Minggu, 02 Agustus 2009

PERTUNJUKAN WAYANG PURWA DALANG POPULER

Sebuah Kajian Tekstual

Oleh Bambang Murtiyoso (STSI Surakarta)

A. PENGANTAR

Pengamatan terhadap pergelaran wayang Anom Suroto dan Manteb Soedharsono akhir-akhir ini; menunjukan adanya perubahan wujud pakêliran, meskipun tidak sangat besar. Dalam seni tradisional, khususnya Jawa, perubahan atau penyimpangan yang terjadi¾sekalipun kadarnya terhitung kecil dan tipis¾sama besar efeknya dengan penyimpangan yang radikal dalam sastra modern.[1] Sajian unsur-unsur pakêliran banyak berbeda bila dibandingkan dengan yang dilakukan oleh dalang lain dan/atau sebelum mereka. Hal ini menunjukkan adanya perubahan, meskipun sedikit atau tipis sekali.

Kekuatan estetis pakêliran, dan seni pertunjukan tradisional pada umum­nya, terletak pada daya reinterprestasi dalang terhadap perwujudan vokabuler-vokabuler yang berlaku di subbudaya tertentu. Reinterprestasi ini berupa kemampuan dalang dalam pengembangan lebih lanjut berbagai wujud aspek-aspek pakêliran, yang kemudian menjadi ciri yang khas dari seorang dalang. Ciri khas dalang ini di Surakarta lazim disebut dengan wilêd atau gaya pribadi. Hal ini juga berarti bahwa teknik penyajian dalam pertunjukan wayang tidak harus baru; artinya, dapat meniru dan/atau mengembangkan yang telah ada sebelumnya.

Ciri dasar perwujudan seni tradisional terletak pada penggunaan vokabuler, yang pada walnya merupakan garapan medium: gerak, suara, bahasa, bentuk, warna, serta garis. Vokabuler seni tradisional umumnya telah mapan dan berlaku lama, secara turun-temurun di subgaya tertentu, sebagai panduan berkarya seni. Setiap perubahan dalam seni tradisional harus melalui proses panjang dan mendapat “persetujuan” dari para peemegang otoritas seni tradisional. Dalam pertunjukan wayang Jawa, vokabuler ini disebut dengan pakêm.[2]

Pakêm berisi panduan sebagian atau keseluruhan aspek pakêliran, meliputi: cerita, catur, sabêt, dan iringan. Pakêm, yang semula ditetapkan sebagai panduan dan hanya berlaku bagi subgaya pedalangan tertentu, oleh generasi penerusnya dianggap sebagai sesuatu yang baku. Ada sementara masyarakat pewayangan dan/atau pedalang­an mendudukkan pakêm sebagai sesuatu yang sangat tinggi dan normatif, seperti pen­dapat di bawah ini:

. . . sang dalang DILARANG: merobah sesuka hatinja sendiri (sewenang-wenang) rangka, djalannja dan maksudpertundjukan wajang kulit. Satu dan jang lain harus sesuai dengan apa jang telah ditetapkan dalam “Pakêm,” jaitu sebuah kitab (tjantatan atau daftar) dalam mana tertjantum pelbagai peraturan mengenai bentuk dan djalannja tjeritera pada suatu pertundjukan wajang kulit, boneka-boneka jang harus dipakai, lagu-lagu gamelan jang menghantarkan, dan lain-lain.[3]

Sikap menolak dan/atau menghambat perbaruan demikian itu selalu muncul dalam kehidupan masyarakat tradisional, seperti pendapat Kartodirdjo bahwa:

. . . Faktor penyimpangan dan pembaharuan rupanya dipandang mengandung risiko bagi kesinambungan atau dengan perkataan lain hal itu mengancam keutuhan tradisi yang tercipta. Dapat dipahami bahwa tradisi dengan sistemnya adalah hasil usaha suatu masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan situasi baru. sekali terbentuk sudah barang tentu tidak begitu saja hendak dilupakan, akhirnya setiap pengaruh dari luar dipandang sebagai ancaman, sebab secara potensial menimbulkan krisis. Kehilangan orientasi menempatkan orang dalam kebingungan dan serba kekhawatiran, oleh karena itu hendah dihindari sejauh-jauhnya.[4]

Hambatan dalam pengembangan pakêliran pernah dihadapi Humardani dan rekan-rekannya¾saat masih menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan bergabung di HSB (Himpunan Seni Budaya)¾pada waktu merintis dan mengembangkan gagasannya tentang pakêliran baru; yang sekarang terkenal dengan istilah pakêliran padat.[5]

Pada kenyataannya, sepengetahuan penulis, wujud pakêliran pada umumnya, apalagi sekarang, banyak yang berbeda dengan pakêm baku mana pun. Sebuah pakêm, hanya berlaku pada subgaya pakêliran tertentu; ini berarti tidak satu pun bentuk pakêm yang berlaku untuk semua tempat dan waktu;[6] seperti tersirat dalam kesimpulan Van Groenendael yang mengatakan bahwa:

. . . pertunjukan wayang sama sekali tidak tertutup dan tidak bisa diubah, baik dari segi isi maupun susunan, sanggup menyesuaikan diri terhadapa segala macam peristiwa yang dirayakannya dengan per­tunjukan wayang oleh dalang, dan memberi keleluasaan penuh-apabila perlu-kepada dalang untuk memainkan bakat improvisasinya yang mutlak penting itu. Karenanya, pementasan suatu lakon tidak bisa dipandang terlepas dari tempat dimana lakon itu dipentaskan. Kedua-duanya berkait tidak terpisahkan. Sebabnya pula, mengapa setiap pergelaran lalu di­terjemahkan berbeda-beda.[7]

Sebenarnya, tidak ada pengaruh langsung antara pakêm dan kualitas pakêliran, meskipun ada sementara orang yang bersikap sebaliknya. Penulis pernah menyampaikan pendapatnya di suatu sarasehan dalang Surakarta, bahwa kualitas pakêliran tidak disebabkan oleh lakon, tetapi lebih dipengaruhi oleh kreativitas serta bobot dalang. Bila seorang dalang memiliki kekayaan sanggit (pandai mengembangkan atau menggarap lakon), mempunyai bekal cukup-sabêt, memiliki dasar zaman, dan berpandangan luas-sajian pakêliran-nya dijamin pasti bagus.[8]

Berlait dengan pengembangan pakêliran dan pakêm, penulis pernah menyampai­kan pendapat bahwa:

Upaya pengembangan yang dilakukan oleh para dalang untuk penyesuaian zaman demikian adalah sangat wajar. Sekalipun dalam dunia pedalangan kita mengenal “pakêm-sebagai standar atau pedoman mendalang-tetapi pada kenyataannya pedoman itu tidak pernah ketat-ketat diikuti oleh para dalang. Dalam batas-batas tertentu dalang masih secara leluasa dapat mengesampingkan. Sebab, sebenarnya batas itu pun juga tidak nampak secara jelas. Pakêm itu hanya dianggap pedoman awal bagi calon dalang. Karena itulah kita tidak perlu memperbesar kecurigaan dan menyatroni terhadap upaya pengembangan serta pe­rubahan sajian pedalangan/ pakêliran. Yang mungkin dapat diper­soalkan adalah, sejauh mana pengembangan dan/atau perubahan (atau sebut dengan istilah pembaruan) pertunjukan wayang ddapat memberikan nuansa yang lebih memantabkan kehidupan kita; terutama kehidupan jiwani kita.[9]

Semenjak para dalang penganut tradisi pakêliran Keraton Surakarta sering bertemu dengan dalang-dalang dari luar keraton dalam berbagai kesempatan¾ penataran, sarasehan, dan sebagainya¾percampuran antara kedua tradisi (keraton dan kerakyatan) semakin menjelas. Pengaruh tradisi pakêliran dari luar keraton tampak lebih kuat dalam perkembangan pakêliran sekarang, sebab sebagian besar para dalang yang mengikuti pengajaran dalang di keraton pun pada umumnya sudah memiliki kemampuan mendalang yang diwarisi dari orang tuanya (yang memiliki konvensi sendiri).

Secara kebetulan, para dalang yang populer di masyarakat luas hampir selalu muncul dari luar keraton, meskipun pernah belajar di lingkungan keraton, seperti: Pujasumarto, Nyatacarito, Wignyasutarna, Gitasewaka, Harcacarita, Warsina, Nartasabda, Panut Sosro Dharmoko, Sudarman Gandadarsana, Timbul Hadi prayitno, Hadi Sugito, Anom Suroto, dan Manteb Soedharsono. Banyak dalang yang muncul dan populer di masyarakat, bukan berasal dari keraton, ekmudian diangkat menjadi pegawai keraton, abdi dalêm, disebabkan oleh prestasinya yang menonjol, di antaranya adalah: Timbul Hadiprayitno (Keraton Yogyakarta), Anom Suroto (Keraton Kasunanan Surakarta), dan Manteb Soedharsono (Pura Mangkunegaran, Surakarta). Ketiga dalang yang disebut terakhir, meskipun sudah menjadi abdi dalêm, tetap mempertahankan bentuk pakêliran-nya sendiri, sering menjadi bahan olok-olok para pembesar keraton sebab dianggap menyimpang dari pakêm yang mestinya menjadi acuannya. Lambat laun pengaruh para dalang populer itu pasti berpengaruh pada bentuk pakêliran yang ada di keraton.

Setiap dalang populer mempunyai konsep dan strategi yang berbeda-beda dalam mengembangkan pakêlirannya, meskipun secara garis besar masih dapat digolongkan ke dalan pakêliran tradisi Surakarta. Konsep dan strategi pengembangan pribadi ini, meskipun hanya sebagian dari aspek pakêliran yang ada, menjadikan seorang dalang memiliki ciri khas. Pada saat memberikan ceramah kepada para peserta Sarasehan Dalang Ramaja se-DIY, Boedihardjo mengemukakan bahwa:

. . . menjadi dalang harus punya keberanian, telaten, titèn, dan tahu kemampuan dirinya di bagian tertentu dalam seni pedalangan. Tapi, bagaimanapun, dalang profesional itu harus hangabèhi. Meski untuk menonjol di sisi sanggit, sabêtan, sulukan, gending, dan sebagainya secara bersam-sama tidak mudah.[10]

Para dalang muda, seperti: Purbo Asmoro, Blacius Subono, dan Wisnu Warsito berpendapat bahwa modal terpenting agar dapat menjadi dalang adalah mempersiapkan mutu pakêliran-nya dengan sungguh-sungguh, selain harus selalu tanggap terhadap perubahan masyarakat. Kesungguhan itu diantaranya diwujudkan dengan penguasaan teknik sajian pakêliran secara tuntas, selaras dengan konvensi pedalangan yang dianut dalang.

Almarhum Nartasabda memusatkan garapan barunya pada bentuk narasi serta cakapan komunikatif, penekanan efek dramatik wayang, humor atau lawakan segar, modifikasi lakon, dan gêndhing atau lagu. Garapan seperti ini kemudian banyak diikuti oleh para dalang lain, sehingga gaya pribadi yang semula khas Nartasabda sekarang sulit untuk dilacak atau menjadi kabur.[11]

Pada bagian ini akan disampaikan pemerian secara garis besar bentuk pakêliran dua dalang yang menjadi perhatian utama dalam penelitian, Anom Suroto dan Manteb Soedharsono. Secara kebetulan dua dalang populer ini menganut tradisi pakêliran yang sama, Surakarta; dengan demikian cara-cara yang dipakai dalam pemerian akan lebih banyak menggunakan cara yang lazim berlaku dalam tradisi Surakarta, khususnya keraton.

Pemerian bentuk pakêliran dalang populer digolongkan menjadi empat kelompok sajian, yakni: lakon, catur, sabêt, dan iringan.

b. Sajian Lakon

Istilah lakon di kalangan seni pertunjukan tradisional Jawa dapat berarti: “tokoh utama” pada keseluruhan peristiwa di dalam sebuah cerita yang disajikan, tersurat dalam pertanyaan: lakoné sâpâ? (lakon-nya siapa?). Istilah lakon juga dapat berarti “alur cerita,” dalam bentuk pertanyaan: lakoné kêpriyé? (lakonnya bagaimana?). Arti lain lakon adalah “nama repertoar” cerita yang disajikan, seperti yang dikandung dalam pertanyaan yang berbunyi: lakoné âpâ? (lakonnya apa?).

Pembicaraan tentang sajian lakon dalam tesis ini lebih ditekankan pada cara dalang dalam menyajikan plot atau alur cerita dalam pertunjukan wayangnya. Dengan demikian dalam pembicaraan tentang sajian lakon penulis tidak menggunakan cara yang lazim dalam dunia sastra modern seperti yang dilakukan Boen S. Oemarjati.[12] Setiap penampilan repertoar cerita wayang, para dalang populer¾meskipun hanya pada adegan pokok¾biasanya masih mengacu pada bangunan (struktur) lakon pakêliran tradisi keraton, yang seakan-akan telah menjadi baku.[13] Sajian pakêliran dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni: bagian pathêt nêm, bagian pathêt sângâ, dan bagian pathêt manyurâ.[14] Masing-masing bagian pathêt[15] mempunyai pola susunan adegan secara berurutan, terutama pada bagian pathêt nêm seakan-akan tetap dalam sajian lakon apa pun. Bangunan lakon yang lengkap menurut tradisi pakêliran Keraton Surakarta dapat dilihat di bawah ini.

Bagian pathêt nêm terdiri atas adegan[16]:

1. jêjêr atau adegan pertama[17], dilanjutkan babak unjal, bendholan, dan gapuran;

2. kedhatonan, dilanjutkan limbukan;

3. pasèban jâbâ, dilanjutkan budhalan, kapalan, pocapan kêréta dan/atau gajah, dan pêrang ampyak;

4. sabrangan (dapat dua kali atau sekali); dan

5. pêrang gagal.

Bagian pathêt sângâ terdiri atas adegan:

1. sângâ sêpisan dapat berupa adegan: pêrtapan, alas, atau gârâ-gârâ;

2. pêrang kêmbang;

3. sintrèn atau sângâ pindho atau magak); dan

4. pêrang sampak tanggung.

Bagian pathêt manyurâ terdiri atas adegan:

1. manyurâ kapisan;

2. manyurâ kapindho;

3. manyurâ katêlu;

4. pârang brubuh;

5. tayungan; dan diakhiri

6. tancêb kayon dan/atau golèkan[18] .

Bangunan lakon seperti yang dikutip ini merupakan tradisi pakêliran Keraton Surakarta yang diacu oleh sebagian besar para dalang semenjak Keraton Surakarta mendirikan lembaga pengajaran pedalangan Padasuka (Pasinaon Dalang Surakarta), tahun 1923, yang berpengaruh luas di kalangan dalang di luar keraton. Tradisi Keraton ini dilanjutkan oleh lembaga-lembaga pengajaran pedalangan yang telah berdiri setelah Padasuka tidak aktif lagi; termasuk Konservatori Karawitan Indonedia di Surakarta (sekarang menjadi SMK Negeri 8 Surakarta).

Sajian lakom dari para dalang populer sekarang menunjukkan bahwa sudah tidak ketat-ketat mengikuti bangunan lakon seperti yang telah disampaikan di atas. Selama pengamatan pergelaran Anom Suroto, penulis tidak menjumpai dalam bagian pathêt nêm adanya adegan: babak unjal, gapuran, kedhatonan¾tetapi penampilan Limbuk dan Cangik selalu ada¾pocapan kêréta, pocapan gajah, dan pêrang ampyak. Dalam bagian pathêt sângâ (pertama) adegan pêrtapan dan sampak tanggung tidak pernah penulis jumpai dalam pakêliran para dalang populer sekarang, disebabkan waktunya banyak tersita untuk gârâ-gârâ, yang kadang-kadang disajikan dalam 2 sampai dengan 3 jam. Adegan manyurâ kapindho, adêgan katêlu, dan golèkan juga tidak penulis temukan dalam pakêliran Anom Suroto.

Pertunjukan Manteb Soedharsono, selain tidak menyajikan beberapa adegan seperti halnya Anom Suroto, jarang menampilkan adegan Limbuk dan Cangik, kecuali ada pesanan khusus. Hanya dua kali Adegan golèkan disajikan Manteb Soedharsono. Dalam garapan khusus untuk lakon-lakon tertentu, Manteb Soedharsono menyajikan adegan tambahan dan sisipan. Dalam garapan lakon tertentu misalnya: Drunâ Gugur dan Ampak-ampak Pringgâdani, Manteb Soedharsono menerapkan teknik kilas balik (flash-back). Kadang-kadang Manteb Soedharsono mengawali pakêliran¾sebelum jêjêr pertama dimulai¾dengan adegan pêrang, misalnya dalam garapan Krêsna Dutâ. Adegan tambhan sebelum jêjêr ini oleh Manteb Soedharsono disebut: adegan prolog.[19] Manteb Soedharsono juga menggabungkan dua repertoar lakon, misalnya Déwâruci dilanjutkan Bimâsuci dalam pertunjukan semlam suntuk. Caranya, di awal sajian Manteb Soe­dharsono menggelar adegan Ngastina yang sedang gelisah mendengar keberadaan Bima mendirikan perguruan di salah satu wilayah Ngastina. Pada ke­sempatan persidangan itu Drona mengkisahkan asal muasalnya Bima berguru padanya. Pengkisahan Drona ini disajikan¾secara kilas balik¾dengan repertoar lakon Déwâruci (dalam pakêliran padat). Seusai penyajian repertoar lakon Déâruci, pertunjukan di­lanjutkan dengan repertoar lakon Bimâsuci secara utuh (dalam bentuk semalam).

Berkaitan dengan bangunan lakon yang telah digarapnya itu Manteb Soedharsono mengatakan bahwa:

Wayang kuwi nggêlaraké lakon, sawijiné tontonan, mêsthi baé, yèn bisâ, yâ sing kêpénak ditonton; mulâ ora kudu kâyâ pakêm sing gumathok. Tuntunan balungan lakon iku kanggoku mung ancêr-ancêr baé. Têgêsé, kênâ ditinggal manut kabutuhané lakon lan tontonan mau. Yèn pêrlu, pakêliranku sok-sok dakwiwiti sâkâ prolog pêrang, lagi disambung jêjêr. Garapan lakonku kâlâ-kâlâ nggunakaké flash-back barang.[20]

Wayang itu membeberkan cerita, sebagai pertunjukan, tentu saja, kalau mampu, enak untuk ditonton; maka tidak harus seperti pakêm baku. Panduan bangunan cerita bagi saya hanya sebagai ancar-ancar saja. Artinya, dapat ditinggal sesuai dengan kebutuhan cerita dan pertunjukan tadi. Bila perlu, pakêliran saya kadang-kadang dimulai dengan perang, baru dilanjutkan jêjêr. Kadang-kadang saya juga menggunakan adegan kilas balik.

Berbeda dengan garapan yang biasa dilakukan Manteb Soedharsono, perihal bangunan lakon, Anom Suroto lebih hati-hati dalam melakukan perubahan, tersurat dalam ucapannya yang disampaikan kepada penulis demikian:

Kalau tidak perlu kenapa bangunan lakon harus dirubah, setiap adegan mengandung makna simbolis yang dalam, maka sedapatnya gelar sesuai dengan pola yang ada, tanpa menguranginya, dan syarat yang paling pokok dalam pakêliran adalah bobot sajiannya dan bukan perubah­annya.[21]

Berbeda dengan cara Manteb Soedharsono, Anom Suroto dalam meng­gabung­kan beberapa repertoar lakon, misalnya: Endang Wêrdiningsih, Sêmar Mbarang Jantur, dilanjutkan Kâkrâsânâ Jumênêng Ratu; ketiganya digarap dalam satu sajian pakêliran bentuk semalam dengan menggunakan pola susunan adegan atau konvensi bangunan lakon tradisi pakêliran gaya Surakarta, seperti yang telah disampaikan di awal subbab ini. Gabungan ketiga repertoar lakon tersebut oleh Anom Suroto disebut dengan Jumênêngan Kâkrâsânâ.

Usaha lain yang dilakukan para dalang, dengan harapan dapat menarik simpati penonton, adalah menggarap lakon-lakon baru, sekalipun wujudnya hanya berupa pengembangan atau modifikasi repertoar lakon yang telah ada. Bentuk modifikasi itu di antaranya berupa penggantian nama tokoh dan/atau tempat tinggalnya, mengubah alur lakon, dan motivasi terjadinya peristiwa.[22]

Berkaitan dengan motivasi penciptaan dan/atau penggubahan repertoar lakon wayang baru ini dalam “Studi tentang Repertoar Lakon Wayang yang Beredar Lima Tahun Terakhir di Daerah Surakarta,” disebutkan bahwa:

Munculnya jenis-jenis lakon baru dan yang sering tampil sekarang dipengaruhi oleh dua hal; pertama, karena tuntutan selera masyarakat pemerhati wayang, terutama kaum muda, yang tekanannya pada aspek gayeng, ramai pada seluruh unsur pakêliran-nya, dan kedua, keinginan pihak dalang yang berusaha untuk tampil “sebagus-bagus”-nya agar selalu mendapat simpati masyarakat penggemar wayang.[23]

Dalang populer sering mengganti nama baru pada beberapa repertoar lakon tertentu, agar memiliki daya tarik penonton; misalnya repertoar lakon Wirâthâ Parwâ menjadi Ontran-ontran Wirâthâ; Brâjâdhêntâ Bâjâmusti menjadi Amapak-ampak Pringgâ­dani; Sêmar Boyong menjadi Wisnu Manunggah; dan Kângsâ Lénâ menjadi Sumilaking Pêdhut Mandurâ.

Kedua dalang populer sama-sama memiliki kecenderungan untuk menggabung­kan dua atau lebih repertoar lakon dalam satu sajian pakêliran semalam.[24] Pola sajian yang digunakan secara garis besar masih tetap mengikuti bangunan lakon tradisi pakêliran Surakarta, meskipun tidak ketat benar; kecuali, beberapa repertoar lakon yang berasal dari tradisi pakêliran Yogyakarta. Kedua dalang juga memiliki kecenderungan yang sama, selalu menampilkan adegan gârâ-gârâ pada setiap pentas repertoar lakon apa saja. Kecenderungan ini telah diikuti oleh hampir semua dalang gaya Surakarta[25]

Penampilan suatu repertoar lakon dalam pertunjukan ditetapkan atas dua hal, yaitu (1) permintaan pihak penanggap wayang dan (2) diserahkan sepenuhnya kepada dalang. Dari mana pun asalnya, penyajian repertoar lakon harus memenuhi persyaratan pokok yang sering diajukan oleh pihak penanggap, terutama dalam perhelatan keluarga, agar dalang tidak membeberkan peristiwa yang dikhawatirkan dapat membawa naas pribadi, keluarga, dan lingkungan penganggap wayang; sebaliknya, dapat membawa keberuntungan. Peristiwa naas itu misalnya: sakit, wabah, kematian, kebakaran, ke­sengsaraan, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam perhelatan keluarga, tidak akan terjumpai repertoar lakon yang menggambarkan peristiwa kesengsaraan, seperi: salah satu bagian atau episode Bratayuda, Sâmbâ Juwing atau Sâmbâ Sebit, Sintâ Ilang, Pandhu Mukswâ, Sugriwâ-Subali, Anoman Obong, Sumantri Gugur, Kumbâkarnâ Gugur, Rahwânâ Lénâ, Sêmbâdrâ Larung, Pandhâwâ Dhadhu, Pandhâwâ Pâpâ, dan yang sejenis.[26] Seperti halnya dalang, maka setiap pergelaran wayang harus memilih lakon yang ber-angsar positif atau baik.

Di kalangan masyarakat Jawa, ternyata masih percaya adanya hubungan langsung antara lakon wayang dengan kehidupan senyatanya seperti adanya kesimpulan yang mengatakan bahwa selalu ada hubungan erat antara lakon dan peristiwa yang dirayakan itu, karena kepercayaan Jawa, peristiwa yang terjadi di atas kelir akan berpengaruh terhadap kehidupan senyatanya.[27]

Persyaratan lain, yang diajukan para penanggap wayang terhadap dalang, adalah bahwa sajian suatu lakon harus: ramai, meriah, dan lucu. Persyaratan terakhir ini, biasanya diajukan bila pertunjukan wayang yang diselenggarakan untuk pesta atau perayaan; bukan untuk keperluan perlehatan keluarga. Persyaratan ramai, meriah, dan lucu ini dampaknya sangat besar terhadap perkembangan sajian lakon wayang sekarang. Dari sini pulalah yang kemudian melahirkan lakon “baru,” seperti: Aji Nârântâkâ, Pilihan Sénâpati, Ontran-Ontran Wirâthâ, Semar mBangun Kayangan, Sêmar mBangun Klampis Irêng, Nârâyânâ Kridhâ Brâtâ, Pusêr Bumi, dan berbagai genre lakon wahyu. Kalau diamati benar repertoar itu hanya judulnya saja yang baru; artinya, alur cerita dan tokoh-tokohnya hanya merupakan bentuk modifikasi dari repertoar lakon yang telah ada.[28]

Sekarang telah terjadi kelangkaan repertoar lakon yang di masa lampau dianggap mempunyai nilai mendalam,[29] seperti: Déwâruci dan Mintârâgâ akibat dari persyaratan ramai, meriah, dan lucu atas permintaan penanggap wayang. Syarat terakhir tadi juga berpengaruh pada perwujudan aspek pakêliran yang lain; catur, sabêt, dan iringan; termasuk pula saat dalang menggarap tokoh-tokohnya.

Hampir semua tokoh wayang, di kalangan pedalangan masa lampau, dianggap kurang layak melucu oleh para dalang ppopuler sekarang, sering berdialog dan berakting yang diharapkan dapat mengundang tawa penonton.[30] Munculnya figur-figur wayang baru, sebagian besar cenderung untuk memenuhi kebutuhan lawakan itu. Figur Antasena, yang biasa dipakai pada pakêliran tradisi Yogyakarta, sekarang hampir selalu dimunculkan para dalang populer gaya surakarta, pada hampir semua repertoar yang bersiklus Pandawa.

Persyaratan ramai, meriah, dan lucu itu pula yang memberikan ciri pokok pada bentuk pakêliran dalang populer sekarang, yang antara lain selalu munculnya adêgan gârâ-gârâ pada setiap lakon wayang sekarang. Dalam penampilan adêgan gârâ-gârâ ini dapat menyita waktu cukup panjang, antara satu sampai dua setengah jam, bahkan dapat mencapai tiga jam. Panjang pendeknya penampilan adêgan gârâ-gârâ ini sangat bergantung, dan jumlah lagu-;agu pesanan penonton.

Sebagian lakon garapan amnteb Soedharsono lebih memperlihatkan sebagai tontonan teatrikal, hal-hal lain di luarnya (religi dan simbolis misalnya) terasa kurang mendapat perhatian. Sejajar dengan ini Umar Kayam berpendapat bahwa:

Ini semua menunjukkan bahwa mungkin sekali peranan wayang sebagai frame of reference dan simbol-simbol akan mulai berakhir dan mulai menginjak pda peranannya yang lebih “profan,” yang lebih “manusiawi,” yakni sebagai drama, sebagai lakon modern. Ini artinya penonton akan melihat perwatakan tokoh-tokoh wayang serta lakon-lakon yang mendukungnya tidak lagi sebagai tokoh-tokoh atau lakon-lakon teladan tetapi sebagai manusia-manusia dengan sejumlah kemungkinan.[31]

Kayam juga berpendapat bahwa “pertunjukan wayang berada dalam persimpang­an jalan, yang mesti harus menghadapi satu atau dua konsekuensi,” yaitu: harus meng­gunakan idiom-idiom, image-image, dan identifikasi-identifikasi baru; sebab dimensi dan bahasa-waktu menuntut kebaruan.[32] Pernyataan Kayam ini memberikan isyarat bahwa pakêliran memang perlu dan wajar untuk berubah, sesuai dengan perkembangan masya­rakat pendukungnya.

Pertunjukan wayang yang dilakukan para dalang sekarang, pada umumnya, telah berorientasi pada selera penonton atau selera massa. Manteb Soedharsono secara jujur pernah mengatakan bahwa “demi untuk melayani keinginan penonton, apa pun akan dilakukan dalam pertunjukan, pokoké éntuk dhuwit (asal mendapat uang) atau payu (laku).” Pernyataan lugas ini sering diucapkan langsung melalui dialog pânâkawan dalam adegan gârâ-gârâ; seperti pada waktu ia mendalang di Sasana Hinggil Dwi Abad Alun-alun Selatan, Keraton Yogyakarta yang disiarkan langsung oleh RRI Stasiun Yogyakarta, tanggal 13 Juni 1988.

Anom Suroto sering bertanya kepada para penonton, melalui cakapan para panakawan, apakah adegan gârâ-gârânya yang tengah tersaji dilanjutkan atau sudahi.[33] Pertanyaan itu biasanya dijawab para penonton secara serempak dengan kata “terus” memanjang. Sebenarnya, hampir semua dalang mempunyai sikap sama dalam melayani selera dan/atau kecenderungan masyarakat penontonnya; meski tidak terbuka seperti pengakuan manteb Soedharsono maupun Anom Suroto. Sikap ini dilatarbelakangi oleh anggapan para dalang bahwa hanya masyarakatlah yang menghidupinya, maka serasa wajib untuk selalu melayani segala keinginan yang timbul.


C. Sajian Catur

Catur merupakan aspek pakêliran berupa wacana, yang menyangkut pemilihan dan/atau pemakaian kosakata sesuai dengan konvensi kebahasaan pedalangan, serta teknik pengucapan yang disebut ântâwâcânâ. Penyampaian ântâwâcânâ disesuaikan dengan karakter dan status tokoh, suasana adegan, dan latar tempat. Catur merupakan sarana dalang dalam mengungkapkan ide-ide yang paling jelas dan mudah ditangkap audience; sebab menggunakan bahasa verbal, melalui narasi dan cakapan boneka wayang.

Wacana yang dianggap penting oleh para dalang sekarang banyak yang tidak disajikan secara spontan seperti di masa lampau; tetapi dipersiapkan terlebih dahulu dalam teks tertulis, yang dibaca langsung pada saat pentas. Di masa lalu, membaca wacana pada saat pentas, dianggap tabu.[34] Sebaliknya, para dalang muda sekarang menganggap pemakaian teks dalam pakêliran sebagai sesuatu yang wajar. Dengan menyiapkan teks lebih dahulu-dikerjakan dengan sungguh-sungguh-alur dramatik yang dikembangkan akan lebih tergarap dan dapat mengurangi kesalahan. Penyampaian wacana secara spontan sering kurang terkontrol dan timbul kejanggalan; terutama bagi dalang yang kurang menguasai idiom bahasa sebagai alat ekspresi seni.[35]

Dalam pakêliran Surakarta, narasi adegan terdiri atas janturan dan pocapan atau juga disebut caritâ.[36] Cakapan wayang, di kalangan STSI Surakarta biasa disebut dengan ginêm, sedangkan di Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN) disebut imbalwacânâ.

1. Sajian Janturan

Wacana berupa narasi adegan yang disebut janturan ini lazim disajikan bersamaan dengan bunyi gêndhing; dari beberapa ricikan (instrumen) gamelan, yang berirama lamban dan lirih. Janturan biasanya berupa pemerian yang berisi: latar tempat, latar waktu, suasana, kebesaran dan jasa tokoh, penyebutan nama-nama tokoh beserta tafsir arti, serta penyebutan nama tempat dengan tafsirnya pula.

Berbeda dengan masa sebelumnya, para dalang populer sekarang ini memiliki keberanian mengubah wacana-wacana janturan baku yang lazim disebut dengan bâsâ pinathok. Bâsâ pinanthok ini, pada masa lalu, tidak boleh dirubah; meskipun tujuannya untuk perbaikan, tetap dianggap melakukan kesalahan.[37] Salah satu bentuk wacana yang digolongkan ke dalam bâsâ pinathok adalan janturan pada jêjêr atau adegan pembukaan, yang pengantarnya berbunyi sebagai berikut:

Swuh rêp dâtâ pinâtâ, anênggih nagari pundi ingkang kaékâ adi dâsâ purwâ-ekê sawidji adi luwih dâsâ sapuluh purwâ wiwitan-sanadyan kathak titahing déwâ ingkang kasongan ing akâsâ kasânggâ pratiwi, kaapit ing samodrâ, kathah ingkang sami anggânâ raras, botên kados nagari . . . .[38]

Sebenarnya dalam kehancuran akan diikuti dan/atau terdapat kedamaian. Syahdan negara yang pantas disebut kaeka adi dasa purwa-eka artinya pertama, adi berarti besar, dasa berarti sepuluh, purwa berarti permulaan-meskipun banyak makhluk dewa yang dipayungi langit dan disangga bumi, serta dikitari samodra, tetapi banyak yang kalah wibawa, dan tidak akan ada yang mengungguli negara . . .

Wacana pendek seperti pengantar janturan jêjêr (30 kata) oleh para dalang sekarang diganti menjadi lebih panjang (172 kata) dan berbunyi sebagai berikut:

Swuh rêp dâtâ pitânâ, rahayu kang samyâ makaryâ, rahayu sagung dumadi. Suryâ, cândrâ, myang kartikâ, bumi, langit wus gumeêlar; tinâtâ datan carup wor suh, sajuru-juru rampak runtut rinakit kodrating Kang Kawâsâ. Purwâ têkèng duksinâ gilir gumanti tanpâ kembâ. Sahari ratri susul-sinusul datan sulâyâ. Wanci dalu lintang-lintang abyor ing tawang, sêsèmèk akâsâ biru buwêng mégâ kang lumayang. Sabên purnâmâsidhi jagat sinêblak pajar myang sitârêsmi. Nadyan sinung prâbâ nanging mawèh prabâwâ hayêm têntrêm. Dupi pêthiting ratri sinaput bangun, pâdhâ sakâlâ ratuning dalu rêbut prâbâ klawan Sang Hyang Rawi ingkang tuhu darbé dâyâ anggêsangi. Byar pajar, jagat sakisiné katon ngalélâ, labêt kasorot ing diwangkârâ. Têmahan katon ngéglâ gumêlaring samodrâ kang ngidéri dharatan. Jaladri pasang surut minângkâ papan dununging buron toyâ. Wondéné ing dharatan pindhâ gunung bêbanjêngan, rinênggâ tanêm tuwuh, dados srânâ gêsanging sagung tumitah, ingkang diwasané minângkâ dados isèn-isèning jagat râyâ. Wautâ minanggka purwâkaning carita, nênggih sinébat ing nagari . . .[39]

Sebenarnya dalam kehancuran akan diikuti dan/atau terdapat kedamaian. Semoga selamat bagi yang berkarya, selamat segala yang ada. Matahari, bulan, bintang, bumi, dan langit sudah dipapar serta ditata, tidal ada yang tumpang tindih. Masing-masing rapi teratur sesuai dengan kodrat Tuhan; awal sampai akhir berjalan secara berurutan tiada henti, siang malam bergantian tidak ada yang saling mengingkari. Saat malam, bintang-bintang berkedipan di langit berlapis angkasa biru, dikelilingi mega tipis. Setiap purnama penuh dunia terang disinari fajar dan bulan. Meskipun bermandi cahaya, namun memberikan wibawa yang membahagiakan serta kedamaian. Setelah ujung malam berganti pagi, sesaat bulan berebut wibawa dengan matahari. Seketika terlihat hamparan samodra mengelilingi daratan. Pasang surut samodra merupakan sarana kehidupan segala macam binatang air (laut). Begitu halnya di daratan, seperti gunung, binatang, dan manusia. Api, tanah, air, dan angin sebagai sarana kehidupan segala macam makhluk; yang kemudian menjadi hiasan jagat raya. Demikianlah yang menjadi awal cerita, yaitu negara . . .

Pada masa lampau, wacana janturan jêjêr yang digolongkan sebagai bâsâ pinathok dan bersifat klise, hanya ada satu dan tanpa memperdulikan untuk adêgan kerajaan mana pun dan repertoar lakon apa saja. Berbeda dengan sebelumnya, para dalang populer sekarang memiliki sejumlah wacana janturan jêjêr cukup beragam, penggunaannya disesuaikan dengan tipologi dan/atau karakter tokoh rajanya serta kebutuhan lakon yang disajikan.

Perbedaan yang mencolok pada wacana janturan sekarang, selain lebih panjang, adalah penggunaan kata dan frasa arkais yang berlebihan bila dibanding dengan wacana janturan sebelumnya. Pada umumnya para dalang dalam menyusun wacana janturan menonjolkan berbagai bentuk purwâkanthi yang bahlan ladang-ladang sangat berlebihan. Isi wacana janturan lama memusatkan perhatian khusus pada keunggulan raja dan negara yang sedang diperikan, secara ideal; sedangkan wacana janturan baru-sajian para dalang populer sekarang-lebih banyak memerikan keadaan dan/atau keindahan alam semesta.

2. Sajian Pocapan

Wacana yang berisi pemerian suatu adêgan dan disebut dengan pocapan ini disajikan dalang tanpa mengiringi bunyi gêndhing. Para dalang populer sekarang juga melakukan pengembangan wacana pocapan baku, misalnya dalam adêgan gârâ-gârâ. Pocapan gârâ-gârâ dalam panduan pakêliran tradisi Keraton Surakarta berbunyi sebagai berikut:

Eka bumi, dwi sawah, tri gunung, catur sagârâ, pâncâ taru, sad panggonan, saptâ pandhitâ, hasthâ tawang, nâwâ déwâ, dâsâ ratu. Eka siji, bumi lêmah kang ingidêran sêgârâ. Dwi loro, sawah bumi kang tinanduran pari. Tri têlu, gunung pikukuhing jagat. Catur papat, sagârâ banyu kang ngidêri bumi. Pâncâ limâ, taru tanduran ing pêkarangan. Sad nêm, pangonan pasabaning râjâkâyâ. Saptâ pitu, pandhitâ manungsâ kang katarima tapané. Asthâ wolu, tawang langit. Nâwâ sângâ, déwâ panutaning manungsâ. Dâsâ sapuluh, ratu mustikaning manungsâ. Gârâ-gârâ tanggal kapisan sirah jugâ mângsâ kartikâ, tanggap warsâ sirah jugâ, kathah lindhu bumi gênjot, gunung guntur, samodrâ kocak, orêging bumi anjalari risaking pakarangan lan pasabinan, tanêm tuwuh anggagrag, râjâkâyâ pitik iwèn lan bangsaning ibêr-ibêran susah tan antuk pangan, kumocaking jaladri mawèh kasrakating buron toyâ, saênggon-ênggon panas tan antuk panonopan, déwâ pandhitâ ratu sungkâwâ déwâ tan kênâ lârâ pati, mung kênèng susah, tumurun mring marcâpâdâ, mrih pitulunganing janmâ mèt martaning budâyâ; pandhitâ kasangsâyâ tan wignyâ mumujâ anggung kênèng pangrêncânâ, tilar patapan manjing prâjâ mintâ pitulunganing nâtâ; ratu prihatin prajané kambah ing pagêring lan larang pangan, ngungsi pandhitâ kinèn mumujâ, mintâ parmaning déwâ, amrih sirêpâ wêwêlak; ing bawânâ sintru kadi bangun kasaput ing lêbu, mangkânâ ing gêgânâ munyâ gumaludhug anggêgêtêri, sinartan swaraning gêtêr dhèdhèt érâwati ngakak, gugur angganing argâ gorâ gurnitâ kagiri-giri, orêg bumi prakampitâ padolâ mangampak-ampak, jawah adrês amor prahârâ gorâ walikan, lésus kadyâ pinusus sindhung riwut magênturan puncak mawêtu gêlap, toyaning samodrâ umob mawalikan, kadyâ kinêbur, bur buwah sumamburat ngambârâlâyâ, ambèr angêlêbi dharatan yayah angêlêm jagat, gênjot balé aras margukundhâ manik kâyâ jêbol-jêbolâ kori sélâ panangkêp, kinocak têlênging gambirâlâyâ, kawah cândrâdimukâ kâ kinêbur, ambèr êndhut siblêgêdâbâ, mèncèng si wot ogal-agil, rêngat sunguning Lêmbu Andhini, kumitir pêthité. Ngakak tutuking Sanghyang Anantâbogâ, gorâ swârâ gumlêgêr ngêbaki jagat. Gègèr pârâ jaw­âtâ rêsi, déwâ-dèwi, apsârâ-apsari, widâdârâ-widâdari, samyâ ngungsi inng Sanghyang Rudrâpati.[40]

Eka bumi, dwi sawah, tri gunung, catur samodra, panca taru, sad pangonan, sapta pandhita astha tawang, nawa dewa, dasa ratu. Eka berarti satu,, bumu berarti tanah yang dikelilingi laut. Dwi berarti dua, sawah berarti tanah yang ditanami padi. Tri berarti tiga, gunung adalah tanah yang memperkuat posisi bumi. Catur berarti empat, samodra artinya laut, yaitu air yang mengelilingi daratan. Panca berarti lima, taru adalah tanaman di pekarangan rumah. Sad berarti enam, panggonan adalah tempat penggembalaan rajakaya (binatang piaraan berkaki empat). Sapta artinya tujuh, pandhita adalah manusia yang terpilih karena ketekunan tapanya. Astha artinya delapan, tawang adalah langit. Nawa berarti sembilan, dewa yang dimaksud adalah makhluk yang menjadi penuntun manusia. Dasa artinya sepuluh, ratu adalah manusia pilihan. Gara-gara bulan pertama kartika, terhitung tahun sirah juga, terjadi gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, samodra menggelegar pasang. Getaran bumi mengakibatkan hancurnya pekarangan maupun persawahan. Tanaman serta tumbuhan rontong meranggas. Rajakaya, ayam serta sebangsanya, dan segala macam burung mengenaskan sulit mencari makanan. Pasangnya laut menyengsarakan binatang air. Di mana-mana panas tidak ada tempat berteduh. Dewa, pendeta, dan raja sangat berduka. Dewa memang tidak akan menderita sakit dan mati, tetapi dapat ingkar dari kedukaan; turun ke dunia akan memberi pertolongan kepada manusia agar tenteram. Pendeta sangat sengsara sebab tidak dapat konsentrasi setiap berdoa; meninggalkan pertapaan masuk ke kota mohon perlindungan raja. Raja bersedih, sebab negara (rakyat)-nya terjangkit wabah penyakit dan kekurangan makanan; memerintah pendeta untuk berdoa dan memohon dewa agar menghentikan kutukan. Di dunia sepi mencekam bagai pagi berselimut debu. Syahdan yang ada di langit; terdengar suara memekakkan, bersahutan dengan suara guntur serta petir menggelegar dahsyat. Gunung meletus, puncaknya meledak bersembur api kemerah-merahan. Gempa bumi susul menyusul, hujan deras bercampur prahara berputar-putar. Angin pusaran bersuara gemuruh mirip baling-baling berputar cepat sekali. Sungai banjir dahsyat meluap, tepinya menepis (tebing) menggelegar, air samodra bergelombang mendidih riuh berbalik-balik seperti dikuras dasarnya, meluap ke segala arah, membeludak membanjiri daratan menggenangi dunia layaknya. Goyahlah lantai dasar balai marcukundhamanik seakan mampu menjebol gapura sela panangkep, diaduk-aduk pusat gambiralaya, kawah candradimuka bagai dibor; meluap lumpur siblegedaba, miringlah posisi jembatan ogal-agil, menajam tanduk lembu Andhini, bergetarlah ekornya. Menganga moncong Dewa Naga, penyangga bumi, bersuara keras gemuruh memenuhi dunia. Geger para dewa-resi, dewa-dewi, apsara-apsari, bidadara-bidadari, berebut depan mencari perlindungan Dewa Syiwa.

Pocapan gârâ-gârâ seperti kutipan di atas, semula menjadi panduan para dalang penganut tradisi Keraton Surakarta, sekarang sudah tidak penulis jumpai lagi dalam pakêliran yang disajikan para dalang populer.[41] Wacana gârâ-gârâ Anom Suroto di antaranya demikian:

Gârâ-gârâ, gârâ-gârâ nut wêdharing Pustâkâ Jâyâbâyâ. Kâlâmun obah mosiking jagat yêktiné mêngku purbaning Hyang Murbèng Rat, nadyan mangkânâ parandéné laku jantrasé umat akèh kang nisih saking wiradat, ing pamrih nêdyâ onccat saking garising kodrat. Milâ datan mokal ngêndi ênggon ngêndi papan ‘kèh manungsâ ingkang karidhu pakartining jajal laknat. Prasasat kéblat papat mung isi maksiyat, dongâ sêlawat datan kêrumat, laku tirakat sambaté jaré ora kuwat. Rina wêngi ora kèndhat mung tansah angathik siasat, ing pamrih nêdya oncat saking wulang saréngat. Lanang wadon pâdhâ déné ngumbar napsu syahwat, ora mikir walat, ora mikir uripé mbésuk ânâ ing akhérat. Wong sugih lu,uh zakat, yèn ono wong sholat malah diênthat, sing diburu mung undhaking pangkat. Bênêrâ kâyâ sipat kâlâh kuwâsâ kâlâh limpat, êmbuh haram waton kuwat diangkat, nékat disikat. Wus dadi jamak lumrahé lamun ombyaké kahanan anut jaman kâlâkoné. Wêwangsoné wis nyêbutaké ânâ kâlâné bakal ânâ désa ilang rêjané, gunung ilang kukusé, pasar ilang kumandhangé, wong lanang ilang kaprawirané, wong wadon lali nyimpên wêwadiné. Lah ing kono akèh wong kang lali marang agamané dhéwé-dhéwé. Sing haram dilalèkaké, omong cidrâ dikulinakaké, pamrihé mung arêp golèk mblêndhuké wêtêngé dhéwé. Sabarang tumindak nggugu nafsuning sétan. Apus krâmâ diênggo pakaryan, êndêm-êndêman sadalan-dalan, nyambut gawé pâdhâ sungkan, bandha negara diênggo rayahan. Ngêndi ênggon ngêndi papan, akèh kêbak wong jahil, sing digunakaké akalé kancil, ora pêrduli tanggané mêcicil, bakuné awaké dhéwé antuk hasil, êmbuh ngutil êmbuh nyathil, waton kêcandhak isiné kêndhil. Nanging poma diéling, sakbêjâ-bêjâné kang lali, isih bêjâ kang éling lan waspâdâ. Engêta marang panguwasaning hukum karmâ. Wong nandur bakal ngundhuh, utang nyaur, nyilih ngulihké, nggawa mbalèkaké, nggaeé bakalé ngganggo. Sirêp ingkang gârâ-gârâ, yèn tâ kuwajiban, ora nrajang marang pranatan. Ing kono bakal tansah tinuntun déning Pangéran.[42]

Gara-gara, huru-hara sesuai dengan Pustaka Jayabaya. Segala gerak-gerik dunia sebenarnya telah diatur oleh Tuhan Penguasa Dunia; meskipun demikian tingkah laku umat banyak yang ingkar dari wiradat, berpamrih akan menghindar dari garis kodrat. Maka tidak aneh, di mana-mana tempat banyak manusia yang tergoda oleh bisikan setan laknat. Ibarat keblat (mata angin) emapat hanya dipenuhi maksiat, doa salawat tidak terawat, bila menjalankan tarekat selalu sambat tidak kuat. Siang malam tidak pernah selalu mengatur siasat, dengan pamrih dapat terhindar dari ajaran sari’at. Pria wanita sama-sama memanjakan hawa nafsu syahwat, tidak tidak takut tulah, tidak memikirkan kehidupan akherat kelak. Orang kaya malas memberi zakat, bila ada orang salat malah digoda, yang dikejar hanya kenaikan pangkat. Kebenaran diukur dari tinggi rendah kedudukan, tak peduli pada barang najis dan haram, asal kuat diangkat, bila nekat akan dibabat. Sudah wajar bila segala situasi dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Yang haram dilupakan, bicara dusta dibiasakan, dengan pamrih dapat memperkaya diri pribadi. Berbagai macam tingkah laku hanya meniru setan. Tipu daya dijadikan pekerjaan, mabuk-mabukan di jalan-jalan, bekerja keras dihindarkan, harata negara dijadikan rebutan. Di segala tempat dan arah penuh dengan manusia jahil, menerapkan kecerdikan kancil, tidak peduli tetangganya banyak yang sangat sengsara, yang penting diri sendiri berhasil, segala cara dihalalkan asal dapat memperkaya diri. Tetapi harap diingat bahwa keberuntungan orang lalai tetap akan terkalahkan oleh yang selalu ingat dan waspada. Ingatlah pada kekuatan hukum karama; orang yang menanam pasti menuai, meminjam harus memulangkan, mengambil harus mengembalikan, membuat pasti akan memakai. Huru-hara dapat berhenti, apabila manusia tidak meninggalkan sifat keutamaan; tahu akan kewajiban, tidak melanggar peraturan. Di situlah manusia akan selalu mendapat tuntunan Tuhan.

Dalam wacana gârâ-gârâ tersebut, Anom Suroto lebih banyak menonjolkan penggunaan purwakanthi swara, yaitu kosakata yang berakhir bunyi at, é, dan an. Pada pocapan panduan lama, tidak terdapat akhiran aké; akhiran é hanya terdapat sekali padha kata pathité; akhiran hanya sekali pada kata tapané dan prajané. Pada pocapan gâr-gârâ susunan Anom Suroto akhiran aké (8 kali), é (12 kali), dan (10 kali) sangat banyak dipakai pada susunan Anom Suroto. Para dalang muda pada umumnya sekarang terlalu berlebihan da;am bermain dengan kata-kata, purwâkanthi; sebab dianggap yang demikian itu paling disenangi orang banyak.[43] Anom Suroto juga senang menggunakan berbagai kosakata yang berasal dari arab, yang di kalangan para guru dalang tertentu tergolong larangan atau ditabukan.

Mendekati cara yang ditempuh Anom Suroto, Manteb Soedharsono juga menyusun wacana gârâ-gârâ yang banyak menggunakan pemainan kata pada akhir kalimat, dengan unsur bunyi a, ung, at, an, dan i. Pada pocapan Manteb Soedharsono, terdapat akhiran (4 kali), akhiran é (5 kali), akhiran ané (2 kali), dan akhiran aké (2 kali). Salah satu wacana gârâ-gârâ Manteb Soedharsono diantaranya sebagai berikut:

Gârâ-gârâ, anapaki tândhâ-tândhâ jaman. Gârâ-gârâ jaman Kaliyogâ, jaman kang waton bédâ, kêbak sandiwârâ. Kabèh dadi sulâyâ. Wong bêcik ra kêtitik, wong âlâ disubyâ-subyâ. Kabèh janmâ mung ngujâ hâwâ, sing baku sêdyané tumêkâ, tan maèlu margâ kang utâmâ. Wulang agâmâ ora dipêrcâyâ, anak pâdhâ wani wong tuwâ panuwâsâ gandhèng rèntèng karo durjânâ, mulâ adil lan makmur ‘ra bisa warâtâ. Sing miskin tambah sengsârâ, sing ssugih sâyâ numpuk bândhâ. Gârâ-gârâ ora bisâ mêndhâ, malah dadi andâdrâ. Gârâ-gârâ mênangi jaman édan, mèlu édan atiné ‘ra têkan, yèn ‘ra mèlu mêsthi kapiran. Wêdi ora kumanan, mulâ kabèh ‘dhâ dadi wong édan, kanggonan mélik sing tanpâ paitan, pamrihé kabèh pêpénginan bisâkaturutan, ‘ra nggagas gawé tunané liyan. Tumindaké kâyâ sétan awut-awutan, ‘ra nggagas pêpacuh Tuhan. Ngabotohan sadhéngah papan, êndêm-êndêman sadalan-dalan. Akibaté, “perkelahian,” pêmbunuhan, lan pêmêrkosaan dumadi ing ngêndi-êndi panggonan. Pêngadilan ‘ra bisâ jalan, budâyâ suap wis dadi sêgâ jangan, jalaran panguwasané nêrak tatanan. Gârâ-gârâ durung rampung, malah kêdlarung-dlarung. Jamané janmâ ngaji pumpung, adol gêndhung. Kèh sarjânâ dadi Panji Klanthung, lonthang-lanthung turut lurung. Wong pintêr dikrincung nganti dadi pêngung, sing bodho diugung dadi priyagung, barêng kuwâsâ kumalungkung, nyêkêl gawéyan ‘ra tau rampung, cak-cakané kâyâ tumênggung, yèn dikritik ngêtokaké pênthung, sênêngané mung digunggung. Tundhoné ‘dhâ lali Sang Mâhâ Agung. Gârâ-gârâ ‘ra dadi sudâ, malah sâyâ ndâdrâ. Gârâ-gârâ tan bisâ kêndhat malah dadi sâyâ nékat, jagat sangsâyâ bêjat, akèh janma ‘ra wêdi kuwalat. Saréngat dianggêp kêparat, jajil laknat dadi sahabat. Sing mlarat sâyâ kêsrakat, sing sugih ngêmpyaki jagat. Panguwâsâ ‘ra kêndhat nindhês rakyat, sing bédâ pêndhapat dibabat, jalaran dianggêp dadi pênghambat, dituding gawé usrêk masyarakat. Sanadyan ânâ waskat, ning ora kétok mripat. Kabèh pâdhâ nékat, nganti ‘ra bédâ êndi pêjabat êndi pênjahat. Sabab, pârâ pênggêdhê ‘ra patut dadi kéblat. Gârâ-gârâ sâyâ ndadi, sing critâ mbacutaké ora wani. Garapan dhalang mung gêgulang sêni, pamrihé hamung sawiji, pâdhâ baliyâ mênyang piwulang agami. Wêdiyâ ing pêpacuh Gusti, kanggo nggayuh hayuning bumi, amrih sami antuk suwargâ adi. Elingâ sing pâdhâ lali, amrih rahayu sagung dumadi. Baréngâ mêmuji, ing bumi kêbakâ pakarti suci, naluri héwani dadiyâ budi insani, adil makmur bisâ warâtâ murni, ora kandhêg ing sanubari. Mugi tansah lestari: bângsâ, nêgari, lan pêrtiwi.[44]

Gara-gara, mengikuti tanda-tanda zaman. Gara-gara zaman Kaliyuga, zaman yang penuh sikap asal berbeda, penuh sandiriwara. Semua menjadi cedera. Orang berbudi tidak diperdulikan, orang jahat dielu-elukan. Setiap hanya memuja nafsu, yang pokok keinginan tercapai, mengabaikan jalan yang terpuji. Ajaran agama tidak dipercaya, anak durhaka pada orang tua. Penguasa bersahabat dengan para narapidana; maka adil dan makmur tidak kapat merata. Yang miskin semakin sengsara, yang kaya semakin menumpuk harta. Gara-gara tidak dapat mereda, bahkan semakin menjadi-jadi. Gara-gara menghadapi zaman edan, ikut gila tidak samapai hati, bila tidak ikut pasti ketinggalan, takut tidak mendapatkan, maka banyak manusia menjadi gila; banyak harapan tanpa modal, pamrihnya segala keinginan dapat terwujud, tidak peduli kesengsaraan pihak lain. Perilakunya seperti setan tak tahu aturan, tak peduli larangan Tuhan. Judi di sembarang tempat, mabuk-mabukan di sembarang jalanan. Akibatnya, perkelahian, pembunuhan, dan pemerkosaan terjadi di mana-mana. Pengadilan tidak dapat berjalan, budaya suap sudah menjadi keseharian, sebab pejabatnya ingkari peraturan. Gara-gara belum usai, bahakan semakin menjadi-jadi. Banyak orang menjadi penganggur, mondar-mandir di jalanan. Orang cerdik diperdaya hingga menjadi setengah gila; yang bodoh disanjung menjadi pejabat tinggi, setelah berkuasa menjadi sombong, membereskan pekerjaan tidak pernah rampung, sikapnya bagai tumenggung, bila dikritik menjadi gusar, maunya selalu diagung-agungkan. Akibatnya lupa pada Tuhan Yang Maha Agung. Gara-gara tidak menjadi reda, bahkan semakin menggila. Gara-gara tidak segera tamat malahan bertambah nekat; dunia semakin bejat, banyak manusia tidak kena kutuk tulah. Sari’at dianggap kafir, setan laknat dijadikan sahabat. Yang mlarat semakin kesrakat, yang kaya mengatapi jagat. Penguasa menindas rakyat, yang berbeda pendapat dibabat dianggap penghambat, dituduh penyulut keresahan masyarakat. Meskipun telah ada waskat (pengawasan melekat), tapi hasilnya tidak terlihat. Siapa pun menjadi nekat, sehingga terlihat tidak berbeda antara pejabat dan penjahat. Sebab, semua pembesar tidak pantas menjadi kiblat. Gara-gara semakin menjadi, penutur melanjutkan tidak berani. Garapan dalang hanya berkarya seni, tinggal satu yang dinanti, semoga ingat ajaran agama kembali. Takut kepada ancaman Gusti, demi keselamatan bumi, sehingga mendapatkan sorga sejati. Segera ingat semua pihak yang lalai, agar selamat semua makhluk alami. Mari berdoa bersama, semoga di dunia penuh dengan tindakan suci, nafsu hewani berubah insan berbudi; adil makmur terlaksana murni, tidak berhenti dalam sanubari. Semoga tetap lestari bangsa, negara, dan ibu pertiwi.

Seperti halnya janturan jêjêr, para dalang populer memiliki perbendaharaan pocapan gârâ-gârâ yang bervariasi, setiap diperlukan tinggal memilih sesuai dengan kondisi tempat dan/atau masyarakat. Teks atau wacana itu diketik rapi, menjelang adêgan gârâ-gârâ disajikan, telah disiapkan pênyimping,[45] di sebelah kanan duduk dalang.

Perbedaan yang jelas antara wacana gârâ-gârâ panduan dengan garapan para dalang populer sekarang terletak pada penggunaan purwâkanthi yang lebih banyak. Isi wacana panduan memberikan keadaan dunia yang menghadapi bencana alam, sedang wacana garapan para dalang sekarang lebih terpusat pada kondisi masyarakatnya. Wacana gârâ-gârâ Anom Suroto, sebagian besar, lebih dilatarbelakangi oleh pemahaman dan keinginannya untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman; sedang Manteb Soedharsono lebih banyak berorientasi pada masalah politik dan sosial yang dianggap aktual.

Pada awal wacana gârâ-gârâ, Anom Suroto menyebut Jângkâ Jâyâbâyâ sebagai rujukan, dan Manteb Soedharsono secara tersirat menyitir inti Sérat Kâtâlidhâ karya Ranggawarsita yang terkenal dengan jaman édan-nya. Wacana yang disusun kedua dalang populer itu menyebut zaman Kâlâbêndhu dan Kaliyogâ cukup menarik, bila dikaitkan dengan kepekaannya terhadap kondisi masyarakat. Dalam Pranitiwakyâ yang dimaksud dengan kali adalah pembagian kurun jaman menjadi tiga kelompok besar, yang dinamakan kali, yaitu: Kalisuwénâ, Kaliyugâ, dan Kalisângsârâ. Masing-masing kali dibagi lagi menjadi tujuh kelompok yang disebut kâlâ. Kalisuwénâ dibagi menjadi: Kâlâ Kukilâ, Kâlâ Budâ, Kâlâ Brâwâ, Kâlâ Tirtâ, Kâlâ Rawabasârâ, Kâlâ Rwabawânâ, dan Kâlâ Purwâ. Kaliyogâ dibagi menjadi: Kâlâ Brâtâ, Kâlâ Dwârâ, Kâlâ Praniti, Kâlâ Têtêkâ, Kâlâ Wisésâ, dan Kâlâ Wisâyâ. Kalisangsârâ dibagi menjadi: Kâlâ Jânggâ, Kâlâ Sakti, Kâlâ Jâyâ, Kâlâ Bêndhu, Kâlâ Subâ, Kâlâ Sumbâgâ, dan Kâlâ Surâtâ.[46] Pembagian waktu seperti ini tidak dikenal di masyarakat luas, termasuk para dalang.

3. Sajian Ginêm

Ginêm merupakan salah satu wujud catur, yang menunjukkan ungkapan ide atau gagasan berbentuk cakapan seorang diri (monolog) atau dengan tokoh wayang lain (dialog). Seperti halnya dalam janturan dan pocapan, para dalang sekarang sudah tidak lagi ketat-ketat menggunakan bâsâ pinathok; artinya, bahasa-bahasa baku dan/atau klise sudah banyak yang ditinggalkan. Pada umumnya, para dalang lebih banyak dan bebas memilih vokabuler atau kosakata yang dirasakan serta dianggap lebih komunikatif, meskipun isinya sering “menyimpang” dari pokok pembicaraan.[47]

Penyimpangan dari poko pembicaraan, seperti cakapan antara Bâlâdéwâ yang memberi petuah kepada adiknya, Krêsnâ, dalam adêgan pertama atau jêjêr, dapat disimak di bawah ini:

Ganêp tri wigatining pêrlu Yayi. ‘Pun kakang bangêt ngalêmbânâ marang Yayi Prabu ing Dwârâwati. Kabèh pâdhâ ngagungaké marang asmané Yayi Prabu. Kabèh pâdhâ angurmati marang Padukâ Yayi Prabu. Eling-éling Yayi Prabu naléndrâ kang tansah angugêmi marang surasaning pérangan Sérat Pustâkâ Râjâ kang rasuk catur wârâ; sêpisan wibâwâ, kapindho wicaksânâ, katêlu séntosâ, ingkang wêkasan yaiku prasâjâ. Kabèh ditindakaké marang Si Adhi, ugâ wus kasarirâ Yayi Prabu ing Dwârâwâti.[48]

Ada tiga masalah, sebagai pelengkap pembicaraan Dinda, saya sangat hormat terhadap Dinda di Dwarawati. Semua telah mengagungkan terhadap kebesaran namamu. Semua telah hormat kepada Anda Dinda Raja. Tidak mengherankan, sebab Dinda adalah seorang raja yang selalu mengacu pada sebagian isi Pustaka Raja yang memuat empat ajaran penting kepemimpinan yang disebut catur wara; yang pertama adalah wibawa, kedua bijaksana, ketiga sentosa, dan terakhir adalah prasaja (lugas). Keempatnya telah Dinda hayati dan laksanakan.

Keempat kata-wibâwâ, wicaks­ânâ, sêntosâ, dan prasâjâ-pedoman seorang raja itu satu per satu diuraikan pengertiannya oleh dalang, melalui cakapan tokoh Bâlâdêwâ, secara rinci dan panjang lebar. Wacana ginêm seperti dikutip di atas, oleh Anom Suroto dapat diterapkan atau diselipkan pada repertoar lakon apa saja. Bentuk wacana ginêm yang dapat diterapkan pada berbagai adêgan dan/atau repertoar cerita apa pun ini, dalam tradisi pakêliran Jawa lazim disebut dengan istilah ginêm blangkon, cakapan klise. Sebelum ini, ginêm blangkon sangat sedikit jumlahnya; terbatas pada cakapan jêjêr saja.

Penyimpangan cakapan yang berisi petuah demikian sering dilakukan Anom Suroto hampir di seluruh adêgan di setiap pementasannya. Di kalangan dalang dan pengamat wayang, Anom Suroto memang terkenal memiliki kekayaan wacana klise yang berisi petuah-petuah panjang lebar tentang berbagai masalah kehidupan semacam itu, khususnya pendidikan moral. Dalam dunia pakêliran petuah tentang moral ini lazim disebut dengan wêjangan.

Penyimpangan cakapan dapat pula berisi kritik terhadap lingkungan dan/atau masyarakat yang dianggap aktual, sekalipun tersirat petuah pula; seperti percakapan para Kurawa dalam adêgan pasêban jâbâ sajian Anom Suroto di bawah ini.

Dursâsânâ: Sarêng kulâ pétang, Paman niku kok kâyâ wong lêgan golèk momongan, nguthik-uthik macan turu. Ndikâ Paman ngujuk-ngujuki dhumatêng Kakang Krêsnâ purunâ sakbiyantu anggènipun kêpéngin dados sénâpati. Ing mângkâ Bomâ sêkawit namung kèndêl, malah mangayu bagyâ dhumatêng pârâ Pandhâwâ ingkang sampun misudhâ dhumatêng anak kulâ Pringgândani dados sénâpati ing Ngamartâ. Ning, sarêng Paman Patih rawuh ing Trajutrêsnâ, lajêng bibrah taninganipun. Lajêng éwah gingsir èngêtanipun. Katitik sangking manising têmbung Paman Patih ngantos têdhas dhatêng anak kulâ Bomâ. Lajêng sowan dhatêng Dwârâwati, niki jan-jané ngêmu karêp nâpâ Paman Sêngkuni niku?

Durmâgati: Sampéyan niku sanés patih Dwârâwati, sanès Patih Trajutrisnâ, sanè Patih Ngamartâ, ning Ngastinâ. Ampun sok ngurusi prêkarané liyan, bêcik ngurusi ‘têng nêgarané dhéwé mawon. Ampun sok ngganggu dhatêng kamardikané wong liyâ, bêcik mawas dhiri dhéwé. Niki lho ‘Man barang êmpun apik-apik, ‘un kêmpêl, ‘pun wutuh kok dipêcah dirênggangaké niku, yok nâpâ Paman Sêngkuni niku?

Dursâsânâ: Lha wong Bomâ niku mbotê duwé niyat nâpâ-nâpâ kok sarêng Paman sing rawuh têrus digêmblug manut. Dhasaré Bomâ niku pêngalamané kurang, wong sabané adoh pitik. Ratu sing kurang srawung, kêtêkan Paman Sêngkuni gampang têdhas.

Durmâgati: Kâlâu saya pikir, Paman Sêngkuni niku sawijining pamong sing ngawur, diatur ora gêlêm, sênêngé mung diaturi. Lha wong nêgarané dhéwé isih akèh sing kudu dipikir, kok malah mikir butuhé liyan, sing jané pun apik, lha niku pripun?

Sêngkuni: Dursâsâna, Durmâgati, pâdhâ élingâ, kowé dilahiraké ânâ ndonyâ ‘kon dadi kêponakanku, ora ‘kon dadi guruku, mudhêng? Kowé tak pikir bocah sing ora wanuh karo tâtâkrâmâ, ora ngêrti ‘nyang kasusilan, pangkaté dhuwur Sêngkuni. Sabab, aku patih, kênâ ngâpâ aku durung muni âpâ-âpâ, kok wis kâyâ bèthèt sèwu têmbungmu? Bèn kétok ngono ‘pâ piyé? Nèk têkâ nêlat, mulih ndhisiki, watakmu kâyâ ngono kuwi, ah âjâ kâyâ ngono lé. Bodhoâ sing kâyâ ngâpâ, aku ki âlâ tanpa rupâ patih, sakngisoré ratu, diwènèhi wêwênang. Ora ngêrti karêpku ta kowé ‘ki? Sabab âpâ, aku ngujuk-ujuki Bomâ? Ing pamrih yèn Bomâ wis kêlakon dadi sénâpati, arêp tak arah supâyâ Bomâ gêlêm ngandhakaké wêwadi kêkuwatané Prâjâ Ngamartâ, kuwi sing tak arah. Mêngko nèk wis ngêrti wêwadining pârâ Pêndhâwâ, ora sêpirâ suwéné nggêpuk Nêgârâ Ngamartâ?

Durmâgati: Lha têng mriku niku lèrèké, walah minta ampun.

Durmâgati: Kulâ aturi émut ukumé Pakeliran Karmâ niku.

Dursâsânâ: Wong nandur bakal ngundhuh. Wong utang bakal nyaur, nyilih ngulihaké, nggâwâ mbalèkaké, nggawé bakalé nganggo.

Durmâgati: Tan kênâ ora, mêsthi kêlakon hukum karmâ niku, ênggih tâ?

Dursâsânâ: Mângkâ lakuné hukum karmâ niku adil; ora mung wong cilik sing bakal kênâ hukum karmâ niku, nadyan sing pangkaté dhuwur bakal ngundhuh teng tandurané dhéwé.

Durmâgati: Ingatlah itu, dan sadarlah itu, ampun kâyâ ngatên niku diumbar, pâdhâ waris, niku èlèk niku ‘Man.

Dursâsânâ: Pirâ bârâ wong tuwâ niku kanggo têpâ tulâdhâ, nêladhani bab sing apik. Bocah klèru dibênêrké, salah dibênêrké, lali dièlingaké, nDika ajêng duwé mélik, êngko nèk Bomâ madêg sénâpati, dijaluki wêwadiné Ngamartâ, lha ênggih nèk isâ dijaluk, nèk mbotên?

Durmâgati: Malah gaman makan tuwan.

Dursâsânâ: Niku lo ‘Man. Halah, bok inggih êmpun tâ ‘Man! NDikâ niku sâyâ sêpuh, tiyang niku bèntên kalih sawêr, nèk sawêr bakalé nlungsungi, nèk wong niku bakalé mèsthi mati. Kulâ aturi émut, tiyang gêsang niku mung mampir ngombé.

Durmâgati: Enggih, kalih anak-anak barang niku.

Dursâsânâ: Tiyang sêpuh niku pawitané nâpâ tâ ‘Man? Pawitané mung wolung ur. Ur sêpisan tutur, kêpindho wuwur, ur kaping têlu sêmbur, ur sing ping pat tafakur, ur ping lima syukur, ur ping nêm jujur, ur ping pitu ujur, sing ping wolu karêbèn bisâ luhur.[49]

Terjemahan

Dursasana: Setelah saya pikir-pikir, ternyata Paman itu adalah orang yang suka usil, membangunkan harimau tidur. Anda menghasut Boma Narakasura untuk membujuk Kresna agar mendukung keinginannya menjadi panglima perang terwujud. Padahal semula Boma pasif, bahkan sangat mendukung sewaktu Pandawa melantik Gatutkaca yang terpilih menjadi panglima di Amarta. Tetapi, setelah Paman datang ke Trajutresna, lalu menjadi rusak aturan mainnya. Boma kemudian menjadi daya ingatnya kacau. Terbawa oleh bujukan manismu, Boma menghadap ayahandanya ke Dwarawati. Sebenarnya apakah yang menjadi latar belakangnya?

Durmagati: Anda itu tidak menjabat patih di Dwarawati, dan bukan di Trajutresna, bukan pula di Amarta, tetapi patih di Astina. Jangan suka mencampuri urusan orang lain, lebih baik mengurus negara sendiri saja. Jangan mengganggu kemerdekaan orang lain, sebaiknya mewawas diri. Sesuatu yang sudah bagus dan bulat dimentahlakan kembali, ada apakah Paman Sengkuni?

Dursasana: Sebenarnya Boma itu tidak punya niat apa-apa. Setelah Paman datang dan membujuk, akhirnya Boma terpengaruh. Apalagi pengalaman Boma itu kurang, keluar rumah jarang dan kalah jauh dengan ayam piaraan. Raja yang kurang bergaul, Paman Sengkuni datang, pasti mudah kena pengaruh.

Durmagati: Bila saya pikir, Paman Sengkuni itu seorang pemimpin yang ngawur, diatur tidak mau, kesukaannya hanya dielu-elukan. Padahal urusan negara sendiri masih banyak yang harus dipikirkan; malahan memikirkan kebutuhan pihak lain yang sebenarnya sudah baik, bagaimana Paman? Apa keuntungan Paman membujuk-bujuk Boma itu? Bila kemudian terjadi Kakanda Kresna benar-benar membantu Boma, apakah itu tidak disebut merusak kesepakatan yang telah bulat, mengganti nama yang telah ditulis? Di sinilah Paman, akan semakin bubrah nantinya.

Sengkuni: Ingat Dursasana, Durmagati; Kamu dilahirkan di dunia itu dikodratkan menjadi kemenakanku, bukan guruku, mengerti? Saya pikir Kamu itu anak yang tidak mengerti sopan santu, tidak tahu kesusilaan, pangkatku jauh lebih tinggi dibanding pangkatmu. Sebab, aku seorang patih belum berbicara apa-apa, Kamu sudah berceloteh seperti ribuan burung nuri mengoceh? Apa biar kelihatan menonjol, mencari perhatian? Selalu terlambat datang, bila pulang berebut duluan, watakmu demikian itu; ah jangan begitu dong. Bodoh seperti apa pun, jelek-jelek berpangkat patih, di bawah raja langsung, diberi kekuasaan. Apakah Kamu tidak mengerti maksudku? Kenapa aku membujuk Boma? Ada pamrihnya, bila kelak Boma terlaksana menjadi senapati, saya harapkan dapat membocorkan rahasia kekuatan Negara Amarta. Itulah pamrih saya. Apabila rahasia kekuatan Pandawa telah diketahui, ah gampang sekali menghancurkan Amarta.

Durmagati: Nah akhirnya ketahuan arahnya, minta ampun. Saya peringatkan jangan lupa terhadap hukuman Pak Krama itu.

Dursasana: Barang siapa menanam akan memetik buahnya. Barang siapa hutang harus membayar, pinjam harus dipulangkan, ambil harus dikembalikan, membuat pasti memakai.

Durmagati: Tidak bisa tidak, pasti terjadi hukum karma itu, iya ‘kan?

Dursasana: Padahal pelaksanaan hukum karma itu adil; tidak hanya orang kebanyakan yang akan memikul akibat hukum karma itu, meskipun berpangkat tinggi pasti akan memetik hasil yang ditanamnya.

Durmagati: Ingatlah itu, dan sadarlah itu, jangan demikian itu dibiarkan saja, sama-sama keluarga, itu jelek Paman.

Dursasana: Sebaiknya, oran tua itu menjadi panutan, dengan meneladani yang baik. Jika ada anak salah dibetulkan, menyimpang diluruskan, lalai diingatkan. Anda itu ada pamrih, bila Boma benar-benar menjadi senapati, akan diminta untuk membocorkan rahasia Amarta; apa mesti diberikan, kalau tidak bagaimana?

Durmagati: Senjata makan tuan.

Dursasana: Sudahlah Paman, hentikan saja. Anda itu semakin tua, manusia itu bukan ular; ular dapat mengupas kulitnya untuk hidup dua kali, tetapi manusia pasti akan mati. Saya ingatkan Paman, orang hidup itu hanya sekali ibarat hanya mampir minum.

Durmagati: Iya, juga termasuk mempunyai anak.

Dursasana: Orang tua itu modalnya apa Paman? Modalnya adalah delapan ur. Ur yang pertama tutur [nasehat] kedua uwur [doa], ketiga sembur [puji], ur yang keempat tafakur, ur yang kelima syukur, ur keenam jujur, ur yang ketujuh ujur [menghadiahi], yang kedelapan agar menjadi luhur.

Isi cakapan Dursâsânâ dan Durmâgati, pada intinya mengingatkan Sêngkuni agar tidak menjalankan taktik yang kotor, dengan cara mengadu domba negara lain. Sebaliknya, Sêngkuni sebagai penguasa, mengkritik bawahan agar menjaga kedisiplinan dan loyal terhadap atasan. Dialog yang bermuatan kritik sosial dan politik semacam ini, sebelum Nartasabda, lebih lazim disajikan pada adêgan khusus bukan baku, seperti adêgan: Limbuk-Cangik, paséban jaba, dan/atau gârâ-gârâ. Sekarang, adêgan paséban jâbâ dengan tokoh-tokoh Kurâwâ, seperti contoh di atas, lebih banyak dimunculkan oleh para dalang umumnya, dalam repertoar lakon apa pun. Berdasarkan tipologi wayang yang cenderung mapan, paséban jâbâ dengan tokoh-tokoh Kurawa memang sangat terbuka untuk dijadikan sarana menyampaikan kritik sosial; sepengetahuan penulis, Nartasabdalah pelopornya.

Penyimpangan cakapan tokoh dari pokok pembicaraan tidak hanya dilakukan Anom Suroto saja; di berbagai jenis pertunjukan tradisional Jawa yang lain-seperti wayang orang panggung, kethoprak, dan ludruk-juga sering peneliti jumpai. Agaknya, daya tarik seni pertunjukan tradisional Jawa bagi masyarakat pendukungnya, terletak pada berbagai muatan atau pesan kemasyarakatan melalui cakapan para tokohnya; dengan demikian alur lakon sering kurang mendapat perhatian utama. Persoalan ini perlu diadakan penelitian tersendiri.

Dalang populer sekarang dapat menyisipkan kritik dan humor di adêgan mana saja. Di bawah ini disampaikan salah satu contoh cakapan yang disisipi kritik dan humor pada adêgan dan/atau tokoh wayang baku dalam suasana yang semestinya serius.

Sêngkuni: Ah, samp‑yan kuwi wong tuwâ didangu déning Ingkang Sinuwun, kok ndadak wêrnâ-wêrnâ sing dingêndikakaké. Bok ‘yâ uwis bèn, awaké dhéwé niki ‘rak mung ‘rèk gambar kucing.

Durnâ: Apa kuwi têgêsé? ‘Rèk kok digondol kucing?

Sêngkuni: Gambar!

Durn­â: Oooo gambar? Krunguku digondhol kucing, âpâ têgêsé?

Sêngkuni: ‘Rék gambar kucing, kulâ ndhèrèk wontên wingking.

Durnâ: Ooo kuwi ânâ tunggalé: ‘rèk ora digambar.

Sêngkuni: Piyé kuwi têgêsé?

Durnâ: ‘Rèk ora digambar, tiwas kèklèk ora dibayar.

Sêngkuni: Salahé ora gêlêm?

Durnâ: Anâ manèh tunggalé dhi.

Sêngkuni: Piyé?

Durnâ: ‘Rèk kêcêmplung kalèn.

Sêngkuni: Têrus?

Durnâ: Têlês.

Sêngkuni: Lho, thik têlês?

Durnâ: Ya têlês no. Rèk kêcêmplung kalèn kok ora têlês piyé?

Sêngkuni: Uuuu..., wong gêrang kok sênêngané plèsèdan.

Suyudânâ: Wong didangu ora wangsulan, kok malah padha cêngèngèsan!

Durnâ: Oêoo inggih, nyuwun panganpuntên ngGèr, ngantos klèpyan kulâ. Anu, anggèn Padukâ nglampahi tâpâbrâtâ punikâ sampun wontên gangsal dintên kalênggahan mangké.

Suyudânâ: Hêmmmm. Dados nêmbê pikantuk sêpêkên Bâpâ?

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Durnâ: Tuladhané inggih kados lêkas Padukâ mênika. Pârâ pandhâwâ tâpâbrâtâ, ingkang ginayuh swarganipun râmâ ibunipun, mênika utami ngGèr. Nanging, sarêng Padukâ Anak Prabu nglampahi tâpâbrâtâ jebul tujuanipun kanggé ngalap pêjahipun Pandhâwâ, wadhuh, klintu ngGèr, manawi . . .

Suyudânâ: Huuuussss ... !!! Ampun crigis! Wis gêdhé tuwâ barang thik diwulang, anggêpé aku ki âpâ?

Sêngkuni: Empun mang mênêng mawon Wakné, mangké mundhak sêling surup. Kâyâ kulâ niki mawon ‘rak ‘pun. Wong nyambut gawé niku anggêré gêlêm nyênyênêng panggalihing ratu, mêsthi slamêt, ‘rak ngatên.

Durnâ: Uuuuuuu ... ya uwis, bola-bali wong jamané, ‘yâ arêp dikapakaké? Jaman édan, arêp ngédan ora tahan, nèk oran ngédan ora kêduman. ‘Yâ uwis, mung sarwâ éwuh. Tunggalé jaman kêparat ngânâ kaé.

Sêngkuni: Jaman képarat niku pripun?

Durnâ: Jaman kêparat, wulang suci ora dikéblat, sing diudi mung bângsâ maksiyat. Wong wadon mlumpat kawat, wong lanang gila hormat, mulâ anak-anaké korilé pâdhâ bêjat. ‘Yâ wis kâyâ ngono kuwi jaman sakiki.

Suyudânâ: Ampun grênêngan, nèk mbotên krasan mèlu kulâ mang késah mrikâ, ampun dhêku-dhêku èntên ngriki.

Durnâ: Lha ... ‘yâ wis ngono kuwi carané, anggêr ora cocog karo pênggalihé ‘ya têrus PHK ngono kuwi.[50]

Terjemahan

Sengkuni: Ah Anda itu orang tua ditanya oleh Sang Raja, malahan macam-macam yang dibicarakan. Sudahlah, kita ini ‘kan rèk gambar kucing (geretan bergambar kucing).

Durna: Apa itu maksudnya? Ada korek koq digondol [dibawa lari] kucing?

Sengkuni: Gambar!

Durna: Ooo gambar? Dengarku digondol kucing, apa itu maksudnya?

Sengkuni: Rèk gambar kucing, kula ndhèrèk wontên wingking [saya ikut di belakang].

Durna: Ooo itu ada yang lain, rèk ora digambar.

Sengkuni: Apa itu artinya?

Durna: Rèk ora digambar, terlanjur capek tidak dibayar.

Sengkuni: Salah sendiri koq mau.

Durna: Ada lagi yang lain, dik.

Sengkuni: Bagaimana?

Durna: Rèk kecêmplung kalèn [geretan tercebur dalam selokan].

Sengkuni: Lalu?

Durna: Basah.

Sengkuni: Lo koq basah?

Durna: Ya jelas basah, geretan tercebur air pasti basah.

Sengkuni: Uuuu kakek-kakek senang bergurau.

Suyudana: Ditanya tidak menjawab, bahkan senda gurau sendiri.

Durna: O iya mohon maaf, hingga saya lalai. Tapa Anda sampai saat ini sudah mencapai hari yang kelima.

Suyudana: Hem, jadi baru mencapai lima hari.

.........................................................

Durna: Contohnya ya seperti yang dilakukan Pandawa itu. Para Pandawa melakukan tapa brata yang diinginkan adalah agar ayah bundanya dapat masuk sorga. Tindakan itu sangat terpuji. Tetapi Anda menjalankan tapa brata ternyata mengharap kematian Pandawa. Ah, salah besar itu, apabila...

Suyudana: Heees, diam! Sudah dewasa penuh kenapa diberi nasehat, dianggap siapa saya ini?

Sengkuni: Kakak, sudahlah Anda itu diam saja, nanti malah salah paham. Seperti saya ini saja. Orang bekerja itu asal dapat selalu membuat senang raja pasti selamat, begitu saja.

Durna: Uuu, ya sudah. Sudah zamannya, mau apa? Zaman gila, ikut pura-pura gila tidak sampai hati, kalau tidak ikut pasti tidak kebagian. Ya sudah, serba salah. Seperti jenis zaman keparat demikian itu.

Sengkuni: Zaman keparat itu bagaimana?

Durna: Zaman keparat, ajaran suci tidak di kiblat, yang didambakan hanya sebangsa maksiat. Wanita melompat kawat, lelaki gila hormat, maka anak-anaknya bermoral bejat. Ya demikian itu zaman sekarang.

Suyudana: Jangan omong sendiri, bila tidak kerasan ikut saya minggat saja, jangan menghamba di sini.

Durna: Lah.... demikian itu caranya, setiap tidak menyenangkan, langsung PHK begitu ya.

Ginêm pada adêgan Limbuk-Cangik dan Gârâ-gârâ yang disajikan para dalang populer sekarang tidak saja menyimpang alur-dalang kadang-kadang berbicara atas nama pribadinya, tidak sebagai pameran tokoh wayang-juga melakukan dialog langsung dengan pêsindhèn, pêngrawit, penonton, dan seniman bintang tamu (misalnya dengan sesama dalang, pelawak, pêsindhèn, dan penyanyi). Inti pembicaraan lebih bersifat kelakar-sering mengarah ke bentuk lawakan pornografik-untuk hiburan penonton. Contoh ginêm spontan pada adêgan gârâ-gârâ dalam pakêliran Anom Suroto, antara Pétruk dan Bagong dengan seorang pelawak dari Madiun, Kirun, dapat dilihat di bawah ini.[51]

Pétruk: Halo ‘Run, kadingarèn kowé mârâ, suwé ora dolan ngulon.

Kirun: Mas Pétruk kulâ radi sibuk, nêmbé kémawon péntas wontên Bumi Hyat Hotèl, kâlâwingi wontên Grêsik, lajêng kulâ nyusul ngriki.

Pétruk: Sêniman ‘ki yèn lagi laris, dipamèr-pamèraké.

Bagong: Mbiyèn motoré Fiat tanpa slébor, sakiki Kijang. Syokur, aku mèlu bungah.

Kirun: Alhamdulillah Mas Bagong, adilipun Kang Kuwâsâ.

Pètruk: Mobil anyar ‘ra ‘sah dipamèr-pamèraké, yè ditakoni wartawan dijawab waé yèn butuh motor apik kanggo kâncâ nyambut gawé, kênâ kanggo ngaso ânâ ndalan. Mobil apik-apik ditulisi, pamèr mobilku wolu, trukku pitu likur. Malah ngundang rampok.[52]

Kirun: Kados kulâ sing dirampok napané, wong rung-sèk mbé-ndêl? Têgêsé: irung pèsèk, lambéné kandêl. Ning anu lho Mas Bagong, gadhah pacar kados kulâ ngèten niki lothung.

Pétruk: Karepmu piyé?

Kirun: Kados sampéyan niku yèn pacaran répot lho Mas Pétruk. Lambéné durung éntuk âpâ-âpâ, irungé pun nyanthol dhisik. Bèntên kalih kulâ, irung dèrèng nyénggol blas, lambé êmpun ndhisiki sssrrrêêêggg [seperti bunyi hidung yang sedang sakit pilek].[53]

Terjemahan

Petruk: Halo ‘Run, tumben Kau datang, lama tidak berkunjung ke Barat [maksudnya adlah ke Surakarta, rumah Anom Suroto].

Kirun: Mas Petruk, saya agak sibuk, baru saja pentas di Bumi Hyat Hotel, kemarin Gresik, kemudian saya menyusul kemari.

Petruk: Seniman kalau sedang laris, suka pamer.

Bagong: Dulu mobilnya Fiat tanpa selebor, sekarang (Toyota) Kijang. Syukur, aku ikut bahagia.

Kirun: Alhamdulillah Mas Bagong, anugerah Tuhan.

Petruk: Mobil baru tidak perlu dipamer-pamerkan; bila wartawan bertanya, jawab saja bahwa memerlukan mobil bagus untuk bisnis, dapat dimanfaatkan untuk istirahat di perjalanan. Mobil bagus-bagus dicoreti tulisan, pamer, mobilku delapan, trukku dua puluh tujuh. Salah-salah hanya mengundang perampok saja.

Kirun: Seperti saya ini yang dirampok apanya? Hanya dungsekbirbal, artinya hidung pesek bibir tebal. Tetapi anu lo mas Bagong, punya pacar dengan saya itu lumayan.

Petruk: Bagaimana maksudmu?

Kirun: Seperti Anda itu bila pacaran repot lo Mas Petruk. Bibir belum menyentuh apa-apa, hidung terlanjur nyangkut duluan. Berbeda dengan saya, hidung belum kena, bibir sudah sreeeggg.

Petruk: Sreeegggg, seperti babi hutan ingusan saja.

Ginêm pânâkawan-tokoh-tokoh Kurawa pun dapat berubah tipologinya mirip dengan badut-yang disajikan dalang sekarang pada umumnya, lebih banyak dan/atau sering mengarah ke bentuk lelucon yang bersifat pornografik. Segala hal dapat dijadikan sebagai bahan humor porno seperti: senjata wayang, pribadi pêngrawit, syair lagu, sênggakan gêndhing, pemukul gamelan, kecantikan swârâwati, bentuk mikropun, dan cêmpala.

Banyol atau humor berbentuk pornografik demikian dapat pula diwujudkan dalang pada gerak-gerak wayang; misalnya Bagong memotong kemaluan tokoh raksasa dengan sebuah alat khusus, Antasénâ mencabuti rambut pada kemaluan (Jawa: jêmbut) musuhnya. Contoh lain sewaktu Bagong menari dengan kepala di bawah serta kaki di atas telah diintip Garèng dengan berucap: édan, Bagong ora kathokan (gila Bagong tidak bercelana).

Banyak kritik terhadap banyolan jorok ini, tetapi para dalang populer selalu mengelak dengan berbagai argumentasi atau alasan. Sewaktu mendapat pertanyaan tentang humor yang bersifat pornografik dalam pakêlirannya, Anom Suroto menjawab demikian:

Porno atau lékoh itu relatif. Suatu istilah atau ungkapan yang dimunculkan bisa ditangkap secara porno khususnya dialog dalam dagelan atau banyolan hanya srèmpètanan-srèmpètanan tidak mlaha. Srèmpètan macam itu hanya bumbu untuk menambah kelezatan. Masyarakat sekarang saya kira tertarik kepada yang menjurus porno. Buktinya banyolan yang itu dimaui, bahkan menjadi daya tarik tersendiri. Ala kadarnya saja, jangan berlebihan. Bagaimana bisa gamblang menerangkan pesan Keluarga Berencana tanpa dengan bumbu-bumbu srèmpètanan, ya ‘kan? Selain itu juga bsa menghardik rasa kantuk.[54]

Dalam kesempatan lain, tentang kondisi masyarakat penonton wayang sekarang, Anom Suroto berpendapat bahwa:

Masyarakat sekarang, khususnya penonton wayang, sulit untuk menerima hal-hal yang sifatnya simbolis atau tersamar. Mereka sulit pula untuk diajak merenungkan hal-hal yang bersifat mendalam, maunya yang langsung dapat menghibur. Lebih gampang dicerna dan dipahami; bila perlu, dengan cara-cara yang sangat mlâhâ, cêplas-cêplos dan sejenisnya.[55]

Akhirnya, berkaitan dengan bentuk sajian catur para dalang populer¾bahkan wujud atau bentuk pakêliran seutuhnya¾penulis sependapat dengan kesimpulan Bakdi Soemanto yang mengatakan bahwa:

Ini artinya, disadari atau tidak, kebanyakan dalang mulai menyadari lebih pentingnya aspek komunikasi dari pada pertimbangan mempertahankan sastra pedalangan dengan bahasa Kawi yang membayangkan keadiluhungan. Cukuplah menjadi petunjuk bahwa dalang menyadari keberadaannya di tengah penonton yang secara batin harus ikut terlibat aktif dengan apa yang terjadi di jagat kelir. Sebagai konsekuensi logis dari pandangan ini, dalangharus menyadari bahwa apa yang disajikan harus selalu aktual. Jagat pakêliran diharapkan menjadi bayang-bayang dari apa yang sekurang-kurangnya dipikirkan oleh khalayak penonton. Di samping itu nampak jelas, bahwa popularitas menjadi salah satu orientasi dalang dewasa ini, yang mungkin, dianggap penting. Kepekaan dalang terhadap keadaan sosial yang aktual menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi, di samping berbagai macam keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang dalang.[56]

d. Sajian Sabêt

Sabêt merupakan aspek pakêliran yang menyangkut gerak wayang, yang secara teknik dikelompokan menjadi: tancêpan (pencacakac serta komposisi wayang pada batang pisang), bêndholan (pencabutan dari cacakan), dan êntas-êntasan (pengeluaran atau eksit wayang dari layar atau kêlir) serta berbagai ragam gerak khusus, misalnya: berjalan, terbang, menari, dan berkelahi atau berperang.

Para dalang populer sekarang, pada umumnya, memiliki kemampuan di bidang sabêt lebih cekatan dan/atau terampil bila dibandingkan dengan para dalang sebelumnya. Hal itu juga dimiliki para dalang muda pada umumnya. Kecekatan dan/atau keterampilan para dalang muda ini terlihat secara jelas pada saat penulis menjadi juri lomba dan pengamat festival dalang di Surabaya.[57] Hampir semua dalang peserta, kurang lebih 85% mengikuti bentuk serta teknik sabêt seperti yang dilakukan manteb Soedharsono.

Intensitas garapan baru dalam bidang sabêt yang dilakukan oleh para dalang tenar sekarang menunjukkan gejala atau tanda-tanda lebih berani dibanding dengan yang dilakukan para dalang sebelumnya, dalam hal tempo dan ritmenya. Gerak-gerak wayang lebih dinamis, pada saat wayang sedang berdialog bergerak secara lebih bebas dan tidak sekedar menggerakkan tangan, seperti di masa sebelum sekarang ini. Pada adegan perang hampir dipenuhi oleh bentuk akrobatis; misalnya berjumpalitan (rol), meniru bentuk gerak silat, berputar-putar, dan sebagainya. Banyak gerak wayang yang disajikan para dalang sekarang memiliki kesan representatif dengan meniru gerak alam sedekat-dekatnya dan/atau realistis keseharian. Bentuk tiruan alam ini lazim disebut dengan mimesis.[58]

Bentuk tancêban dan bêdholan tidak tampak adanya pengembangan yang dilakukan oleh para dalang populer sekarang. Dalam êntas-êntasan (eksit dari areal pentas wayang) penulis melihat adanya pencepatan tempo. Jarak waktu eksit antara wayang yang satu dengan wayang berikutnya sangat dekat, sekitar 30 detik; demikian wayang pertama telah mencapai batar areal panggung wayang, wayang kedua telah digerakkan dan dicabut dari cacakan; begitu pula wayang-wayang berikutnya, seolah-olah tidak ada jarak lagi. Saat êntas-êntasan, tokoh-tokoh wayang tertentu-biasanya untuk memberi efek lucu dalam adegan perang-dilempar menyamping dan dilepas sedemikian saja, dalang tanpa memperdulikan ke mana wayang jatuh. Manteb Soedharsono melempar wayangnya ke arah tempat duduk para pêsindhèn di timpal kelakarnya: “Bu, tulung Bu, wayang awon niku mang uncalaké wangsul ngriki (Bu, tolong Bu, wayang jelek itu Anda lempar kembali ke sini).

Sabèt para dalang sekarang yang mengalami banyak pengembangan adalah pada gerak wayang menari dan perang. Repertoar gerak tangan wayang-terlebih-lebih bagian depan-semakin bervariasi dan bertambah jumlahnya. Dengan mudah para dalang memutar tangan depan wayang dengan cepat dan mirip baling-baling, menyiku musuh, membanting sambil membalik. Gerak Cakil meniru gerak silat, serta menekuk siku lengan depan dan belakang bergantian. Seperti yang telah disinggung di muka, sebagian besar pengembangan gerak itu terarah pada bentuk yang lebih realis dan atraktif.

Manteb Soedharsono sering menyajikan sabêt kapalan dengan cara terbalik. Artinya, apabila jêjêr raja raksasa, maka bêdholan perajuritnya ke arah kanan gawang. Sabêt kapalan dengan cara terbalik demikian tidak banyak dilakukan oleh dalang lain. Sebelum Manteb Soedharsono, almarhum Pujasumarta, sekitar tahun 1970, juga melakukan hal yang sama. Manteb Soedharsono juga melakukan pembalikan posisi sabêt pada bagian gerak tertentu dalam menyajikan pêrang kêmbang, ksatria di sebelah kiri dan butâ cakil di sebelah kanan. Cara demikian tidak lazim dalam duni pakêliran. Hal ini dapat dikatakan mengingkari makna simbolis yang biasa berkembang di kalangan pedalangan tertentu bahwa tokoh baik di sebelah kanan dan tokoh jelek di sebelah kiri.

Perkembangan yang sangat pesat di bidang sabêt ini, sepengetahuan penulis, dipelopori oleh almarhum Gandabuwana (Ponorogo) dan Harjunadi (Nganjuk) untuk daerah Jawa Timur; sedang untuk daerah Jawa Tengah¾khususnya Surakarta dan sekitarnya¾oleh Sudarman Gandadarsana.[59] Manteb Soedharsono, yang semula lebih banyak mengacu pada gaya pribadi Sudarman Gandadarsana, bagi kalangan yang tidak mengetahuinya, dianggap sebagai dalang pelopor dalam inovasi di bidang sabêt. Anggapan tersebut wajar, sebab ketiga dalang populer pengembangan sabêt¾almarhum Sudarman Gandadarsana, almarhum Gandabuwana, dan Harjunadi¾tidak memiliki strata kepopuleran setara dengan Manteb Soedharsono.

Nartasabda yang terkenal itu, dalam bidang sabêt dapat digolongkan jelek, atau memang kurang menjadi perhatian utama dalang. Tampaknya, sabêt yang merupakan bidang visual, di masa lampau, kurang mendapat perhatian dibanding dengan aspek pakêliran yang lain. Sebaliknya setiap dalang muda yang muncul sekarang lebih memusatkan perhatiannya di bidang sabêt, dan kurang tampak di bidang catur.

Berkaitan dengan masalah penonjolan salah satu aspek pakêliran sebagai salah satu piliha, dapat dikatakan merupakan strategi dalang, agar mendapat simpati para penontonnya, seperti pengakuan Manteb Soedharsono yang mengatakan:

Saya mendapat bagian yang mana mas? Semua cara untuk meng­hidupkan dan menyemarakkan pakêliran sudah dimonopoli oleh Pakeliran Nartasabda dan Mas Anom Suroto. Ketika mendapat kesempatan mendalang pakêliran padat dengan repertoar lakon Jaka Mruta di Sasanamulya sekitar 80-an kala itu, saya dipuji dan dibombong oleh Pak Gendon Humardani bahwa sabêtan wayang saya bagus dan hidup. Saya ditantang untuk lebih banyak menggarap gerak wayang agar lebih komunikatif dan ekspresif; sebab, tidak semua masalah harus diungkap lewat ântâwacânâ atau cakapan wayang. Bagaimana membuat gerak wayang mengantuk, sedih, marah, bahkan kentut?.[60]

Sumaryono memberikan tawaran kepada dalang untuk memilih aspek pakêliran mana yang perlu ditonjolkan, tetapi selalu harus ingat terhadap kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pada setiap dalang:

Akhirnya para dalang muda tinggal memilih sekian alternatif. Ingin menjadi dalang sabêt, dalang sanggit, dalang micârâ, atau dalang mbanyol. Dengan catatan harus diingat bakat dan kemampuan pada diri masing-masing. Kalau memang tidak mempunyai pembawaan cucut, mengapa harus memaksakan penonjolan banyolan-bayolan?[61]

Sebelum berjumpa dengan Humardani, pakêliran Manteb Soedharsono banyak meniru cara yang dilakukan Nartasabda, terutama pada unsur catur dan iringan. Cara yang ditempuhnya ini ditegor Nartasabda dan disarankan untuk mengembangkan kemahiran yang menonjol pada diri Manteb Soedharsono, yaitu sabêt. Dorongan Humardani menambah semangat Manteb Soedharsono untuk meningkatkan kemampuan pribadinya di bidang pakêliran.[62]

Dalam sebuah wawancara dengan Sutarno Priyomarsono, Manteb Soedharsono mengatakan demikian:

Saya mulai banyak bergaul dengan lingkungan ASKI Surakarta, dengan konsep-konsep mereka. Saya dekati PJKT, saya coba menekuni gerak wayang dengan bimbingan Pakeliran Humardani. Saya pelajari pakêliran padat, dan bersama-sama mahasiswa ASKI mencari kemungkinan-kemungkinan baru di dunia pakêliran. Sesudah enam tahun, baru saya temukan garap saya. Bahwa pakêliran itu adalah gerak, adalah akting, adalah teater itu sendiri.[63]

Setiap kali pentas, Manteb Soedharsono meyakinkan diri dan mengharuskan untuk mampu mengubah benda mati dan statis (wayang) menjadi hidup dan bergerak. Kemahiran sekaligus modal kebanggannya di bidang sabêt ini dipertahankan hingga sekarang, seperti yang diucapkan kepada wartawan di saat ia akan menyajikan repertoar lakon Banjaen Bima di Jakarta, bahwa; “Saya akan pamer sabêt dari awal samapai akhir.”[64] Pernyataan ini merupakan salah satu petunjuk bahwa dalang sekarang lebih berorientasi pada selera masyarakatnnya.

Keterampilan dan kecekatan Manteb Soedharsono di bidang sabêt ini, semula merupakan modal pokoknya dalam mencari penggemar seluas-luasnya; melalui sabêt-nya pula ia sering mendapat pujian dari berbagai pihak. Manteb Soedharsono telah mendapat “gelar” dalang setan dari Boedihardjo.[65] Dengan kekuatan sabêt yang luar biasa terampil, satu boneka dari kulit di tangan Manteb Soedharsono tampak tiga dimensi.[66] Ketenaran Manteb Soedharsono yang dirintis melalui inovasi pada aspek sabêt inilah yang menyebabkan banyak dalang muda sekarang lebih memusatkan bentuk pakêliran-nya di bidang sabêt.

Untuk mendukung keperluan pengembangan sabêt yang diharapkan lebih bervariasi dan menarik penonton, para dalang juga mengadakan pembaruan wayang-wayang dan propertinya dengan desain baru. Pembaruan wayang-wayang itu meliputi penambahan: genre wândâ, tokoh, ukuran atau postur, dan jumlah. Untuk mendukung jumlah dan ukuran wayang yang lebih besar, Manteb Soedharsono membuat gawang kelir dengan ukuran panjang 13 meter dan tinggi 4 meter. Manteb Soedharsono sangat memperhatikan kualitas bahan wayang-kulit, tanduk, dan bambu-dan teknik pemasangan gapit (tangkai wayang). Setiap ada kesempatan, bila kebetulan tidak banyak waktu pentas, Manteb Soedharsono juga sering memasang gapit wayang sendiri untuk mendapatkan hasil optimalnya sesuai dengan laju pengembangan sabêt-nya.

e. Sajian Iringan

Iringan pakêliran merupakan berbagai bentuk bunyi-bunyian yang dapat membantu dan/atau memperkuat suasana adegan wayang. Iringan pakêliran meliputi: gêndhing, sulukan, dhodhogan, dan keprakan. Berkaitan dengan tesis ini hanya akan disampaikan gêndhing dan sulukan saja; kedua aspek yang belakang kurang mendapat perhatian. Aspek dhodhogan dan kêprakan kurang menunjukkan adanya perubahan menonjol, paling jelas hanya pada bentuk fisik serta intensitas pemakaiannya. Kedua aspek ini lebih bersifat ritmis, diulang-ulang, dan sangat sering dilakukan dalang dalam berbagai keperluan pakêliran.

Semenjak Nartasabda, iringan pakêliran tradisi Surakarta telah dicampur dengan repertoar dari berbagai daerah lain, terutama dalam gêndhing. Sekarang, cara Nartasabda ini sangat berpengaruh dan telah diikuti para dalang pada umumnya.

1. Sajian Sulukan

Dalam konteks tulisan ini yang dimaksud dengan sulukan adalah lagu vokal khusus untuk keperluan pakêliran. Dalam tradisi pakêliran Surakarta, sulukan digolongkan menjadi pathêtan (untuk memberikan efek suasana san/atau rasa puas, tenang, agung, dan sejenisnya), sêndhon (untuk memberikan efek rasa gelisah, ragu-ragu, kecewa, dan sebagainya), dan âdâ-âdâ (untuk memberikan efek suasana gagah, marah, dengki, dan sejenisnya). Efek rasa dan/atau suasana yang ditimbulkan dari ketiga golongan sulukan ini tentu saja sangat bergantung pada melodi lagu, syair, serta cara penyajiannya.

Bila dilihat dari beberpa nama repertoarnya-seperti: pathêtan Lasêm, pathêtan Kedhu, dan âdâ-âdâ Mataraman-penulis perkirakan pernah terjadi percampuran sulukan antar gaya dan/atau subgaya di Jawa; yang kebenarannya memerlukan penelitian tersendiri. Sepengetahuan penulis, Narasabda memasukkan repertoar sulukan daerah lain hanya terbatas pada tradisi pakêliran Yogyakarta; sekarang, Manteb Soedharsono melengkapi dari tradisi pakêliran Banyumasan, Kebumenan, Mediunan, dan Jawatimuran, yang meliputi melodi dan syairnya. Anom Suroto dan Manteb Soedharsono sering memasukkan repertoar sulukan yang biasa dipakai dalam pertunjukan wayang gêdhog. Anom Suroto dan Manteb Soedharsono juga sering menggunakan beberapa reertoar sulukan yang beredar di luar keraton; yang di kalangan pedalangan Surakarta lazim disebut sulukan: Klathènan, Jâwâ, atau lawas.[67] Secara sederhana, bentuk sulukan ini dapat dicirikan lebih lamban tempo penyajiannya dibanding dengan tradisi keraton. Pada bagian-bagian tertentu sering diiringi dengan instrumen lengkap-seperti kêndhang, saron, dêmung, gêndèr, dan gambang-yang tidak lazim dalam sulukan tradisi keraton.

Anom Suroto memiliki kualitas suara tergolong kung (bagus) dan mampu menyuarakan vokal dalam tempo yang sangat panjang, maka pada setiap sajian sulukan-nya terasa lamban, meskipun genre âdâ-âdâ. Hal ini juga tidak terbiasa dalam tradisi sulukan keraton, yang sangat membedakan antara penyuaraan jenis pathêtan, sêndhon,dan âdâ-âdâ; sebab, masing-masing memiliki karakter berlainan. Cara Anom Suroto dalam menyajikkan sulukan ini, karena popularitasnya, sekarang telah berpengaruh meluas terhadap para dalang muda. Sepengetahuan penulis, para dalang muda yang terpengaruh Anom Suroto dalam hal gaya sulukan adalah: Tomo Pandoyo (Klaten), Anom Hartono (Ponorogo), Sentho Yatnocarito (Ponorogo), Warseno (Klaten), Kliwir (Boyolali), dan Joko Wardono (Boyolali).[68]

Dalam berbagai panduan pedalangan disebutkan bahwa cakêpan (syair) sulukan untuk setiap repertoar sebaiknya rangkap, dan penggunaannya disesuaikan dengan tokoh wayang dan/atau suasana adegan; misalnya untuk tokoh Baladewa dipilih syair: Tandang Sri Bâlâdéwâ, nênggalanirâ . . ..[69] Anjuran ini, di masa lalu, kurang diperhatikan dalang penganut tradisi pakêliran Surakarta. Para dalang populer sekarang, lebih memperhatikan isi syair yang disesuaikan dengan tokoh dan/atau suasana adegan wayang, bila dibandingkan dengan para dalang lain yang tidak populer. Berkaitan dengan hal ini, seperti halnya di bidang catur, dalang populer sekarang telah menyiapkan syair atau cakêpan sulukan-nya secara tertulis, yang sewwaktu-waktu dapat digunakan sesuai dengan keperluan penyajian lakon, berikut suasana adegan yang dikehendakinya. Hal ini dilakukan para dalang sekarang, agar penyajian sulukan tetap sesuai dengan keperluan lakon. Penyajian secara spontan sering tidak menguntungkan, sebab saat-saat dalang sedemikian sibuknya pementasan, sering harus membagi perhatian pada berbagai aspek, agar pakêliran tetap menjadi satu kebulatan sajian.[70]

Disebabkan ada beberapa adegan dan/atau gêndhing sudah jarang ditampilkan, maka ada pula repertoar sulukan yang menjadi kelengkapannya, tidak pernah atau jarang disajikan dalang. Golongan pathêtan yang sudah jarang disajikan dalang adalah: Nêm Wantah, Manyurâ Agêng, Kêdhu, Lindur, Lasêm, Sângâ Ngêlik, dan Jingking. Golongan sêndhon yang jarang disajikan dalang adalah: rêncasih, Sastrâdatan, dan Kagok Kêtanon. Golongan âdâ-âdâ yang juga tidak pernah disajikan para dalang populer adalah: âdâ-âdâ Bimâ Mlumpat, disajikan khusus untuk Bima melompat, Manggalan, dan Hastâkuwâlâ Sângâ.

Beberapa repertoar sulukan sekarang disajikan para dalang dengan cara lebih meriah, di antaranya adalah âdâ-âdâ Hastakuwala dengan teknik tabuhan palaran. Anda beberapa gêndhing palaran yang disajikan dalang sebagai pengganti sulukan, untuk mengungkap suasana tegang dan/atau marah.

2. Sajian Gendhing

Dalam acuan pakêliran tradisi Keraton setiap tokoh dan/atau adegan wayang diwajibkan untuk menggunakan repertoar gêndhing yang telah ditentukan, termasuk teknik penyajiannya.[71] Dalam perkembangannya, sebagian besar acuan ini tidak selalu diikutioleh para dalang di luar keraton. Dalang populer yang terkenal banyak mengingkari panduan adalah Nartasabda; akibatnya, karena popularitas Nartasabda, hal itu menjadi semacam tradisi baru di bidang pakêliran. Pengingkaran terhadap panduan gêndhing-gêndhing pakêliran ini, kemungkinan, disebabkan oleh beberapa hal; diantaranya akibat dari penghilangan beberapa adegan dari bangunan lakok, ketidaktahuan, dan ketidak­mampuan para pêngrawit dan/atau dalang, serta alasan kreativitas.

Langkah-langkah pengembangan yang dilakukan Nartasabda di bidang karawitan pakêliran diantaranya: memasukkan unsur garap iringan tari bêdhayan, menata dan mengaransemen kembali gêndhing-gêndhing yang telah ada, memasukkan repertoar gêndhing dan teknik tabuhan dari tradisi karawitan lain, memindahkan teknik keromcong atau dangdut ke dalam karawitan, selain juga menyusun lagu-lagu baru sebagai selingan adegan tertentu. Karya-karya lagu dan gêndhing Nartasabda ini sekarang menjadi populer di dunia karawitan dan pedalangan.

Pada awal kariernya, Manteb Soedharsono telah banyak menggunakan gêndhing-gêndhing koleksi Nartasabda. Sekarang, Manteb Soedharsono menyajikan komposisi dan/atau tataan gêndhing baru-karya Blacius Subono, sebagai iringan adegan baku dan tidak terbatas sebagai selingan-untuk seluruh pakêliran-nya; misalnya dalam adegan: jêjêr, bêdholan jêjêr, paséban jâbâ, jaranan, sabrangan, gârâ-gârâ, pêrang, dan tancêp kayon. Sajian iringan pakêliran Manteb Soedharsono ini memperkaya repertoar gêndhing yang telah ada, sekarang juga banyak dipakai oleh dalang lain. Gendhing karya Blacius Subono itu diantaranya adalah: Hong, Manuhârâ, Gêjuk, Pseéban, Gandhul, Gumregut, sêkar Mayang, Kasimpar, Rênggut, Baskârâ, Tumbal, Jumangkah, Grodhâ, dan Grêngsêng. Gêndhing-gêndhing baru karya Blacius Subono ini sekarang telah banyak diikuti oleh para dalang muda, khususnya di Jawa Timur.

Gêndhing-gêndhing tatanan baru untuk adegan pokok ini memiliki kekuatan dan/atau rasa yang berbeda-lebih gagah, meriah, atau semarak-dibanding dengan repertoar yang telah ada sebelumnya. Perbedaan rasa ini, lebih banyak ditentukan oleh susunan melosinya yang sebagian besar memiliki harga setengah nada pada setiap sabêtan.[72], selain disebabkan pula oleh teknik tabuhan dan jumlah ricikan gamelan yang dipilih, meskipun beberapa repertoar masih menggunakan pola sama, seperti gêndhing lama.[73]

Seperti halnya Nartasabda, para dalang populer sekarang juga banyak menyelipkan lagu-lagu selingan yang bersifat hiburan[74] untuk adegan tidak baku, Limbuk-Cangik dan gârâ-gârâ. Lagu-lagu ini disajikan tidak terbatas pada garap gêndhing khusus pakêliran, tetapi bervariasi, meliputi garap: santiswanran, larasmadya, tayuban, kêthoprakan, dan bahkan berasal dari musik non karawitan Jawa, seperti: langgam atau keroncongan, dang-dut, jaipongan, serta musik rock.

Gêndhing populer yang sering muncul, sebagai selingan, dalam pakêliran dalang populer adalah: Kutut Manggung gaya Cândrâlukitan, Jinêman Ulêr Kambang, Sinom Parijâthâ Kêthoprakan, Mijil Kêthoprakan, Jula-juli, Kêmbang Glêpang, Walang Kèkèk, dan Orèk-orèk. Adapun lagu populer nonkarawitan yang sering muncul diantaranya adalah: E Wong Donyâ, Ngimpi, Caping Gunung, Ela-élo, Gandrung, Denpasar Moon, Jaran Képang, Bajing Luncat, Tanjung Pérak, Andhêng-andhêng, Ali-ali, Gêthuk, Enthit, Popok Bêruk Kèli, Mendem Wédokan, Bakpao, dan Cocak Rawa. Gêndhing-gêndhing selingan itu biasanya disajikan dalang pada adegan Limbuk-Cangik dan/atau gârâ-gârâ. Repertoar lagu-lagu selingan yang disajikan terdiri atas karya atau hasil aransemen dalang sendiri maupun seniman lain.

Sebagian besar penyajian lagu-lagu selingan ini semula masih menggunakan ricikan gamelan Jawa lengkap. Beberapa ricikan musik non-gamelan-seperti: rebana dan/atau terbang, klarinet, bas-drum, terompet reog, snar-drum, dan key-board organ-oleh para dalang populer sekarang juga dimanfaatkan untuk membuat aransemen lagu selingan pindahan dari lagu non-karawitan; selain dipakai untuk memberikan tekanan dan/atau efek tertentu pada gerak wayang perang dan menari kiprahan.

Manteb Soedharsono dalam garapan lakon dan keperluan khusus, kadang-kadang memasukkan ricikan bonang pênêmbung, yang tidak lazim dalam karawitan pakêliran. Berkat kelarisannya, Manteb Soedharsono tergolong dalang yang memiliki jumlah peralatan pentas serta kerabat kerja terbanyak. Seperti yang telah disinggung di muka, Manteb Soedharsono tidak hanya menggunakan gamelan Jawa, tetapi juga memanfaatkan beberapa jenis alat musik non-gamelan (Barat).

Dengan jumlah tambahan peralatan yang demikian banyak, maka kerabat kerja Manteb Soedharsono benar-benar besar dan tidak seperti dalang lain. Perincian kerabat kerja Manteb Soedharsono bila dipesan mendalang lengkap adalah: 1 orang dalang, 20 pemain gamelan, 6 pêsindhèn, 2 penyanyi keroncong atau pop (tergantung pesanan), 3 pemain terompet, 1 orang pemain snar-drum, 1 orang drumer dan simbal, 4 vokalis pria atau penggerong, 1 orang violis, 2 pengatur pencahayaan dan bléncong, 3 operator sound-system, 1 orang operator key-board, 2 sopir truk, 3 kenek, 4 sopir mobil biasa, 1 orang pênyimping, 3pênitigamelan, dan 2 pêniti wayang.

Seperti halnya dalam kiatnya di bidang sabêt, Manteb Soedharsono mengatakan bahwa: “dengan cara menambah dan melengkapi alat-alat canggih dan musik non-gamelan itu diharapkan dapat lebih menarik simpati para anak muda.”[75] Berkaitan dengan pendapat ini Kuntowijoyo berpandangan bahwa:

Kiranya perlu disinggung budaya kaum remaja, golongan yang paling suka menyerap teknologi modern. Sebagian remaja kita terjangkit budaya psikodelik yang menggunakan bahan-bahan psikokemis mampu membawa mereka ke alam impian, lepas dari realitas-semacam budaya misteri dan mistik bagi mereka yang lebih tua dan mampu bersusah payah.[76]

Akhir-akhir ini proses profesionalisme, yang salah satu cirinya adalah adanya diferensiasi tugas, semakin tampak di kalangan dalang populer. Bagi dalang yang terlalu laris, sehingga tidak sempat dan/atau kurang mampu menyusun kiat sendiri di salah satu bidang teknik pakêliran, dapat memesan kepada pihak lain yang dianggap lebih produktif dan/atau kreatif untuk mebuatkannya. Berkait dengan hal tersebut, sekarang muncul profesi baru, seperti penyusunan naskah lakon, desainer wayang baru, pembuat narasi serta cakapan wayang, dan komponis gêndhing. Dalang pemesan memberi imbalan finansial yang pantas terhadap para kreator di berbagai bidang itu.

Pemesanan garapan di bidang teknik pakêliran semacam ini belum lazim di masa-masa lampau, apalagi bagi almarhum Nartasabda. Salah satu kemungkinannya adalah, di masa lampau para dalang masih belum banyak menghadapi ragam tantangan seperti sekarang. Kemungkinan lainnya adalah, dalang di masa lampau masih lebih setia kepada pakêm atau tradisi pakêliran yang dianggap baku. Dengan demikian sewaktu melaksanakan pertunjukan wayang, para dalang cukup menggunakan dan/atau memilih perbendaharaan garap (vokabuler) yang telah ada dan tersedia dalam konvensi pakêliran mereka.

Agar kualitas pakêliran-nya tetap terjaga, Manteb Soedharsono menunjuk pengamat khusus untuk mencatat adanya kejanggalan dan akhirnya menyampaikan kritik serta saran perbaikan, terutama sewaktu menyajikan lakon garapan baru. Pengamat juga diminta untuk memberikan evaluasi di bidang non-teknis pakêliran, seperti kualitas sound-system, perangkat tata cahaya, serta penataan pentasnya. Pengamat khusus ini oleh Manteb Soedharsono juga diberi imbalan atau honorarium. Sepanjang pengamatan peneliti, pertunjukan pengamat khusus seperti yang dilakukan Manteb Soedharsono ini, belum pernah dilakukan dalang lain; meski tanpa itu pun, mereka akan selalu menerima kritik dan saran dari para penggemar atau pecintanya.

Dalam menggarap lakon baru dan/atau untuk keperluan pementasan khusus, Manteb Soedharsono sering melakukan latihan-latihan persiapan lengkap dengan selluruh kerabat kerjanya. Persiapan pentas dengan cara latihan lengkap dan berkali-kali dalam menggarap lakon baru demikian, juga belum banyak dilakukan dalang lain. Alasannya adalah, jarak tempat tinggal para pêngrawitdan pêsindhèn saling berjauhan serta tidak semua dalang memiliki fasilitas pakêliran selengkap Manteb Soedharsono. Selain itu, ada beberapa dalang yang merasa lebih rendah tingkat kesenimannya bila masih memerlukan latihan-latihan. Mareka ini memiliki prinsip: dhalang mongsâ kurangâ lakon (dalang tidak akan kekurangan cara dalam menggarap cerita).

Dari seluruh informasi terakhir ini, tidak mengherankan apabila pakêliran Manteb Soedharsono-yang bentuknya banyak ditiru oleh para dalang muda-para pengamat menilai lebih perfect serta menarik, paling tidak bila dilihat dari bentuk fisualnya. Agaknya, pakêliran “gaya” Manteb Soedharsono inilah yang memenuhi empat syarat Kayam sebagai tuntutan seni kemas; gimmicks, tricks, glamour, dan sex-appeal.

Arah profesionalisme dalam pengelolaan pertunjukan wayang sekarang ini dapat dilihat pada Anom Suroto, adanya pertunjukan seorang petugas khusus yang menangani kegiatan, khususnya yang bergayut dengan masalah keuangan. Dalang lain, yang berkaitan dengan keuangan selalu ditangani sendiri oleh dalang dan istrinya. Petugas khusus yang ditunjuk Anom Suroto ini diberi wewenang untuk mengelola file-file serta pembagian honorarium kepada seluruh kru dalang.

F. PENUTUP

Bentuk pakêliran wayang kulit purwa dalam perkembangannya sekarang telah cenderung menuju ke bentuk seni pertunjukan yang lebih berorientasi ke selera penonton-seperti yang diakui para dalang dan diungkap pada hampir setiap pementasannya-mengundang pernilaian dan/atau kritik dari berbagai kalangan.

Orientasi dalang yang terlalu berkiblat pada selera penonton demikian oleh para pengamat wayang dan dalang senior sering dianggap membahayakan terhadap eksistensi seni pedalangan, yang sebenarnya situasi demikian ini juga terjadi pula dalam seni pertunjukan tradisional pada umumnya. Kekhawatiran terhadap situasi dan per­kembangan seni tradisional yang cenderung lebih mengarah ke bentuk hiburan komersial berakibat kurang memperhatikan segi-segi lain yang lebih mendalam, dapat dicermati pada hasil pengamatan Tim STSI Surakarta bahwa: “Rupanya komersialisasi inilah yang menjadi sumber penyebab mencairnya sifat-sifat utama seni tradisi. Orientasi garapannya lebih diarahkan untuk payu. Komitmen terhadap isi atau nilai-nilai kehidupan rohani yang bermakna mulai dikesampingkan.”[77]

Tanda-tanda ini juga dilaporkan Bakdi Soemanto dalam penelitiannya berjudul “Pergeseran Makna Sakral dalam Pertunjukan Wayang Kulit,” menyebutkan bahwa aspek pertunjukan wayang yang digemari generasi muda, yaitu: permainan sabêtan atau gerak wayang yang hebat, lelucon pornografik, dan sindiran terhadap situasi yang aktual di masyarakat.[78]

Berkaitan dengan hal ini Anderson mengatakan bahwa tumbuhnya golongan elite pseudo-tradisional baru di Jakarta, meluasnya urbanisme komersial, dan munculnya nasionalisme sebagai satu-satunya standar yang dominan untuk menilai aspek-aspek seseorang, semuanya secara pasti, meskipun lambat akan merusak toleransi lama menurut aturan-aturan struktural.[79] Dengan cara-cara yang berbeda, pengaruh nasionalisme dan peradaban Barat menjadi semakin nyata. Tanda-tanda yang menunjukkan ke arah ini menurut Anderson, dua di antaranya adalah:

i) A growing trend to percieve in wayang a simple conflict between Good ang Evil, with a resulting impoverishment of its aesthetic and moral comflexity. The political parties have accelerated this trend Boyolali their attempts to explisit wayang for propaganda purposes. “We” become the Pendawa, “they” the Kurawa-with obvious consequenses in terms of crudenses and simplificetion. ii) The reduction of wayang’s elaborate formal structure into a series of bettle-seeners linked Boyolali banal jokes and sentimental boudoir interludes.[80]

i) Timbulnya kecenderungan untuk memahami wayang hanya secara sederhana, adanya perselisihan antara yang baik dan jahat, dengan semakin mengabaikan nilai-nilai estetis dan moralnya yang kompleks itu. Partai-partai politik telah mempercepat kecenderungan ini melalui percobaan mereka untuk menggunakan wayang sebagai alat propaganda. “Kita” adalah Pandawa, sedang “mereka” adalah Kurawa-dan sebagai konsekuensinya adalah timbulnya kekasaran dan penyederhanaan. ii) Berkurangnya ketelitian struktur formal wayang menjadi seretetan adegan-adegan perang yang dihubungkan dengan lelucon-lelucon kasar dan selingan-selingan sentimentil tentang perilaku wanita.

Keberhasilan Nartasabada¾yang tidak pernah peduli terhadap segala macam bentuk kritik¾dalam meraih popularitas meluas melalui garapan pakêliran-nya kemudian menimbulkan semangat para dalang yang lebih muda untuk mengikuti. Cara-cara Nartasabda yang lebih profan, glamour, spektakuler, dan menghibur, sekarang dilanjutkan para dalang penerusnya semakin terbuka, lajunya semakin cepat, dan berani.

Ungkapan-ungkapan simbolik¾melalui bahasa, gerak, suara, dan bentuk garis serta warna¾semakin jarang terdapat dalam pakêliran sekarang; diganti dengan bentuk-bentuk yang lebih sederhana, lugas, realistis, dan mudah ditangkap oleh indera non kesenian sekalipun. Dari kenyataan ini, kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah bahwa pakêliran yang sudah bukan lagi sebagai salah satu pusat acuan kehidupan rohani bagi orang Jawa sekarang, meskipun kadang-kadang sebagian sisanya masih tersirat; itu pun hanya tertangkap oleh sekelompok orang yang terbatas. Nilai moral hanya tertangkap secara verbal oleh sebagian besar dalang populer.

Bentuk pakêliran para dalang populer, sebagian besar lebih dipusatkan pada kepentingan khalayak umum, yang memiliki citarasa, kecenderungan, serta selera meng­hibur secara langsung, tanpa harus melalui proses perenungan lebih dahulu. Degnan demiakian, berbagai aspek ungkapannya-ceritera, catur, sabêt, dan iringan-pasti akan mengarah ke bentuk yang lebih menghibur, tidak mendalam.

Akhirnya, penulis sependapat dengan Kuntowijoyo yang melihat suatu perubahan dalam budaya masyarakat sekarang, khususnya yang berkaitan dengan selera massa, dinyatakan bahwa:

Selera publik sering menjadi penyebab dekadensi, vulgarisasi, dan pencemaran budaya. Memang selera publik sering menyebabkan formalisme menjadi luntur, seperti lunturnya pakem pedalangan oleh munculnya lakon baru. Barangkali deformalisasi merupakan gejala yang lumrah pada waktu dualisme budaya dihapuskan. Sebuah kebijaksanaan kebudayaan ialah menjaga agar deformalisasi itu justru menjadi dasar bagi tumbuhnya krestivitas baru, dan bukan menuju kepada anarkisme.[81]

Pakeliran sajian dalang populer sekarang, lebih mengarah ke bentuk seni kitch yang spektakuler, glamour, dan meriah. Dalang yang dipandang lebih berbobot semakin jarang tampil di kalangan masyarakat luas. Debat tentang: mutu dan payu sering muncul dalam berbagai pertemuan para dalang di Surakarta dan sekitarnya-sekitar 1990 s.d. 1992-meskipun mereka sepakat bahwa keduanya perlu serta harus diwujudkan secara seimbang, pada kenyataannya condong mengarah pada pilihan terakhir; hasil yang disepakati telah mereka ingkari sendiri.

Semoga bermanfaat bagi semua pihak yang berminat melakukan kajian terhadap perkembangan pertunjukan wayang di masa-masa mendatang.



[1] . A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, Gramedia, Jakarta, 1983, h. 9.

[2] . Pengertian pakem dapat berarti semua bentuk panduan teknik pakeliran, baik secara tertulis maupun lisan. Masalah pakem telah banyak dibicarakan orang, tetapi belum memuaskan. Salah satu diantaranya tulisan Alan Feinstein (ed), “Pendahuluan,” Lakon Carangan Jilid I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, 1986, h. Xviii-xxxiii.

[3]. A. Seno Sastroamidjojo, Nonton Pertunjukan Wajang Kulit.” Pertjetakan Republik Indonesia, Djogjakarta, 1958, h. 54-55.

[4] . Sartono Kartodirdjo, et.al., 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Gadjah mada University Press, Yogyakarta, h. 71-72.

[5] . Sri Mulyono. Wayang, Asal Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Gunung Agung, Jakarta 1978, h. 264. Masalah pakeliran padat secara rinci telah ditulis Sudarko dalam “Pakeliran Padat, Pembentukan dan Penyebarannya.” Tesis S-2, dalam Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994.

[6] . Bambang Murtiyoso, 1988. “Kebebasan Estetis dan Keterikatannya pada Pakem Pedalangan,” makalah disampaikan pada Sarasehan Panakawan dan Yayasan Panunggalan Javanologi Surakarta, di Monumen Pers Nasional, tanggal 12 Oktober 1988.

[7]. Victoria M. Clara van Groenendael. Dalang di Balik Wayang. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 172.

[8]. Bambang Murtiyoso dalam “Lakon Carangan Satkeman,” makalah disajikan pada Sarasehan Pedalangan 1984, ASKI Surakarta, 25-27 Juni 1984, h. 7.

[9]. Bambang Murtiyoso dalam “Pengembangan dan Pelestarian Pertunjukan Wayang dalam Masa Transisi,” artikel pada Peringatan Eka Warsa Panakawan Surakarta, tanggal 1 Februari 1989.

[10]. Kedaulatan Rakyat, tanggal 8 April 1988.

[11]. Sumanto. “Nartasabdo Kehadirannya dalam Dunia Pedalangan; Sebuah Biografi.” Tesis S-2 pada Fakultas Pasca sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h. 147.

[12]. Dalam dunia sastra, struktur lakon terdiri atas unsur: tema, amanat, alur, setting, penokohan, dan sebagainya dalam Boen S. Oemarjati, 1971. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. H. 61-68.

[13]. Struktur lakon ini telah dibicarakan secara rinci oleh James R. Brandon dan Pandam Guritno dalam On Thrones of Gold, Three Javanese Shadow Plays. University of Hawaii Press, Honolulu, 1993, h. 21-31.

[14]. Sama dengan cara pembagian yang lazim berlaku pada dunia karawitan Jawa, khususnya Yogyakarta dan Surakarta.

[15]. Bandingkan dengan bangunan lakon yang telah dirinci van Groenendael, bagian pathet disebutnya dengan babak; sehingga pakeliran semalam dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: babak pertama, babak kedua, dan babak ketiga (h. 326-327).

[16]. Yang dimaksud adegan dalam konteks pakeliran tradisi keraton Surakarta adalah penampilan wayang yang diiringi gending dengan pola/bentuk khusus (ketawang, ladrang, kethuk loro, dan kethuk papat) bukan: lancaran, ayak-ayakan, srepegan, dan sampak.

[17]. Pengertian jejer atau adegan dalam dunia pakeliran¾tradisi Surakarta¾tidak ada kejelasan perbedaannya, hanya adegan pembukaan atau pertama kali saja yang lazim disebut dengan jejer.

[18]. Bambang Murtiyoso, 1982/1983. Pengetahuan Pedalangan. Sub Bag Proyek ASKI Surakarta, Proyek Pengembangan IKI. h. 28-29.

[19]. Wawancara dengan Manteb Soedharsono, tanggal 9 Mei 1992.

[20]. Wawancara dengan Manteb Soedharsono, tanggal 9 Mei 1992.

[21]. Wawancara dengan Anom Suroto, tanggal 6 Maret 1994.

[22]. Di kalangan dalang disebut sanggit.

[23]. Bambang Murtiyoso dan Suratno, “Studi tentang Repertoar Lakon yang Beredar Lima Tahun Terakhir di Daerah Surakarta.” Laporan penelitian pada Yayasan Masyarakat Musikologi Indonesia, 1992, h. 127-128.

[24]. Penggabungan beberapa lakon ini dipelopori Nartasabda. Nartasabda menggabungkan berbagai repertoar lakon, dimulai dari lahirnya seorang tokph utama, masa-masa kejayaannya, dan diakhiri pada masa kematiannya. Penggabungan beberapa repertoar lakon seperti Nartasabda ini disebut lakon banjaran.

[25]. Berdasarkan pakeliran tradisi Surakarta, terutama keraton, adegan gara-gara hanya ditampilkan pada lakon dan/atau kondisi tertentu; alur lakon terlalu pendek, atau tokoh utamanya menghadapi masalah besar tetapi dapat diselesaikannya sendiri, misalnya dalam repertoar lakon Parasara Krama, dan Mintaraga atau Begawan Ciptaning.

[26]. Wawancara dengan Naryocarito, tanggal 10 November 1994, menuturkan bahwa ada ayah seorang penanggap wayang meninggal (sekitar 1942) setelah malam harinya Harjusuganda menyajikan lakon Duryudana Gugur, atas permintaan almarhum.

[27]. Victoria M. Clara van Groenendael, op. Cit., h. 165.

[28]. Bentuk modifikasi atau pengembangan alur cerita wayang lazim disebut sanggit lakon.

[29]. Di kalangan pedalangan digolongkan sebagai jenis (genre) lakon lebet.

[30]. Lihat contoh sajian ginem Manteb Soedharsono pada subbab Sajian Catur.

[31]. Umar Kayam, “Wayang, ke Manakah Kau?, Sebuah Catatan Spekulatif Sesudah Pekan Wayang,” Seni, Tradisi, Masyarakat, Sinar Harapan, Jakarta, 1981, h. 135.

[32]. ibid.

[33]. Anom Suroto, rekaman pentas yang disiarkan Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Kabupaten Karanganyar, tanggal 8 Januari 1993.

[34]. Dalam tradisi pakeliran, wacana yang boleh dibaca hanya saat menyampaikan mantram pada acara ruwatan saja.

[35]. Wawancara dengan Manteb Soedharsono dan Blacius Subono, tanggal 16 Desember 1994.

[36]. R.M. Ng. Nojowirongko alias Atmojendono. Serat Tuntunan Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi. Tjabang Bagian Bahasa, Djawatan Kebudjajaan, Departemen P. P. Dan K., Djogjakarta, 1960, h. 6

[37]. Sastroamidjojo, op. Cit. H. 13.

[38]. R. M. Ng. Nojowirongko al. Atmotjendono. Op. Cit., h. 70.

[39]. Anom Suroto dalam sajian repertoar lakon Wahyu Senapati dan Manteb Soedharsono dalam Sang Kumabayana.

[40]. R. M. Ng. Nojowirongko al. Atmotjendono. Op. Cit., h. 20-21. Penulisan ejaan disesuaikan dengan EYD dan konvensi yang berlaku dalam bahasa Jawa.

[41]. Almarhum Nartasabda yang terkenal sebagai pelopor dalam pengembangan pakeliran sebagai seni kemas masih menggunakan wacana panduan pocapan gara-gara.

[42]. Anom Suroto, dalam sajian lakon Wahyu Senopati di Desa Mranggen, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, tanggal 16 April 1994.

[43]. Wwawancara dengan T. R. Suryoseputra, tanggal 20 Januari 1995.

[44]. Manteb Soedharsono, dalam sajian Lakon Durna Gugur, di Gedung Ppi Bandung, tanggal 19 Agustus 1994.

[45]. Penyimping adalah salah satu kerabat kerja dalang yang bertugas pokok membantu menyiapkan dan mengatur wayang yang akan dan telah dipakai dalang; biasanya duduk di belakang dalang sewaktu sedang di pentas.

[46]. S. Padmosoekotjo. Sarining Basa Jawa, Balai Pustaka, Djakarta 1955, h. 168. Penulis tidak menemukan keterangan makna nama-nama zaman itu.

[47]. Penyimpangan isi dari pokok pembicaraan di kalangan pedalangan tradisi Surakarta lazim disebut dengan metu saka kelir.

[48]. Anom Suroto dalam sajian repertoar Wahtu Senapati, pentas di Desa Mranggen, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, tanggal 6 April 1994.

[49]. Anom Suroto dalam repertoar lakon Wahyu Senapati, disajikan di Desa Mranggen, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, tanggal 16 April 1994. Secara sengaja, beberpa kata dan kalimat penulis hilangkan.

[50]. Manteb Soedharsono dalam repertoar lakon Dewa Amral, disajikan di gedung MPR/DPR RI Jakarta, tanggal 16 Juli 1994.

[51]. Manteb Soedharsono juga pernah melakukan dialog dengan Kirun dalam adegan Gara-gara pada saat pentas di Gedung Grahadi Surabaya, tanggal 27 November 1994. Dialog antara dalang dengan pelawak semacam ini juga sering penulis jumpai pada sajian pakeliran para dalang populer yang lain.

[52]. Ginem Pétruk ini penulis tangkap sebagai satu bentuk sindiran terhadap Manteb Soedharsono, yang pernah diekspose wartawan di beberapa media cetak perihal kekayaannya.

[53]. Anom Suroto, dalam repertoar lakkon Wisanggeni Lahir, disajikan di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Jawa Timur, Jln. Jagir Sidoresmo V, Surabaya, tanggal 29 Desember 1994.

[54] . Wawancara dengan Anom Suroto, tanggal 21 Mei 1991.

[55] . Wawancara dengan Anom Suroto, tanggal 1 Juni 1993.

[56]. Bakdi Soemanto. “Wayang Kulit: Lampah Dalang dan Jagat Kelir,” Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Balai Penelitian Bahasa, Yogyakarta, 1988, h. 311.

[57]. Lomba Dalang Gaya Surakarta 1993 diselenggarakan Yayasan Daniwara tanggal 11¾15 November 1993 (diikuti 16 peserta) dan Festival Dalang Wayang Kulit Purwa Jawa Timur setahun sekali diselenggarakan Kantor Dinas P dan K Daerah Jawa Timur (rata-rata diikuti 26 peserta).

[58]. Soedarso SP, “Mimesis, Hubungan antara Seni dan Bentuk di Alam,” dalam Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakara, 1990, h. 28.

[59]. Gaya permainan Sudarman Gandadarsana sangat berpengaruh pada para dalang di Sragen dan sekitarnya, kemudian dinamakan pakeliran Sragènan.

[60]. Prie GS, “Dalang Setan dari Sekiteran,” Suara Merdeka, tanggal 30 Juni 1990. Pernyataan ini dibenarkan Manteb Soedharsono saat wawancara tanggal 20 Agustus 1990.

[61]. Sumaryono, “Profesi Dalang dalam Masalah Pulung dan Bakat,” Citra Yogya No. 886/Th. IV/1988, h. 89.

[62]. Wawancara dengan Manteb Soedharsono, tanggal 4 November 1992.

[63]. Soetarno Priyomarsono, “Konsep Pedalangan Manteb Soedharsono, Pakeliran itu Gerak,” pada Buletin ASKI. No. 42/TH. XIII/1988, h. 4.

[64]. Berita Yudha, tanggal 10 Maret 1988.

[65]. Sesepuh pewayangan dan mantan Menteri Penerangan RI.

[66]. Bakdi Soemanto, “Seni Pedalangan, Wayang, Perubahan Sosial,” Wiled, Jurnal Seni Th. I (Juli 1994), h. 27.

[67]. Repertoar sulukan ini semakin berkurang jumlahnya, kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kuat dari pakeliran tradisi Surakarta, lewat para dalang yang mengikuti pengajran dan/atau pelatihan dalang di berbagai lembaga yang didirikan oleh pihak keraton; misalnya Padasuka dan PDMN.

[68]. Hampir semua peserta Lomba Pedalangan Gaya Surakarta di Surabaya tanggal 11 s.d. 15 November 1992 dan Festival Dalang Jawa Timur di Surabaya setahun sekali telah terpengaruh gaya permainan sulukan Anom Suroto.

[69] . R. M. Ng. Nojowirongko al. Atmotjendono, op. Cit, h. 31.

[70] . Wawancara dengan Manteb Soedharsono, tanggal 23 Juli 1994.

[71]. Nojowirongko, op. Cit, h. 33¾44.

[72]. Balungan gendhing Jawa ada lazimnya memiliki pola ajeg, setiap 1 nada balungan mempunyai harga 1 ketukan

[73]. Pola gendhing tradisi Suralarta digolongkan menjadi: ayak-ayakan, srepegan, sampak, ketawang, lamcarang, ladrang, ketawang gendhing kethuk loro, gendhing kethuk loro, grndhing kethuk papat, dan gendhing kethuk wolu.

[74]. Lazim disebut dengan gêndhing dolanan; artinya tidak seriius, dan dipilih repertoar yang sedang populer di masyarakat Jawa.

[75] . Wawancara dengan Manteb Soedharsono, tanggal 12 Agustus 1990.

[76]. Kutowijoyo, Budaya dan Masyarakat, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987, h. 32.

[77]. Tim STSI Surakarta, “Konsep Pengembangan dan Strategi Pembinaan Kehidupan Seni Tradisi,” makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peranan Perguruan Tinggi Seni dalam Penanganan Seni Tradisi Sebagai Unsur Budaya Nasional Indonesia, tanggal 8-9 Juli 1991, h. 5.

[78]. Bakdi Soemanto. “Pergeseran Makna Sakral Pertunjukan Wayang Kulit.” Laporan Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1988, h. 53.

[79]. Benedict R.O’G. Anderson. Mythology and The Tolerence of The Javanese. Monograph Series, Cornell University, Ithaca, New York, 1965, h. 21.

[80]. Ibid., h. 27.

[81] . Kuntowijoyo, op.cit., h. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar