SITUASI
JAGAT PEDALANGAN SEKARANG
&
Pengembangannya ke Masa Depan*
Oleh Bambang Murtiyoso (ISI Surakarta)
I. Pengantar
Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan, seperti saat sekarang ini, sudah sangat tepat dijadikan sarana silaturahmi bagi para seniman se Jawa Timur. Marilah kita bersama-sama merenung, ikhtikab, atau kotemplasi terhadap situasi jagat kita, seni pertunjukan tradisional, khususnya seni pedalangan atau pakeliran. Apa saja yang menjadi andil para seniman¾dalang, pesinden, dan pengrawit¾ terhadap bangsa dan negara kita? Jangan-jangan segala masalah yang timbul dan dihadapi bangsa ini berawal dari polah tingkah para dalang beserta kerabat kerjanya.
Apabila kita mengamati kondisi pakeliran kita dari masa ke masa jelas menunjukkan bukti historis bahwa setiap zaman selalu mengalami perubahan. Artinya, pada masa tertentu selalu lahir jenius lokal yang secara kreatif telah melakukan inovasi (pembaharuan). Justru karena usaha inovasi yang terus-menrus dan kesinambungan itu menyebabkan pakeliran kita tetap selalu survive, kehidupannya di masyarakat selalu menonjol atau menyolok, apabila dibandingkan dengan bentuk dan/atau nasib seni pertunjukan tradisional yang lain; seperti sandiwara, wayang orang, ketoprak, dan ludruk serta wujud-wujud teater tradisional yang sekarang tinggal sisa-sisa kabarnya saja.
Dapat dipastikan, dan telah diketahui oleh umum, bahwa setiap zaman dan setiap tempat, manusia senantiasa memiliki cita rasa, keinginan, kebutuhan, kecenderungan, serta nilai-nilai yang berbeda-beda. Oleh sebab itulah, maka dalam pengungkapan ke dalam bentuk seni, termasuk seni pedalangan, akan selalu berbeda wujudnya. Pakeliran yang dianggap baik di waktu lampau belum tentu masih dinilai baik pada masa sekarang; contoh yang jelas adalah pakeliran Ki Panut Darmoko (di masa 20-an tahun lalu) banyak orang mengatakan baik; sekarang mungkin orang mengatakan jelek. Demikian pula sebaliknya, yang di masa lampau dianggap jelek, sekarang malah dianggap yang terbaik; contoh pakeliran Ki Nartasabda yang di masa lalu sering dihujat habis-habisan, sekarang ini komunitas atau masyarakat Surakarta banyak mencari dan memburu kaset rekamannya. Contoh lain adalah, orang yang akrab dengan pakeliran gaya jawatimuran, tidak ada yang mengatakan bahwa pakeliran Ki Leman jelek, tetapi masyarakat Yogyakarta dan Surakarta langka ada yang menyenanginya.
Dari bukti itu, sementara dapat dikatakan bahwa bobot sebuah karya seni itu sangat bergantung pada pernilaian masyarakat yang hidup di tempat serta waktu tertentu. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada suatu ekspresi seni yang memiliki nilai universal. Kalau ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa suatu karya seni memiliki nilai estetis secara universal hanyalah terbatas pada wacana semata, tidak ada dalam kenyataan empiri, artinya belum pernah terjadi.
Pakeliran, dan bahkan ekspresi seni lazimnya dipengaruhi oleh dua hal; yaitu konsep dasar dan konsep teknik. Konsep dasar merupakan roh, semangat, atau jiwa yang mengikat pada wujudnya; sedangkan konsep teknis merupakan bentuk pelaksanaan dari konsep dasarnya yang berupa kelaziman-kelaziman (konvensi atau tradisi) yang berlaku pada suatu komunitas. Sebagai bahan sarasehan pembicaraan selanjutnya akan lebih dipusatkan pada masalah pakeliran padat.
II. Potret Pedalangan Sekarang
Dua puluh tahun lampau, setelah Pekan Wayang Indonesia di Jakarta usai, Umar Kayam mengatakan bahwa seni pertunjukan wayang mesti berubah, karena zaman¾mau tidak mau¾selalu menghendaki perubahan (1981). Mimpilah orang yang bersikukuh pedalangan harus dipertahankan keasliannya, keklasikannya. Jikalau ada upaya pelestarian, yang berarti mempertahankan bentuk pakeliran yang asli, adalah kerja sia-sia semata, nonsen. Akibat dari silang budaya, arus komunikasi, dan perkembangan teknologi baru yang secara simultan telah menggeser pemahaman masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk pemahaman kita terhadap nilai-nilai yang telah mapan.
Seni pertunjukan wayang, pakeliran, memiliki empat aspek nilai, yaitu devosional, etika, estetika, dan hiburan (Kartodirjo 1990: 7). Keempat aspek itu apabila diungkapkan dalang secara seimbang, tidak bot sih, akan melahirkan sebuah tontonan yang menarik, dan tentu saja tidak membosankan penonton. Apabila keseimbangan ini digeser, meskipun kenyataan memang sudah bergeser, akan mempengaruhi pada batas-batas formal yang ada dalam pertunjukan wayang, meliputi batas gaya dan batas panggung.
Pakeliran, yang disajikan para dalang sekarang, teknis maupun non teknis, sudah tidak jelas lagi batas-batasnya. Pakem dalang sudah diaduk-aduk mereka sendiri. Bukan tabu lagi apabila dalang Sala, yang dipelopori Ki Nartasabda, selalu menampilkan adegan gara-gara, seperti juga penggunaan berbagai repertoar cerita, sulukan, gending, dan bahkan boneka wayangnya, dari berbagai daerah lain. Percampuran gaya seperti ini, sekarang, telah terjadi lebih gencar dan intens.
Batas panggung pun mengalami pergeseran yang luar biasa. Di masa lalu, dalang sebagai manager pertunjukan selalu menjadi pusat perhatian, sekarang sering tergusur kedudukannya disebabkan oleh adanya dialog interaktif antara dalang dengan penonton; sehingga sudah tidak jelas batas antara panggung wayang dengan penonton, termasuk tokoh masyarakat dan/atau pejabat birokrat. Batas antara panggung wayang dan panggung seni pertunjukan lain pun menjadi kabur pula, akibat hadirnya para bintang tamu, yang khusus diundang maupun tidak. Kehadiran para pelawak, penyanyi, penari, dan pesulap, termasuk penggunaan ansambel musik lengkap non gamelan¾ke dalam pakeliran¾merupakan pertanda semakin tidak jelasnya batas antara panggung wayang dan panggung seni pertunjukan yang lain.
Para dalang sekarang sering mengalami kebingungan dalam menghadapi perubahan yang dilakukan oleh rekan seprofesinya, yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dalam menghadapi pergeseran-pergeseran itu ada yang segera tanggap ada pula yang melihat “arah angin” terlebih dahulu, ada pula yang berjuang bertahan pada pakemnya, sampai “titik darah penghabisan.” Irama dan tingkat kecanggihan dalang dalam menanggapi “arah angin” tersebut tentu saja membawa berbagai konsekuensi; menjadi lesu darah, vitalitas meningkat, menjadi garang, atau tetep “adem-ayem.”
Pada kesempatan ini dirasa masih perlu dicermati potret jagat wayang kita sekarang. Dalam berbagai kesempatan, sering saya sampaikan, secara sederhana, adanya empat kelompok wajah pertunjukan wayang kita, yang meliputi: (1) wayang lesu darah, (2) wayang penuh vitalitas, (3) wayang garang, dan (4) wayang kemasan. Masing-masing memiliki postur dan roh yang berbeda.
Wayang lesu darah, adalah kelompok yang sangat kukuh dalam mempertahankan pakem, jelas orientasinya pada masa lampau, konservatif. Pakem tidak disiasati secara kreatif, bentuk lahir menjadi ukuran pokok pada golongan wayang lesu darah ini. Pertunjukannya langka atau jarang diselenggarakan dan lazimnya bersifat local; tersebar di berbagai kalangan masyarakat pedesaan, agraris, atau tradisional.
Wayang-wayang lesu darah ini diantaranya wayang klitik, wayang golèk ménak (Kudus), wayang kancil, wayang topèng (Malang), topèng dalang (Klaten), wayang bèbèr, wayang banyumasan, cèk-dong atau dak-dok (di wilayah Gerbang Kertasusila dan Malang, Jawa Timur), wayang banjar, wayang tambun, dan wayang golèk cepak (Cirebon). Ada juga bentuk pakeliran yang tinggal terdengar namanya saja, seperti: wayang gedog, wayang madya, dan wayang kancil. Pernah ada upaya untuk membuat wayang baru dengan misi khusus, seperti wayang wahyu (agama Katholik), wayang warta (agama Kristen), wayang sadat (agama Islam), dan wayang suluh, wayang perjuangan, atau wayang Pancasila (pemerintah), yang semua nasibnya sangat mengenaskan; mati belum hidup pun tidak. Tergolong pada kelompok wayang lesu darah adalah wayang wong panggung; yang pada dasawarsa limapuluhan mengalami kejayaan, sekarang nasibnya sangat mengenaskan sebab format dan ukurannya sudah terlalu kedalu warsa. Berbagai upaya inovasi dan renovasi dari para kreator, hanya muncul pada saat festival, yang ditentang habis-habisan oleh para seniman wayang wong sendiri, dianggap “merusak” karena sifat konservatifnya. Akhir-akhir ini telah “timbul” wayang wong “dagelan” di layar kaca yang pasti semakin menenggelamkan tobong wayang wong panggung. Apa pun wujudnya, wayang lesu darah ini, sebagai kekayaan budaya bangsa, perlu mendapatkan sentuhan semangat dari berbagai pihak, “infus.”
Wayang penuh vitalitas, tetapi kesepian. Adanya ketidakpuasan, akibat dari kejenuhan kreativitas di sementara komunitas wayang telah melahirkan pemikir untuk mengadakan gebrakan baru demi masa depan pakeliran. Dengan vitalitas tinggi, para kreator ini ingin memberi wajah dan sekaligus roh baru pada pertunjukan wayang, berbagai konsep seni pertunjukan diramu untuknya. Lahirlah, di STSI Surakarta, garapan “pakeliran padat,” pakeliran layar lebar dengan bahasa Indonesia SANDOSA, dan pakeliran layar panjang.
Sukasman, rupawan, mencoba memformat wayang baru yang kemudian disebut dengan “wayang ukur” dengan modifikasi pertunjukan yang berbeda dengan sebelumnya. Slamet Gundono, alumnus STSI Surakarta, berbekal pengalaman berteater telah menggebrak dengan “wayang-suket”-nya. Sayang, vitalitas yang demikian tinggi, golongan wayang ini telah kesepian; yang mengenal hanya komunitas kecil, terbatas.
Wayang Garang tetapi gersang. Pada konsep dasarnya, pakeliran dengan format layar ganda, Ir. Sujadi¾sebagai bidan, pengasuh, dan sekaligus pendidiknya¾ melalui otoritasnya telah melahirkan sebuah garapan baru, yang terkenal dengan “wayang pantap.” Pada perjalanannya kemudian, pakeliran pantap telah mengalami “distorsi konsep” dan salah kedadèn karena “over dosis,” yang berpengaruh kuat terhadap wajah pertunjukan wayang dalang-dalang muda sekarang.
Wayang, oleh sementara dalang dan pendukungnya, sering dipandang sebagai barang komoditas. Pandangan ini merubah sikap para dalang pada umumnya, yang semula pakeliran dianggap sebagai sesuatu yang “adi luhung,” sekarang harus merubah orientasinya ke pasar, sehingga aspek hiburan harus lebih ditonjolkan. Dengan garang golongan wayang ini mendominasi hampir seluruh strata masyarakat penggemar wayang, khususnya anak muda di beberapa kota besar, terutama Semarang dan masyarakat pantura Jawa Tengah, dampaknya merambah ke daerah pedalaman. Demi selera pasar, berakibat seakan-akan dalang menghalalkan segala cara.
Bentuk pentas yang spektakuler dengan diikuti dialog interaktif yang pornografik, serta diiringi musik-musik non gamelan yang “sensual” telah mampu menghangatkan jidat para pemabok alkohol, yang lama-kelamaan semakin memanas dan membakar. Tawur masal sering tidak dapat dihindari akibat picu yang dipercikkan dari pentas wayang garang ini, siapa yang bertanggung jawab?
Situasi gonjang-ganjing penonton yang tidak terkendali ini telah menyadarkan beberapa dalang Sala, ternyata penonton wayang bukanlah pecinta wayang yang sebenarnya. Mereka itu sebagian besar adalah penggemar campur sari atau band, bahkan pecandu dang-dut. Buktinya, setelah musik campursari, band, atau dangdut selesai, bubarlah penonton; pakeliran terpaksa hanya ditonton kerabat kerja dalang sendiri yang telah kehabisan energi.
Wayang Kemasan yang Piawai. Bagi dalang yang arif dan luwes dalam membaca “arah angin,” dengan sigapnya mengemas pakeliran secara piawai. Aspek devosional, etika, estetika, dan hiburan telah dijalinnya dalam satu bentuk kemasan pakeliran secara seimbang. Mereka ini, telah berbekal budaya wayang tradisional cukup kuat, dalam menyikapi pakem dan kebutuhan pasar. Sesekali dalang kelompok ini perlu melirik golongan wayang yang penuh vitalitas, kadang-kadang juga menyimak wayang-wayang yang garang. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila mereka dapat duduk di puncak singgasana ketenarannya. “Arah angin” yang meniupnya sering menyeret, dan dapat berubah-rubah, dalang kelompok ini menjadi lebih garang atau mengarah menjadi lesu darah; tergantung keteguhan hati dalang.
Dalam mengamati pakeliran sekarang sangat jarang diperoleh sesuatu yang mengarah pada pencerahan batin, kebugaran rohani, atau kesegaran jiwa; sebab dalang yang masih konsisten menyampaikan hal-hal demikian tadi sudah jarang ditanggap orang, alias tidak laku. Kiranya pamtas disimak sebuah pernyataan Ki Enthus Susmono yang mengatakan: “yèn dalang muda Solo ora ‘mèlu’ aku, bakal mati sandang pangané” (Jaya Baya No. 42, 17 Juni 2001). Dalang yang setia pada moral sering dianggap sudah kedaluwarsa, kuna, konservatif, dan sejenisnya. Pertanyaannya adalah, siapa yang memulai lebih dulu, masyarakatkah? Dalangkah? Apa “dalang” yang berada di balik dalang? Atau semuanya?
III. Pakeliran Padat Salah Satu Jawaban
Latar belakang atau motivasi munculnya gagasan pakeliran padat adalah disebabkan oleh kenyataan adanya perkembangan pakeliran yang tidak sehat dalam hal kreativitas dan ekspresinya pada awal dekade 1960-an. Sedikitnya ada dua alasan utama yang mendorong kelahiran pakeliran padat, pertama, terjadinya kemandegan kreativitas dan kedua, karena adanya arah perkembangan pakeliran yang tidak sehat di masa lalu, bahkan hingga sekarang.
Alasan pertama. Sekitar tahun 1960-an kreativitas di jagat pakeliran dapat dikatakan nyaris mandeg, beku. Hal ini disebabkan oleh pandangan sebagian besar dalang yang keliru dalam menyikapi pakem pedalangan. Pakem pedalangan tidak sekedar dianggap sebagai pedoman teknis pakeliran, tetapi lebih disikapi sebagai satu instrumen, perangkat, atau sarana untuk menentukan bobot sebuah wujud pakeliran. Sehingga, apabila ada sebuah pergelaran wayang yang berbeda dengan pedoman teknik pakeliran yang dipahami oleh seseorang dianggap jelek, salah, dan bertentangan dengan kaidah. Pakem pedalangan telah dianggap sejajar dengan undang-undang, yang tidak boleh dirubah apalagi dilanggar sekecil apa pun.
Akibat dari sikap yang keliru ini berpengaruh meluas terhadap hampir semua pertunjukan wayang; terjadilah sentralisasi gaya teknik di mana-mana. Apabila ada dalang yang penampilannya berbeda dengan pakem yang dipahami seseorang kemudian pertunjukannya divonis sebagai dalang perusak pakem. Padahal kenyataannya atau sebenarnya sebuah pakem pedalangan hanya berlaku pada kurun waktu terbatas dan tempat tertentu saja. Lazimnya yang dimaksud dengan pakem adalah berupa pedoman teknik pertunjukan wayang yang berkait dengan silsilah wayang, garis besar lakon, serta pedoman teknik pakeliran semalam yang meliputi: tata urutan adegan, dodogan, keprakan, sulukan, gending, kebahasaan, bentuk wayang dan sabetnya.
Berbagai hal yang berkait dengan pakem pedalangan itu, seperti yang disampaikan di alenia sebelum ini, perwujudannya dapat dipastikan selalu berbeda untuk setiap tempat dan waktu. Jelasnya, sekali lagi¾pakem pedalangan yang mana pun¾tidak dapat dipakai untuk mengukur kulitas atau bobot pertunjukan wayang di mana pun dan kapan saja. Sehingga, apalagi sekarang, sudah bukan waktunya lagi kita berdebat hanya membicarakan tentang masalah kebenaran pakem yang kita anut dan pahami. Sekarang setelah semakin intens atau intimnya hubungan serta pergaulan antardalang dan juga antardaerah percampuran gaya itu sudah tidak menjadi masalah lagi.
Alasan kedua. Berbicara tentang pakeliran hampir dapat dipastikan selalu menyangkut pada kepentingan berbagai pihak atau orang banyak. Ironisnya juga bahwa dunia pedalangan sudah menjadi milik publik; sehingga, hampir semua orang merasa telah mengerti, memahami, dan memilikinya. Sikap semacam ini tidak pernah terjadi pada profesi bidang lain; hukum, kedokteran, dan teknologi misalnya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila banyak pihak¾meskipun bukan bidang profesinya dan tidak benar-benar memahami¾turut mengatur, ikut mengembangkan, terlibat, bahkan menentukan proses kreatif dalam menggarap pakeliran. Sebenarnya tidak masalah jika niatnya itu didasari oleh konsep atau pikiran yang positif, celakanya, sebagian besar malah naluri yang tidak kreatif, bahkan cenderung didasari oleh selera ‘rendah.’ Kecenderungan apresiasi rendah ini lazimnya hanya mementingkan hiburan, gobyog, meriah, asal ramai, dan lebih menekankan hal-hal yang bersifat ringan-ringan saja. Kalau hendak menyampaikan misi-misi tertentu tidak dilakukan secara kreatif, simbolis, medang miring dan/atau nyampar pikolèh, tetapi hanya dibawakan secara vulgar, melok, mlaha, atau verbalistik.
Selanjutnya, setelah memahami kedua alasan yang melatarbelakanginya, marilah kita memusatkan perhatian pada konsep pakeliran padat sebagai sarana penyegaran kembali bagi pengembangan kehidupan seni pertunjukan wayang. Pakeliran padat dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ‘koreksi’ terhadap perkembangan dunia pakeliran atau pertunjukan wayang pada dekade 50-an, seperti kedua alasan utama yang disampaikan di bagian depan bab ini. Sekarang para dalang memang sudah tidak lagi memasalahkan pakem pedalangan, semenjak Ki Nartasabda mengemas pakelirannya serta diikuti oleh Ki Manteb Soedharsono.
Bentuk koreksi ini dirasa masih relevan di saat sekarang dan masa-masa mendatang, sebab kondisi dunia pakeliran masih dalam keadaan yang ‘rawan.’ Sebenarnya, situasi dunia pakeliran kini sangat menggembirakan tetapi lebih bersifat semu. Dikatakan menggembirakan sebab di hampir di setiap tempat dan waktu telah terselenggara pertunjukan wayang, baik secara langsung maupun melalui rekaman dan siaran atau tayangan dalam berbagai media elektronik. Selain itu, kemahiran rata-rata para dalang dan kerabat kerjanya, terutama yang muda-muda, di bidang penguasaan teknik sekarang ini sangat luar biasa.
Secara phisik keadaan jagat pakeliran juga mengalami perkembangan sangat menonjol. Hal ini dapat dilihat pada penambahan jumlah dan pembesaran ukuran instrumen gamelan, pemanjangan ukuran kelir, pembesaran ukuran wayang, dan sebagainya. Berkaitan dengan ini Umar Kayam menyebutnya sebagai “Kelir Tanpa Batas,” dalam sebuah laporan penelitiannya yang terakhir. Sayang hal ini perkembangan phisik yang sedemikian kuat belum ditangani secara optimal dan baik. Kelebihan-kelebihan dalam bentuk phisik ini belum mampu memberikan kontribusi terhadap perluasan wawasan masyarakat terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Agaknya, kemahiran teknik dan kelengkapan perabot pakeliran lebih dipahami sebagai satu tujuan dan bukan seledar sarana, sekedar alat. Jadi perkembangan pakeliran yang pesat sekarang ini lebih bersifat semu.
Dikatakan semu, sebab pakeliran yang kita saksikan sekarang itu hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat lahiriah dalam wujud hiburan, gobyog, meriah, asal ramai, dan lebih menekankan hal-hal yang bersifat ringan-ringan saja. Segala macam hiburan telah dimasukkan ke dalam pertunjukan wayang sekarang, bagaikan keranjang sampah (menyarikan ungkapan Rahayu Supanggah pada saat temu pakar pewayangan Sena Wangi di Jakarta, tahun 1999).
Konsep dasar pakeliran padat adalah menggarap pertunjukan wayang secara seimbang (klop, tidak saling berlebihan, dan tidak bot sih), antara isi dan bentuk (wadah). Isi pakeliran terdiri atas ethika (moral atau budi pekerti) dan devosional (peribadatan); sedangkan wadah berupa estetika dan hiburan. Dengan wacana lain, isi pakeliran itu adalah tuntunan sedang yang dimaksud bentuk (wadah) adalah tontonannya yang harus diungkapkan secara seimbang. Wadah hanya merupakan bumbu, yang berfungsi sebagai penguat, penyedap, atau pengikat indrawi semata; sedangkan isi merupakan sari pati yang diungkap dalam pakeliran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pakeliran padat itu lebih memusatkan pada garapan isi dengan wujud garapan yang mentes atau wos.
Perlu diingat bahwa bentuk pakeliran padat (PP) sangat berbeda dengan bentuk pakeliran ringkas (PR); sebab yang pertama (PP) tidak berorientasi pada singkatnya waktu seperti dalam pakeliran yang kedua (PR). PP lebih berorientasi pada padatnya garapan, serba perfect, aspek-aspek yang disajikan hanya yang benar-benar relevan dan wos atau mentes saja; sehingga segala hal yang dipandang berkepanjangan apalagi menyimpang dari alur lakon harus dikurangi, dipotong, dihindari, bahkan jika perlu dibuang. Artinya juga, pertunjukan dengan durasi waktu yang singkat (pendek) belum tentu dapat dikatakan padat jika bentuknya masih terlalu besar dibanding dengan isi yang telah disampaikan.
Kehadiran media televisi[1] dan VCD semestinya dapat disikapi sebagai tantangan bagi para dalang, sekaligus sebagai sarana untuk mempromosikan kebolehan diri. Pakeliran padat salah satu bentuk pakeliran baru yang paling mungkin untuk memanfaatkan jasa televisi dan vcd, apabila dibanding dengan bentuk yang lain, semalam dan ringkas. Dengan durasi yang pendek hakekat cerita dan pertunjukan wayang akan terwadahinya. Berbagai lomba dan/atau festival pedalangan, baik tingkat lokal maupun nasional, sekarang ini jelas tidak mungkin menampilkan pakeliran bentuk semalam. Melalui garapan pakeliran padat para kreator (dalang, penyusun naskah, penyusun gending, dan lainnya) terdorong untuk bekerja lebih canggih dan kreatif dalam mengungkapkan sanggit-sanggitnya. Hal ini sangat dimungkinkan, sebab pakeliran padat tidak terikat oleh pakem pedalangan yang mana pun, serta orientasi garapannya lebih ditekankan pada kemantapan hasil, rasa; dan bukan teknik.
IV. Penutup
Apabila di masa Orde Baru, pedalangan dipandang sebagai “dalangan” yang dapat disampiri segala macam, apa saja, sehingga garisnya tidak jelas antara jurpen dan dalang. Pedalangan masa kini, menurut Rahayu Supanggah, diibaratkan seperti keranjang sampah. Artinya, segala macam dapat dimasukkan ke dalamnya; yang kotor ataupun yang bersih. Namanya saja keranjang sampah, tentu banyak yang kotor dibanding dengan yang bersih, kalau perumpamaan Rahayu Supanggah itu benar tentu saja.
Apabila di masa lampau, pakeliran seperti api (nggeni), semakin akhir semakin memukau. Pakeliran sekarang seperti obor blarak, di bagian awal hingar bingar, menjilat-jilat, gegap gempita, meriah, menggelager; setelah energi dalang dan pendukungnya dikuras habis pada adegan gara-gara, pada bagian akhir telah lemas lunglai tak berdaya ditinggal penonton. Apakah ini yang dimaksud dengan trend pedalangan masa kini?
Harapannya adalah, tentu saja situasi yang sangat memprihatinkan ini tidak berlangsung terlalu lama. Sebab, saya juga sangat kawatir, seperti di masa-masa lalu, jagat pakeliran sering memberikan isyarat langsung akan kejadian yang muncul kemudian. Bukankah masyarakat menjadi anarkhis seperti sekarang ini telah diisyaratkan oleh para dalang? Barangkali kita yang tidak tanggap saja.
Saya kelewat takut apabila trend pedalangan masa kini adalah identik dengan kesemrawutan, tawur masal, pembakaran-pembakaran, debat irasional, pembantaian, caci maki, pembunuhan keji, pelampiasan dendam, humor pornografik, pemerkosaan hak, dan bentuk-bentuk kegilaan anargis serta pelanggaran hukum yang lain.
Idealnya, jagat wayang dikembangkan menjadi sebuah taman bunga, yang tumbuh berbagai jenis kembang, biar para pengunjung memilih sesuai dengan selera masing-masing. Sebagai pecinta bunga, disarankan kembang yang ditanam bunga yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Apabila terpaksa menanam bunga beracun sekalipun, tentu harus dipilih yang dapat dijadikan obat, bukan sembarang kembang yang akan dapat menghancurkan kehidupan manusia.
Surakarta, akhir November 2001
DAFTAR PUSTAKA
Becker, A. L. 1979. “Text Building, Epistemologi, an Aesthetics in Javanese Shadow Theatre,” in A. L. Becker and Aram A.Yengiyan (eds). The Imagination and Reality: Essey on Southeast AsianConference System. Norwood New Jersey: Ablex.
Brandon, James R. 1974. Theatre in Southeast Asia. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Feinstein, Alan H., dkk, (ed.) 1986. Lakon Carangan Jilid I. Proyek Dokumentasi Lakon Carangan ASKI Surakarta.
Franz Magnis-Suseno, 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kats, J., 1923. Het Javaansche Tooneel: I. Wajang Poerwa. Weltervreden: Comisse voor Volkaslectuur.
Keeler, W., 1987. Javanese Shadow Play. Javanese Selves. New Jersey: Prisceton University Press.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Anthropologi I. Jakarta: UI Press.
______________ 1990. Sejarah Teori Anthropologi II. Jakarta: UI Press.
Kusumadilaga, K.P.A.. 1983. Serat Sastramiruda. Alih bahasa Sudibyo Hadisucipto dan alih tulis Kamajaya. Proyek Penerbitan Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta.
Murtiyoso, B., 1995. “Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang,” 1995 tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.
_____________ 1998. “Bayang-bayang di Balik Dalang,” pidato Dies Natalis XXXIV STSI Surakarta tanggal 14 Juli 1998.
Murtiyoso, B., dan Suratno. 1991. “Studi tentang Repertoar Lakon Wayang yang Beredar Lima Tahun Terakhir di Daerah Surakarta,” laporan penelitian pada Masyarakat Musikologi Indonesia.
Murtiyoso, B., (dkk) 1998. “Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang,” laporan penelitian, kerjasama antara Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dengan Sekretariat Nasional Pewyagan Indonesia (SENA WANGI).
Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatiknya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soedarsono, R. M. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. MSPI.
Soetarno. 1988. “Unsur-unsur Estetis dalam Pedalangan Wayang Kulit Jawa Tengah,” laporan penelitian pada ASKI Surakarta dan The Ford Foundation.
Sumanto, Bakdi. 1994. “Seni Pedalangan, Wayang, Perubahan Sosial,” dalam Jurnal Seni Wiled. Th. I (Juli 1994).
Sumanto, dkk., 1993. “Janturan dan Pocapan Gaya Surakarta, sebuah Tinjauan Tekstual.” laporan penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
Umar Kayam, 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media untuk Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM dengan bantuan The Toyota Foundation.
van Groenendael, Victoria M. Clara. 1987. Dalang di Balik Wayang. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
* Makalah disajikan pada SARASEHAN SENIMAN SE JAWA TIMUR di Batu, Malang, tanggal 3 dan 4 Desember 2001.
[1] Sebentar lagi (tahun 2002) akan hadir empat buah stasiun televisi baru yang beroprasi secara nasional, sangat mungkin mengharapkan kehadiran wayang kulit yang bebeda dengan yang biasa ditayangkan Indosiar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar