Minggu, 02 Agustus 2009

Makalah dipaparkan pada

Workshop Kesenian Wayang dan Konteks Jamannya, Bagi Wartawan

di Tawangmangu, Karanganyar

tanggal 20 Juli 1999

BAHAN DASAR ANALISIS LAKON WAYANG

Oleh Bambang Murtiyoso

HANTARAN

1. Kenapa peduli terhadap wayang?

Ø bukan bentuk lahir (bèbèr, kancil, golèk, purwa, wayang orang, madya, gedhog, suluh, krucil, klithik, sasak, dak-dong, dan sebagainya),

Ø juga bukan harus semalam, ringkas, atau padat, atau yang lain;

Ø nilai kemanusiaan senantiasa menjadi acuan utamanya; dan

Ø aktualisasi nilai-nilai, nut jaman kelakoné.

2. Masalah

Ø berhadapan dengan para penggemar wayang yang fanatik tetapi nihil apresiasi.

Ø berhadapan dengan para seniman (dalang) yang konservatif;

Ø terlalu ketatnya “pakem” (alur lakon, suluk, gending, tokoh, tembang, antawacana, geneologi, dan kebahasaan) yang berlaku pada komunitas wayang tertentu..

Membedah sebuah lakon secara sederhana dapat didasarkan atas bangunan lakon (seperti struktur pertunjukan yang akan disampaikan di belakang) serta genrenya. Kajian yang paling sulit dilakukan dalam wayang kulit adalah melihat visi dan misi lakon. Kesulitan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yang semuanya menyatu pada diri setiap individu yang melakukan analisis. Aspek yang mempengaruhi itu di antaranya adalah: (1) latar belakang budaya, (2) keterlatihan dan kebiasaan, (3) kepekaan pada idiom wayang, dan (4) kesungguhan penikmatan.

Kendala yang dihadapi dalam pertunjukan wayang sekarang adalah dalang, pada umumnya, sudah jarang yang benar-benar menggarap alur dramatik lakon. Para dalang sekarang lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi penyampai pesan “sponsor” dan penghibur. Kedua fungsi ini dapat dikerjakan dalang dengan mudah melalui narasi dan/atau cakapan-cakapan klise pada setiap lakon yang disajikan.

Pesan moral yang disampaikan para dalang ke sebuah lakon, kadang-kadang tidak ada relevansinya sama sekali dengan alur lakon yang sedang disajikan. Para dalang telah memiliki sejumlah wacana klise yang dapat diterapkan pada lakon apa pun dan tokoh apa saja.

Dengan durasi menghibur yang berkepanjangan, seperti yang sering kita lihat sekarang, menyebabkan alur dramatik cerita wayang “seakan-akan” tidak mendapat perhatian dalang sama sekali. Tidak semua dalang mampu menyempatkan diri untuk me-renung (kontemplasi) dan mencari pencerahan dalam mengungkap lakon yang disajikannya. Hal itu barangkali disebabkan oleh: terlalu laris, kejenuhan, keterbatasan wawasan, tingkat intelektual yang lemah, tidak adanya dorongan internal, belum ada keragaman otoritas di antara dalang yang dapat dijadikan acuan, dan sebagainya.

Seseorang dengan leluasa dapat memilih sendiri bagian mana serta bagian yang dianggap paling menarik dalam membahas pertunjukan wayang. Kendala awal yang biasa dan sering dihadapi mereka adalah masalah kebahasaan. Sehingga bagi tingkat pemula lebih senang memilih pada kelakar (sindirian, olok-olok, atau apa saja yang terungkap dalam Limbuk-Cangik dan Gara-gara). Sebab, bahasa yang dipakai di kedua adegan itu lebih komunikatif; hanya sedikit menggunakan bahasa arkhais (Kawi atau Jawa Kuno).

Idealnya, seorang pengritik dapat memahami dan/atau memiliki apresiasi esetetika yang lengkap pada seluruh aspek pakeliran; yaitu: gending, sabet, suluk, tembang dan juga kesustraan wayang. Sebab, garapan lakon yang baik selalu mengalir ke seluruh aspek pertunjukan wayang. Ironisnya adalah, tidak semua dalang mampu dan/ atau mau menggarap lakon dengan sungguh-sungguh; apalagi mengekspresikan ke dalam sebuah sajian yang relevan dengan masalah-masalah aktual. Penyebab utamanya, sering terjadi permintaan lakon baru diketahui oleh dalang hanya beberapa saat menjelang naik ke atas panggung.

Sebagai bahan workshop kali ini, berkaitan dengan analisis lakon, di bawah ini dipaparkan beberapa elemen dasar pakeliran Gaya Surakarta.

LAKON WAYANG

Lakon wayang kulit purwa, pada mulanya jelas bersumber pada kitab wiracarita Hindia, Ramayana dan Mahabarata. Dalam pertumbuhannya, terutama di Jawa, telah mengalami perubahan yang luar biasa; sehingga sudah jauh berbeda dibandingkan dengan epos aslinya. Para genius lokal di Jawa mengembangkan lakon-lakon wayang disesuaikan dengan masalah-masalah yang relevan dengan cita rasa masyarakat pen­dukungnya.

Pada masa lalu, zaman pemerintahan PB X di keraton Surakarta, telah dibakukan lakon-lakon wayang ke sebuah kitab panduan (pakem lakon), yang terkenal dengan “Serat Pustaka Raja Purwa.” Masyarakat pedalangan di luar keraton, selain mengacu Pustaka Raja Purwa, juga mengembangkan pakem sendiri, sesuai dengan selera komunitas masing-masing. Sehingga, tidak mengherankan apabila versi lakon wayang sangat bervariasi di Pulau Jawa.

Selain wayang purwa, di Jawa dikenal pula beberapa sumber cerita wayang lain, seperti Serat Pustaka Raja Madya, Seerat Panji, Serat Damarwulan, Serat Kancil Kridhamartana dan Serat Ménak. Beberapa pustaka wayang non purwa ini merupakan sumber lakon pada pakeliran Madya, Gedhog, Klithik, Krucil, Kancil, dan Golek Ménak; tetapi hanya memiliki pendukung terbatas, sehingga tidak dikenal secara meluas.

Di masa lalu dikenal ada lakon baku (pokok, pakem, atau lajer) dan lakon carangan (saduran, pengembangan, modifikasi, tidak dijumpai dalam lakon baku). Lakon carangan lama-kelamaan menjadi baku pula, setelah mengalami peredaran dan per­kembangan meluas. Sekarang, lakon pakem hanya ada di kepustakaan wayang saja; sebaliknya lakon carangan “mekar” terus tanpa berhenti di masyarakat pedalangan.

Sebuah pakem hanya diberlakukan pada komunitas dan kurun waktu tertentu. Artinya, tidak ada satupun pakem yang berlaku secara general dalam waktu yang abadi. Lahirnya suatu pakem dipengaruhi oleh otoritas perorangan dan/atau institusi. Selama otoritas setempat tidak ada, maka acuannya pada otoritas yang ada di daerah lain.

Berkaitan dengan lakon, di Surakarta dikenal ada tiga pakem, yaitu: (1) pakem pedalangan jangkep, (2) pakem gancaran, dan (3) pakem balungan. Pakem pedalangan memuat panduan lengkap untuk mendalang semalam suntuk; meliputi petunjuk berbagai teknis pakeliran; gending, sabet, narasi (janturan dan pocapan), serta dialog. Pakem Gancaran merupakan himpunan sejumlah lakon secara bersambung. bukan pedoman praktis untuk pakeliran. Pakem Balungan memuat garis besar alur lakon secara ber­urut­an, dari jejer sampai tanceb kayon.

BANGUNAN LAKON PAKELIRAN SEMALAM

(masa pakem)[i]

Pengantar

gending-gending pembuka,

patalon

Bagian pathet Nem

1. Jejer[ii] (adegan I), persidangan resmi di Sitinggil; membicarakan masalah utama yang menjadi tema sentral lakon. Dirangkai dengan: (a) Babak Unjal (tamu raja), (b) bedholan jejer (peserta persidangan meninggalkan sidang), dan (c) gapuran (raja menghibur diri dengan mengamati keindahan gapura di istana dalam).

2. Adegan[iii] Kedhatonan, permaisuri raja menyaksikan pelatihan tari di istana dalam, sambil menunggu kedatangan sang raja dari persidangan. setelah raja datang, berbicara singkat tentang inti pembicaraan di Sitinggil. Setelah raja dan permaisuri meninggalkan tempat, maka diseling dengan adegan humor. Bagian ini terkenal dengan Limbukan-Cangik.

3. Adegan Paséban Jaba, para sentana dan punggawa raja di Pagelaran (Sasana Sewaka); melakukan pembagian tugas dari hasil persidangan di Sitinggil. Dirangkai dengan: (a) budhalan wadya, (b) kapalan, (c) candra kréta, dan (d) perang ampyak.

4. Adegan Sabrangan, para tokoh antagonis akan berbuat mentang atau melawan tokoh-tokoh atau keluarga yang disajikan pada jejer.

5. Perang Gagal[iv] terjadi perselisihan antara prajurit jejer dengan prajurit sabrangan.

Bagian Pathet Sanga

1. Pada bagian kedua ini, dapat diawali dengan dua pilihan adegan, yitu gara-gara[v]dan adegan sanga sepisan. Adegan sanga sepisan memiliki juga memberikan tiga pilihan adegan, yaitu: (a) pertapaan, (b) kasatriyan, dan (c) ksatria di hutan.

2. Barisan rasaksa (cakil dan kawan-kawan), kebingungan tidak tahu arah jalan keluar.

3. Perang Kembang[vi], perselisihan dan berlanjut dengan pertarungan antara seorang ksatria melawan Cakil dkk.

Bagian Pathet Manyura

1. Adegan Manyura I, persidangan membicarakan masalah-masalah yang timbul berkait dengan tema lakon.

2. Adegan Manyura II, para tokoh bersidang untuk mengantisipasi tindakan para tokoh pada adegan manyura I.

3. Perang brubuh, perang habis-habisan antara pendukung antagonis dengan protagonis, yang diakhiri dengan, tayungan.

4. Adegan terakhir, ditutup dengan golèkan.

Dengan pola pertunjukan yang nyaris ajeg itulah maka ada yang menafsir bahwa pakeliran semalam itu merupakan simbol perjalanan hidup manusia dari masa sebelum lahir sampai pada saat mati (pralambang urip sauripan).

Struktur pertunjukan seperti yang dipaparkan di atas, toleh sebagian besar dalang, tidak semuanya diataati. Hal itu sangat bergantung pada usia serta tingkat kreativitas dalang. Munculnya adegan prolog dan flash-back yang dipelopori Ki Manteb Soe­dharsono merupakan salah satu pertanda bahwa struktur pertunjukan wayang sudah berubah, meskipun masih ada sejumlah dalang yang tetap mentaatinya.

GENRE LAKON

Di kalangan masyarakat pedalangan, lazimnya lakon memiliki makna ganda, yaitu (1) nama tokoh sentral, (2) judul repertoar, dan (3) jalan (alur) cerita. Maka sering terdengar pertanyaan: sapa lakoné, lakoné apa, atau lakoné piyé?

Alur lakon, bagi masyarakat Jawa pada umumnya, dipandang tidak sangat pokok. Bagi mereka yang terpenting adalah muatan-muatan moral pada setiap dialog wayang. Sedangkan judul lakon merupakan pilihan kedua, oleh sebab itu dapat terjadi sebuah repertoar lakon memiliki dua nama atau lebih; contoh repertoar berjudul Kangsa Adu Jago, ada yang menyebut Kangsa Léna atau Ontran-ontran Mandura. Contoh lain: (a) Wahyu Gada Inten disebut dengan Wahyu Katentreman, Ki Sayoko menyebut dengan Wisanggeni Gugat; (b) Alap-alapan Sukèksi, juga disebut Sastrajéndra, Lahiré Rahwana (Ki Nartasabda), dan terakhir oleh SENA WANGI diberi judul Mélik ngGéndhong Lali.

Pemberian judul yang “semena-mena” demikian ini semakin sulit dilacak apabila para dalang atau penggarap lakon melakukan kemasan cerita dengan cara mengawinkan sejumlah repertoar menjadi satu atau memodifikasi lakon-lakon dengan menggabungkan sejumlah alur yang telah ada. Akibat lebih lanjut, setiap studi lakon menjadi sangat sulit pada saat menyusun pengelompokan genre dengan identifikasi secara ketat. Sebab, tema yang dikembangkan selalu berjalinan dengan alur cerita yang terdapat pada genre lakon yang lain.

Bambang Murtiyoso dan Suratno dalam penelitiannya berjudul “Studi tentang Repertoar Lakon Wayang yang Beredar Lima Tahun Trakhir di Daerah Surakarta” mencoba mengelompokkan genre lakon secara sederhana, didasarkan atas dua hal yaitu: (1) berdasarkan judul lakon dan (2) berdasarkan peristiwa penting (pokok) yang terjadi dalam lakon.

Berdasarkan Judul ada 11 genre lakon, yaitu jenis lakon:

1. Lahiran (misalnya: Sekutrem Lair, Lairé Sakri, Lairé Palasara, Lairé Abiyasa, Lairé Pandhu, Lairé Permadi, Lairé Abimanyu, dan Pariket Lair).

2. Rabèn atau Krama (misalnya: Rabiné Sekutrem, Sakri Rabi, Palasara Krama, Irawan Rabi, Parta Krama, dam Gathutkaca Krama),

3. Alap-alapan (misalnya: Alap-alapan Sukèksi, Alap-alapan Setya-boma, Alap-alapan Rukmini, dan Alap-alapan Surtikanthi.

4. Sayembara (misalnya: Sayembara Manthili, Gandamana Sayembara dan Sayembara Kasipura),

5. Gugur, léna, atau muksa[vii] (misalnya: Abiyasa Muksa, Baladewa Muksa, Pandhawa Muksa, Kumbakarna Gugur, Bisma Gugur, Séta Gugur, Gathutkaca Gugur, Indrajid Léna, dan Kangsa Léna).

6. mBangun (Contoh: mBangun Ngastina, mBangun Taman Mahérakaca, mBangun Candhi Saptarengga, Semar mBangun Kayangan, Semar mBangun Klampis Ireng, dan Semar mBangun Gedhong Kencana).

7. Jumenengan (Umpama: Jumenengan Pandhu, Jumenengan Baladéwa, Jumenengan Puntadwa, dan Jumenengan Parikesit).

8. Wahyu (Misalnya Wahyu: Cakraningrat, Pancadarma, Purbasejati,, Makutharama, Déwandaru, Pancasila, Legundhi Wulung, Hidayat Jati, Widayat Pitu, Tri Loka Eka Bawana, Darma, Tri Manggala, Tri Marga Jaya, Kastuba Urip, Lobaningrat, Séna­pati, Jatmika, Tohjali Abadi, Jayaningrat, Linggamaya, Makutha Kencana, Pa­nunggal Jati, Sabuk Gendam Pamungkas, Mustikaningrat, serta Saptamaya).

9. Nama Tokoh (Contoh: Bremana-Bremani, Mumpuni, Watugunung, Ngruna-Ngruni, Sri Mahapunggung, Buk Bis, Bambang Kalingga, Dewa Amral, Palguna-Palgunadi, Bambang Dwi Hastha, Begawan Lomana, Kilatbuwana, Begawan Semong, Murca­lelana, Suryandadari, Mayangkara, dan Begawan Ciptaning).

10. Banjaran (Umpama Banjaran: Karna, Bima, Gathutkaca, Baladéwa Anoman, dan Sengkuni).

11. Duta (Misalnya: Anoman Duta, Anggada Duta, Drupada Duta, Kunthi Duta, Pétruk Duta, dan Kresna Duta).

Berdasar Peristiwa Penting ada 8 genre lakon, yaitu jenis lakon:

1. Paékan (Sinta Ilang, Gandamana Luweng, Gathutkaca Sungging, Kresna Cupu, Kresna Larung, Balé Sigala-gala, Séna Ranté, Gathutkaca Tumbal, dan Pancawala Larung.

2. Kraman (makar) contoh: Rajamala mBaléla, Kangsa Adu Jago, Brajadhenta mBaléla, dan Irawan Mérong.

3. Asmara (Irawan Maling, Guru Maling, Pétruk Gandrung, dan Limbuk Wuyung.

4. Wirid (Pandhawa Pitu, Parinca-Paridarma, Bimasuci, dan Déwaruci).

5. Ngèngèr (Contoh: Sumantri Ngèngèr, Wibisana Tundhung, serta Trigangga Suwita).

6. Kilatbuwanan (Anoman Maneges, Begawan Lomana, Anoman Racut, Begawan Warsitajati, dan Wahyu Katentreman).

7. Perang Ageng (Palwaga, Pamuksa, Guntarayana, Gojalisuta, Ameras, Baratayuda Jayabinangun, dan Bégajanu)

8. Boyong (Sinta Boyong, Kresna Boyong, Semar Boyong, dan Pandhawa Boyng.

9. Pasemon (Swarga Bandhang, Rajamala, Kresna Kembang, Tuguwasésa, Pétruk Dadi Ratu, Garèng Dadi Déwa, dan Mustakawèni,

Sebenarnya masih banyak judul lakon wayang kulit yang tidak dapat dikelompok­kan ke dalam dua model di atas. Sebab, jumlahnya tidak banyak dan lakon-lakon yang beragam itu hanya bersifat situasional serta tidak populer di kalangan luas, seperti lakon Sembadra Tingkep, Cakil Krama, Kitiran Putih, Selapanan Palasara, Kinjeng Emas, Abiyasa Angon Putu, Kunthi Nyidham, dan Sepasaran Mantèn Permadi.

PENUTUP

Dalam setiap analisis lakon wayang, terutama dalam pakeliran, yang perlu diketemukan lebih dahulu adalah gagasan awal atau pokok, ide sentral, tema dan amanat lakon; atau yang sekarang sedang dipopulerkan Sudarko Prawiroyudo adalah visi dan misi lakon. Dua hal ini yang mestinya digarap dan/atau diungkap dalang mulai dari jejer sampai dengan tanceb kayon (akhir); melalui garapan alur, perwatakan tokoh, janturan/pocapan, iringan (suluk dan gending), sabet, dan terutama dalam cakapan-cakapan wayang.

Sayang, sebagian besar dalang, dalam menggelar lakon lebih banyak asal membeberkan saja alur cerita seperti yang biasa dilakukan oleh para pendahulunya atau yang tertulis dalam “pakem balungan.” Seperti yang disinggung di muka, alur dramatik nyaris kurang mendapat perhatian para dalang. Sehingga alur cerita yang disajikan “ndelujur” atau linear.

Garapan lakon wayang yang bagus dan menarik seperti yang sering dilakukan oleh Ki Nartasabda; dan sekarang dapat dicermati ke beberapa garapan lakon Ki Manteb Soedharsono dan Ki Purbo Asmoro. Konflik masalah diungkap mereka secara piawai melalui garapan unsur-unsur pakeliran (dialog, narasi, musik, dan sabet) dalam setiap adegan wayang.

Demikianlah bahan yang dapat disampaikan pada kesempatan ini, pengembang­annya dapat ditambahkan dalam arena diskusi bersama.



[i] Semenjak Era Ki Nartasabda, pola pakeliran semalam ini sudah jarang diikuti oleh para dalang secara ketat.

[ii] Bagi pakeliran gaya Surakarta, istilah jejer hanya dipakai pada adegan pertama saja, di Yogyakarta semua adegan disebut dengan jejer.

[iii] Disebut adegan apabila pertemuan wayang diiringi dengan gending berpola baku, dengan dilengkapi dengan janturan (salah satu jenis narasi).

[iv] Di Yogyakarta disebut dengan perang kembang. Baik gagal maupun kembang dapat berarti sama, yaitu bukan perang yang utama.

[v] Gaya Surakarta di masa lalu, hanya lakon-lakon khusus yang diseling gara-gara. Di Yogyakarta setiap lakon harus menyelipkan gara-gara. Sekarang, hampir semua dalang selalu menyajikan adegan gara-gara,. Perubahan ini diawali oleh Ki Nartasabda.

[vi] Di Yogyakarta disebut dengan bégalan atau perang bégal.

[vii] Ada beberapa judul lakon khusus yang menggambarkan matinya tokoh tertentu, misalnya Ranjapan (Abimanyu Gugur), Suluhan (Gathutkaca Gugur), Tigasan (Jaaya­jrata Léna), Timpalan (Dursasana Léna) dan Rubuhan (Duryudana Léna).

1 komentar:

  1. Caos ralat kemawon ing serata nginggil menika bilih Timpalan menika Burisrawa Gugur sanes Dursasana Gugur. Menawi Dursasana Gugur asring sinebat Jambakan.

    BalasHapus