di seluruh wilayah. Para penyusun GBPP dan SAP ini menganggap bahwa kesenian (misalnya seni tari) yang di Denpasar, Bandung, Cirebon, Medan, Yogyakarta, Suarakarta, Padang, Riau, Makasar, dan pusat budaya yang lain dianggap sama saja. Kenapa pendidikan guru kesenian tidak diserahkan saja ke lembaga pen­didikan tinggi seni, seperti ISI dan STSI? Kerjasama antara STSI Surakarta dengan UNS tentang program diploma kesenian, telah lama dihenti­kan[3].

Pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, dan hasil-hasil pembangunan menyebabkan mobilitas sosial sekarang semakin beragam, intens, dan pesat. Mobilitas sosial, baik karena disebabkan urbanisme maupun transmigrasi, yang tinggi sangat mungkin membuka wawasan dan peng­alaman baru pada mereka, akibatnya secara tidak disadari secara perlahan-lahan, sebagian besar masyarakat mulai melupakan budaya lokalnya[4]. Orang-orang Jawa yang pindah ke Jakarta sering menjauhkan mereka dengan budaya lokal. Setelah kesempatan ada, secara finansial dan kedudukan, mereka baru me­rasa rindu kembali kepada budaya lokalnya.

Berbagai gempuran terhadap budaya lokal dimaksud dapat di­gambarkan dalam bagan[5] di bawah ini:

berakibat

· penyusutan bentuk,

· pendangkalan makna, dan

· pemiskinan kreativitas



SUMBER KEBIJAKSANAAN ORANG JAWA

Orang disebut bijaksana atau arif apabila mampu mengambil sikap secara tepat dan benar sesuai dengan konteksnya, yaitu: waktu, tempat, dan peristiwa yang dihadapi. Kualitas sikap seseorang dapat dilihat pada mutu ucap­an dan perilaku yang dipilihnya. Istilah bijak­sana sebaiknya tidak dimaknai dari kepentingan sepihak. Contoh ke­pentingan se­pihak: ada seorang pengendara motor telah ditangkap polisi, karena melanggar larangan lalulintas, ia mengatakan “terserah kebijaksanaan pak polisi.” Kita semua menjadi tahu maksud kalimat “terserah kebijak­sanaan pak polisi” setelah pengendara motor menyerahkan se­jumlah uang kepada oknum poltas itu.

Diskusi dan tulisan tentang Jawa sudah banyak diketahui semua pihak. Dari sejumlah referensi yang ada telah menunjukkan bahwa pengertian Jawa itu jamak, majemuk atau plural, bukan tunggal. Orang Jawa sebagian besar tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan sebagi­an Jawa Timur. Akibat dari mobilitas yang terjadi orang Jawa sekarang telah tersebar, hampir di setiap kawasan di seluruh Nusantara. Mereka telah lama bergaul dengan pandangan dunia serta menyerap ber­bagai nilai. Dengan demikian orang Jawa tidak cukup digolongkan atas dasar agama menjadi tiga, seperti rumusan Clifford Geertz, yaitu: santri, abangan, dan priyayi.

Pada kenyataannya, dalam kehidupan berbudaya, orang Jawa itu ber­macam-macam; selain golongan santri, priyayi, dan abangan, dapat digolongkan cara lain yang berlapis-lapis, yaitu: priyayi tetapi santri, priyayi tetapi abangan, priyayi tetapi kristen, dan priyayi tetapi katolik. Peng­golongan orang Jawa dapat cara lain lagi, misalnya orang Jawa yang tinggal di kota tetapi konservatif, tinggal di desa tetapi modern, Jawa asli, Jawa paranakan, dan seterusnya yang masing-masing juga berlapis-lapis. Sejak ikatan yang menyatukan orang Jawa telah digoyang zaman, diantaranya akibat dari proses demokratisasi, orang Jawa yang sekarang menjadi prural seolah-olah telah kehilangan pakem atau pegangan hidup.

Sumber nilai, dasar kebijaksanaan, dan juga pandangan hidup orang Jawa dapat dilacak pada tulisan dan/atau sastra para pujangga dan dunia pewayangan. Tulisan para pujangga biasanya berupa tembang cukup banyak dan lazim disebut dengan “serat,” diantaranya Wulang­reh, Wedha­tama, Hidayat Jati, dan Tripama. Cerita-cerita pewayang­an baik yang masih berupa buku panduan lakon, cerita gancaran, dan rekaman kaset komersial dekade 1970-an dan beberapa pergelaran dapat dijadikan sumber acuan untuk menggali dasa-dasar kebijak­sana­an orang Jawa. Selain karya sastra dan pewayangan juga dapat dirunuit pada ungkapan-ungkapan lisan yang banyak beredar di kalangan masyarakat tradisional.

Berkaitan dengan pelacakan sumber acuan diperlukan seleksi yang ketat se­belum melakukan penafsiran ulang makna yang ter­kandung. Seleksi sangat diperlukan, sebab tidak semua ajaran masa lalu cocok, tepat, dan sesuai dengan kondisi sekarang. Penafsiran ulang harus kreatif agar tidak sekedar menggunakan landasan ke­bijaksanaan tanpa memahami makna hakikinya, baik yang tersurat maupun tersirat. Adanya ke­cenderung­­an budaya plèsèdan untuk mengalih­kan hakekat suatu fenomena yang serius menyulitkan kita saat melakukan perunutan yang benar. Oleh sebab itu berbagai aktivitas yang berupa plèsèdan, dengan segala bentuk argumentasi, perlu segera dihentikan; agar pendangkalan makna berbagai masalah tidak berlarut-larut.

REINTERPRETASI BUDAYA JAWA HARUS KREATIF & SELEKTIF

SERTA TIDAK MANIPULATIF

Tugas kita bersama kali ini adalah mencoba “mengais kreatif” terhadap pandangan hidup dan perangkat nilai yang relevan dari reruntuhan budaya lokal (baca Jawa) yang tersisa secara selektif. Arus demokratisasi dan reformasi akhir-akhir ini pada pelaksanaannya cenderung mengarah ke liberalisasi, bahkan anarkhis, disebabkan oleh kegamangan sebagian bangsa kita yang masih paternalistik. Secara kebetulan, keteladanan para pe­mimpin, apalagi yang memiliki kearifan kolektif sudah sulit kita jumpai sekarang ini.

Berbagai upaya yang mengarah pada bentuk penggalian pandangan hidup dan perangkat nilai dalam budaya Jawa, seperti dialog budaya kali ini, dapat dilacak dalam berbagai referensi yang relevan; seperti panduan moral karya para pujangga dan dunia pewayangan. Sudah barang tentu referensi tersebut merupakan hasil dialog dan proses tawar-menawar yang sangat panjang dan intens dengan budaya yang datang dari luar; yang kemudian diakui sebagai milik sendiri. Budaya dari luar itu pun sangat beragam dan berlapis-lapis, ada yang dibawa oleh para pendatang sebagai pengembang berbagai agama, para pedagang, penjajah, dan sebagainya.

Para ahli budaya Jawa hampir selalu mengatakan bahwa ajaran moral (ethika) Jawa selalu diungkapkan secara tersamar, medhang miring, abstrak, metafor, simbolik, atau melalui perlambangan.[6] Justru segala hal diekspresikan secara simbolik ini sering melahirkan penafsiran ganda serta cenderung ke arah pengaburan makna yang hakiki. Dapat dipastikan pemaknaan berbagai wacana lazim­nya sangat dipengaruhi oleh kepentingan pe­mberi tafsir. Oleh sebab itu, hasil dari kegiatan seperti dialog budaya kali ini sebaiknya berlanjut terus, tidak obor blarak, didokumentasi secara bagus, dan dipublikasikan secara meluas.

Pada dasarnya nilai budaya Jawa itu baik, universal, dan hampir selalu up to date. Persoalannya adalah, pada saat pelaksanaan, implementasi, cenderung tidak sesuai, bahkan berlawanan dengan nilai yang diacu; berbagai alasan pembenaran menyertainya. Orang Jawa, pada umumnya, ber­potensi membelokkan berbagai hal secara sistem­atis untuk kepentingan sesaat. Sehingga, dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan masalah serius. Berbagai ajaran moral sering berbelok arah hanya untuk ke­pentingan sesaat, yang selanjutnya, men­jadi wacana tetap, sebab dianggap benar dan lebih meng­untung­­kan.

Contoh: setiap orang memahami bahwa berbuat dusta (menipu) itu tercela. Tetapi dusta di Jawa sering dianggap wajar setelah di­kabur­kan pemaknaannya, dengan rumusan sistematis: dora (ning) sembada. Makna dora {ning} sembada me­nimbul­kan tafsir ber­lapis-lapis serta sering berimplikasi negatif dalam kehidupan bermasyarakat.[7] Demi untuk membenarkan perbuatan dusta, argumentasi dapat di­ajukan: menipu boleh (sah) dilakukan asal untuk kebaikan orang banyak. Akibatnya bicara dan perbuatan lamis, tidak jujur, atau dusta, ini sering dilakukan banyak orang. Pengertian “orang banyak” yang dijadikan media untuk mngesahkan juga dapat saja di­manipulasi untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang-orang. Akibat lebih panjang adalah, sekarang ini sering menghadapi kesulitan manakala seseorang men­cari kebenaran yang sejati, sahih, berdasarkan realitas, dan bukan kebenar­an yang direkayasa.

Pembenaran terhadap sesuatu yang menurut pandangan sekarang tidak tepat juga pantas segera diluruskan. Ajaran Tripama (Mangku Nagara IV), ketaatan tanpa reserve seseorang terhadap penguasa, dengan dalih kepentingan negara; perlu dicermati agar tidak berimplikasi negatif terhadap para priyayi (baca: PNS atau birokrat).[8] Tiga tokoh wayang yang dijadikan suri teladan dalam Tri­pama (Sumantri, Kumba­karna, dan Adipati Karna) jelas sudah tidak sesuai lagi dengan proses demo­krat­isasi sekarang.

Sumantri dalam cerita wayang gambaran seorang vested interes, cenderung ambisius, demi untuk menduduki jabatan patih telah meng­halalkan segala cara, termasuk membunuh adik sendiri demi kesetia­annya kepada permaisuri raja. Kesetiaan Kumbakarna ter­hadap Alengka (dengan raja bengis dan tirani) kurang tepat di­teladani, kenapa bukan tokoh seperti Wibisana yang lebih arif? Ke­salahan MN IV tentang Kumbakarna ini telah dikoreksi secara jelas oleh MN VII dalam cerita Wahyu Makutharama.

Dikisahkan dalam repertoar Wahyu Makutharama ini, arwah Kumba­karna ber­gentayang­an dan tidak dapat langsung masuk ke surga, sebab kesalahannya dalam me­netapkan sikap di masa lalu, dalam repertoar cerita Rama­yana, Kumbakarna Léna. Kumbakarna disarankan Wibisana untuk “menyatukan diri” dengan seorang ksatria Pandawa, yaitu Bima (yang berwatak jujur, sederhana, dan pembela kebenaran) agar dapat masuk surga. Tersirat di dalamnya, satu ke­bijaksanaan dan nilai yang lebih universal dibanding dengan cerita Kumba­karna Lena, dengan tokoh sentral Kumbakarna yang ditetapkan sebagai salah satu teladan dalam Serat Tripama. Bagaimana posisi Adipati Karna dalam cerita wayang dapat didiskusikan khusus dan tersendiri.

Dari dua contoh tadi, sementara dapat diambil satu kesimpulan dalam menggali nilai-nilai budaya lokal senantiasa harus selektif dan dicari relevansinya dengan keadaan kita sekarang. Pemaknaannya wajib kreatif, dengan cara menafsir ulang secara tepat serta tidak manipulatif. Artinya, tidak semua nilai budaya Jawa itu tepat diterap­kan pada zaman sekarang. Dua kalimat yang berbunyi: (1) mangan ora mangan waton kumpul dan (2) tuna sathak bathi sanak dapat ditafsir secara positif saja. Makna kalimat pertama yang terpenting adalah bukan masalah makan atau tidak; maksudnya dalam situasi susah maupun bahagia, masyarakat harus hidup rukun dan bersatu, apalagi di masa sekarang. Kalimat kedua jelas menunjukkan bahwa bertambah teman itu lebih mulia dibandingkan dengan keuntungan finansial atau materi.

Kisah-kisah pewayangan beserta karakter tokohnya dapat di­cermati kembali. Masih relevankah gambaran kekerasan yang hampir selalu disajikan pada kematian tokoh dengan cara-cara yang keji dalam episode Baratayuda? Seperti kulit seluruh tubuh Sengkuni yang dibeset, tubuh Dursasana yang dicincang dan darahnya diminum oleh pembunuhnya, Bima. Padahal di episode yang lain Bima digambarkan sebagai seorang ksatria Pandawa yang humanis. Begitu juga halnya dengan kematian Kumbakarna, yang dipereteli anggota tubuhnya oleh Laksmana, seorang ksatria yang lemah lembut.

Kita harus kerja keras untuk mendapatkan dasar-dasar kebijak­sanaan dalam budaya lokal sebagai acuan ke depan. Kerja keras ini sekarang menjadi sangat penting, tetapi sangat pelik. Sebab, selain disebabkan oleh semakin menyusutnya jumlah dan kualitasnya, materi yang tersisa telah tersebar di mana-mana, juga dikarenakan para pelaku budaya Jawa kurang konsisten dalam implementasinya.

Catatan penting, semua bentuk kegiatan sejenis revitalisasi dan reinvensi pandangan hidup, perangkat nilai, dan butir-butir kebijak­sana­an seyogyanya tidak berubah ke arah perumusan dan/atau meng­hidupkan kembali budaya feodal yang justru ditentang banyak pihak, karena dianggap menghadang proses demokrasi yang telah terlanjur menjadi kesepakan nasional bangsa kita.

Surakarta, medio September 2003


DAFTAR BACAAN

Ayatrohaedi (ed.), 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Becker, A. L. 1979. “Text Building, Epistemologi, an Aesthetics in Javan­ese Shadow Theatre,” in A. L. Becker and Aram A. Yengiyan (eds). The Imagination and Reality: Essey on South­east Asian Conference System. Norwood New Jersey: Ablex.

Benedict R’.O.G Anderson, 1965. Mythology and the Tolerancy of the Javanese. Ithaca New York: South East Asia Program, Depart­emen of Asian Studies, Cornel Uni­versity.

Brandon, James R. 1974. Theatre in Southeast Asia. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Clara van Groenendael, Victoria M., 1985. The Dalang behind the Wayang. Dordrect-Holand/Cinnaninson-USA: Foris Public­ation.

______________ 1987. Wayang Theatre in Indonesia an Anotatated Bibligrapy. Dordrect-Holand/Frovidence USA: Foris Publication

De Jong, S., 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Edy A. Effendi (ed.), 1994. Islam dan Dialog Budaya. Jakarta: Puspa Swara.

Feinstein, Alan H., dkk, (ed.) 1986. Lakon Carangan Jilid I. Proyek Dokumentasi Lakon Carangan ASKI Surakarta.

Geertz, Clifford 1976. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chikago Press.

Holt, Claire. 2002. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Pengalihbahasa R.M. Sudarsono. Jakarta: art Line untuk Masya­akat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI).

Humardani, SD., 1971. “Masalah-masalah Dasar Pengembangan Seni Tradisi,” makalah dipaparkan pada Seminar Kesenian di Surakarta, tanggal 1 s/d 3 Oktober.

Jakob,T. 1983. Manusia di Jawa dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Proyek Javanologi.

Kartodirdjo, S., 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

______________1986. Ungkapan-ungkapan Filsafat Barat dan Timur, Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. PT. Gramedia, Jakarta.

Kats, J., 1923. Het Javaansche Tooneel: I. Wajang Poerwa. Weltervreden: Comisse voor Volkaslectuur.

Keeler, W., 1987. Javanese Shadow Play. Javanese Selves. New Jersey: Prisceton University Press.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Anthropologi I. Jakarta: UI Press.

______________ 1990. Sejarah Teori Anthropologi II. Jakarta: UI Press.

Kusumadilaga, K.P.A.. 1983. Serat Sastramiruda. Alih bahasa Sudibyo Hadi­sucipto dan alih tulis Kamajaya. Proyek Penerbitan Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta.

Linus Suryadi AG. 1993. Regol Megal Megol; Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset.

Magnis-Suseno, F., 1985. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia.

______________1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ma’ruf al Payamani. 1993. Islam dan Kebatinan; Studi Kritis tentang Perbandingan Filsafat Jawa dengan Tasawwuf. Solo: CV Ramadhani.

Murtiyoso, B., 1988 a. “Seni Tradisi Salah Satu Kebanggaan Bangsa,” makalah disampaikan pada Temu Budaya Jawa Tengah, di Universitas Sebelas Maret Surakarta, tanggal 4 s.d. 6 April 1988.

______________1988 b. “Kebebasan Estetis dan Keterikatan pada Pakem Pedalangan,” makalah disampaikan pada Sarasehan Pana­kawan dan Javanologi Surakarta, di Monumen Pers Nasional, tanggal 12 Oktober 1988.

______________1995. “Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang,” 1995 tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Human­iora, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.

______________1998. “Bayang-bayang di Balik Dalang,” pidato Dies Natalis XXXIV STSI Surakarta tanggal 14 Juli 1998.

______________1989. “Pengembangan dan Pelestarian Pertunjukan Wayang dan Masa Transisi,” artikel pada Peringatan Eka Warsa Panakawan Surakarta, 1 Februari 1989.

Murtiyoso, B., (dkk) 1998. “Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang,” laporan penelitian, kerjasama antara Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dengan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI).

Prawirataruna, n.d. Falsafah Gatolotjo. Alisaksara R. Tanojo. Solo: S. Mulija.

Rahmat Subagya, 1976. Kepercayaan, Kebatinan Kerohanian Kejiwa­an, dan Agama. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatiknya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Ke­budayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudaya­an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Simuh, 1988. Mistik Islam Kejawen, Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI-Press.

Soedarsono, (ed.) 1966. Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. Yogya­karta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pen­didikan dan Kebudayaan.

Sujamto, 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize.

Sumanto, Bakdi. 1994. “Seni Pedalangan, Wayang, Perubahan Sosial,” dalam Jurnal Seni Wiled. Th. I (Juli 1994).

Sumarsam. 2003. Gamelan; Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tandanagara, 1961. Darmagandul, Sala: Sadu Budi.

Umar Kayam, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

______________1984. Semangat Indonesia: suatu Perjalanan Budaya. Jakarta: PT Gramedia, h. 72-88.

______________1987. “Keselarasan dan Kebersamaan,” dalam Kebudayaan dan Pembangunan, sebuah Pendekatan Antro­pologi Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

______________ 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media untuk Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM dengan bantuan The Toyota Foundation.

Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan (ed.), 2002. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammad­iyah Sura­karta.


BIODATA

Nama : Bambang Murtiyoso, S. Kar., M. Hum.

Tempat/tanggal lahir : Nganjuk/24 Juli 1946

Pangkat/golongan : Pembina, IV/a

Jabatan : Lektor Kepala

Alamat : Jln. Kapten Mulyadi No. 304 Surakarta

Pendidikan :

1. Lulus S-1 ASKI Surakarta, tahun 1981

2. Lulus Magester pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gajah Mada Yogya­karta, tahun 1995

Jabatan di STSI Surakarta:

1. Dosen S-1 dan S-2;

2. Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat

Jabatan di luar STSI Surakarta:

1. Ketua Majelis SMKI Surakarta

2. Pengurus PEPADI Komda Jawa Tengah

3. Anggota Dewan Penasehat PEPADI Pusat Jakarta

4. Anggota Dewan Kebijaksanaan SENA WANGI di Jakarta

5. Ketua Yayasan Sesaji Dhalang ‘93

6. Ketua Paguyuban Penggemar Nartasabda “Sabdo Pandito.”

Lain-lain, tetapi penting:

1. pembicara dalam berbagai dialog seni,

2. penggagas pakeliran layar lebar “Sandosa” (1982),

3. penggagas Festival Greget Dalang 1995, per­tunjukan wayang selama 50 malam berturut-turut dalam rangka HUT RI ke-50 di Surakarta,

4. penulis naskah wayang dan kethoprak, dan

5. pengamat seni pertunjukan.



â Makalah dipaparkan pada Dialog Budaya “Revitalisasi dan Reinvensi Budaya Lokal dalam Upaya Membangun dan Memperkokoh Jatidiri Bangsa” diselengarakan oleh Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di Wisma BRM Colomadu, Karanganyar, pada tanggal 26 dan 27 September 2003.

[1] Didirikan pada tanggal 27 Agustus 1951, hampir semua guru Konservatori Karawitan Indonesia (Surakarta) adalah para empu (seniman) yang berasal dari para abdi dalem keraton. Pada awal 80-an sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dan sekarang berubah lagi menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMK) VIII bagi yang berada di Surakarta.

[2] Wacana yang lazim digunakan komunitas pedalangan adalah: para dalang sekarang lebih memusatkan pada fungsi tontonan (estetika dan hiburan) dibanding dengan fungsi tuntunan (ethika dan deposional).

[3] Kasus terakhir, apabila lulusan STSI Surakarta berminat menjadi guru, terpaksa harus menempuh program pendidikan tambah­an selama 3 semester di UNS agar mendapat akta mengajar

[4] Pandangan masyarakat yang semula homogin berubah menjadi heterogin. Masyarakat cenderung me­nyukai bentuk-bentuk budaya massa yang dianggap lebih “modern” dan maju; dengan pemahaman sangat artifisial. Merasa lebih modern apabila bermain dan/atau menikmati: band, dangdut, campur sari, televisi, VCD, dan sebagainya.

[5] Bagan di atas merupakan pengembangan lebih lanjut dari tulisan Kunto­wijoyo berjudul “Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang, Muhammadiyah dan Budaya Lokal” dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan (ed.)

[6] Apakah pernyataan yang lazim dijumpai di atas bukan merupakan bentuk kamuflase terhadap ketidakmampuan kita dalam mendeskripsikan sesuatu secara rinci dan jelas?

[7] Contoh lain yang sederhana: alon-alon waton kelakon, pemaknaannya dalam zaman yang serba cepat seperti sekarang ini harus dicermati kembali secara benar dan kreatif, agar substansinya tidak bergeser.

[8] Harap tidak dicermati sebagai anjuran untuk menentang semua kebijakan penguasa. Penguasa yang baik, jujur, dan benar-benar memikirkan kepentingan rakyat banyak harus tetap didukung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar