Minggu, 02 Agustus 2009

KEBEBASAN DAN KETERIKATAN ESTETIS

DALAM PAKEM PEDALANGAN[1]

Oleh Bambang Murtiyoso

I. PENDAHULUAN

Berbicara tentang kesenian¾termasuk dunia pedalangan dan/atau pakelir­an¾sangat berbeda dengan bidang ilmu di bidang kesenian sulit untuk meng­hindari subyektivitas pribadi pembicaranya; seperti nani akan terjadi dalam makalah ini, sekalipun selalu diusahakan untuk mengatakan secara obyektif. Masalahnya karena sangat kental melekat pada “rasa.” Seperti halnya mem­bicarakan rasa masakan, maka selalu timbul pernilaian masing-masing pribadi yang terlibat dalam pembicaraan; ada yang mengatakan ter­lalu asin, ada yang menyebut cukupan, tetapi mungkin ada yang mengata­kan anyep (kurang asin).

Lebih-lebih lagi berbicara tentang kesenian sering tidak tuntas bahkan semakin rancu, karena banyak pihak sering mencampuri, seperti yang dipesankan Direktur ASKI Surakarta kepadapara wisudawannya tahun 1988, demikian:

. . . tugas itu berat karena bidang kita (kesenian) itu banyak diminati masyarakat untuk ikut campur tangan. Lain dengan bidang ke­dokteran atau kimia, orang di luar bidang seni tradisi: Semua orang merasa memiliki, merasa mengerti dan tentu banyak me­nyampaikan pendapat dalam pengelolaan pe­ngembang­an kesenian. Dalam hal ini lalu lintas konsep pe­ngembangan kesenian sangat simpang siur bila dibanding dengan bidang-bidang yang masyarakat takut ikut campur (Hastanto 1988:33)

Hal yang demikian itu sangat terasa dalam dunia pedalangan, karena banyak faktor tergarap dalam dunia pakeliran: bahasa/ sastra, karawitan, kesenirupa­an, filsafat (pandangan hidup), adat istiadat, etika, dan masih banyak lagi. Ke­rancuan juga sering timbul karena pedalangan sering dirumuskan sebagai bentuk tuntunan dan tontonan.

Yang menganggap pakeliran itu sebagai tuntunan, biasanya pa­keliran diletakkan kepada kerangka kehidupan bermasyarakat, tekan­an­nya pada segi manfaatdan/atau guna dalam kehidupan berbudaya; dari masalah-masalah yang paling ringan sampai ke hal yang berat. Sedang yang menganggap pakeliran itu sebagai tontonan, pakeliran diletakkan pasda kerangka estetika atau kesenian sebagai hiburan(dari hiburan yang paling dngkal atau ringan sampai pada hiburan yang dalam atau berat).

Sekitar tahun 1958 Saya pernah mendalang semalam suntuk dengan sajian Kresna Duta. Pada waktu itu Saya sampai­kan tampilkan adegan pertama tokoh Kresna dan Setyaki duduk di atas kereta di alun-alun Wirata. Keesokan harinya, Saya dimarahi karena dianggap me­langgar pakem oleh guru saya. Menurut guru Saya, setiap per­tunjukan wayang harus dimulai dengan adegan atau jejer kerajaan (keraton).

Dalang populer dari Kartasura¾almarhum Ki Nyatacarita¾pada masa jayanya oleh kalangan tertentu dikelompokkan dalang yang kurang patuh pada pakem. Ki Nayatacarita ini sering melakukan perubahan-perubahan teknis untuk mengemas pakelirannya, seperti halnya gebrakan-gebrakan yang dilakukan almarhum Ki Nartasabda, misalnya: merubah garap gending, mencampur repertoar sulukan/gending gaya lain, me­nyelipkan dialog kocak di tempat-tempat tertentu yang serius, dan se­bagainya; maka Ki Nartasabda juga dianggap dalang yang paling banyak merusak pakem.

Ki Harjunadi (Nganjuk) dan Ki Manteb Soedharsono (Karanganyar) juga sering dituding sebagai dalang yang suka merusak pakem. Keduanya membuat banyak terobosan di bidang sabet dan iringan pakeliran (sabet-sabet akrobatik dan memaukkan ricikan non gamelan). Satu bentuk eksperiman pembaruan dalam pakeliran yang dilakukan oleh ASKI Surakarta¾pakeliran padat dan pakeliran berbahasa Indonesia¾juga sering mendapat cap perusak pakem.

Dari banyak pengalaman di bidang pedalangan dan/atau pakeliran selama ini, menimbulkan beberpa pertanyaan pada diri Saya bergayut dengan masalah pakem. Pertanyaan itu diantaranya ialah: (1) apa sebenar­nya yang dimaksudkan dengan pakem? (2) bagaimana wujud pakem? (3) apa fungsi pakem dalam pa­keliran? (4) apakah ada satu wujud pakem yang berlaku umum, untuk setiap waktu dan tempat? dan (5) sejauh mana se­orang dalang diper­boleh­kan me­ninggal­kan pakem? Mudah-mudahan makalah ini akan dapat menjawab semua masalah yang diajukan itu; walaupun mungkin tidak sangat memuaskan.

II. PENGERTIAN PAKEM

Istilah pakem secara harfiah dapat diketahui dalam banyak kamus, misal­nya: “paugeran” (Winter Sr. 928:332); “surat, pedoman, cerita asli” (Prawiro­atmodjo n.d.:461). Elinor Clark Horne dalam Javanese-English Dictionary menyebutkan bahwa pakem adalah:

An original story on which other are based. Bratajuda karo Rama­jana kanggo pakem pedalangan. Shadow-play stories are derived from the Bratajuda and Ramajana epics. Pakem balungan story in skeletal form. Pakem pedalangan story in script form showing dialogues, narration, and music for shadow-play. Pakem gantjaran an scenario form (Horne 1974:420).

Kalau mencari definisi pakem yang banyak beredar di kalangan orang tua, mungkin seperti pendapat A. Seno Sastroamidjojo dalam Nonton Wajang-Kulit, yang mengatakan bahwa:

. . . “pakem,” yaitu sebuah kitab (catatan atau daftar) dalam mana tercantum sebagai peraturan mengenai bentuk dan jalannja ceritera pada suatu pertunjukan wayang kulit, boneka-boneka yang harus dipakai, lagu-lagu gamelan yang menghantarkan, dan lain-lain. Peraturan ini lama dimuka pertunjukan itu telah ditetapkan oleh para ahli. Peraturan ini dasarnya tidak boleh dirubah sewenang-wenang, harus berlaku sebagai pedoman (Sastroamidjojo 1958:54¾55).

Perlu diketahui untuk lingkungan dalang yang ada di luar keraton juga mempunyai pakem yang diakui dalam kalangan tertentu sebagai pedoman dalam mendalang. Pakem di kalangan dalang ini banyak yang hanya didasarkan pada tradisi lisan, dari generasi ke generasi. Pakem tertulis ini tidak hanya menyangkut masalah ceritera tetapi juga dalam hal tehnis pe­nyajian pakeliran.

Dari kutipan dan keterangan di atas sementara dapat di­simpulkan bahwa pakem itu adalah suatu pedoman yang digunakan di lingkungan dalang, yang berupa tehnis penyajian dan/atau ceritera, baik tertulis maupun lisan.

Kalau pakem itu merupakan suatu pedoman di bidang ceritera, meng­acu arti yang dibuat Horne, maka dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) pakem gancaran, (2) pakem balungan, dan (3) pakem pedalangan. Tetapi, dalam pem­bicaraan tertentu ketiganya sering disebut pakem pe­dalang­an. Masing-masing dibicarakan secara agak rinci seperti di bawah ini

(1) Pakem gancaran, yaitu sebuah pedoman di bidang cerita garis besar mirip dengan bentuk “roman” dalam karya susastra; penceritaannya disampaikan secara bersambung, dari satu eisode ke episode yang berikutnya secara berurutan, belum ada pengaturan pembabakan yang jelas. Yang masih meragkan adalah apakah bila penceritaan ini ditulis dalam bentuk tembang dapat dikatakan pakem gancaran?[2] Yang dimaksud di sini misalnya: Serat Rama, Serat Lokapala, Serat Bratayuda, dan sebagainya yang masih dalam bentuk tembang.

Pakem gancaran ini dapat dilihat diantaranya pada:

a. Serat Pustaka Raja Purwa, karya Ranggawarsita;

b. Serat Arjuna Sasrabahu atau Serat Lokapala, karya Yasadipura;

c. Kalawarti Serat Mahabharata yang diterbitkan Pakempalan Theosofie Surakarta:

d. Mahabharata Kawedar, gubahan Resi Wahana; dan

e. Pakem Ramayana susunan Ki Slamet Soetarso.

(2) pakem balungan, agak berbeda dengan pakem gancaran, pakem balungan ini sudah disusun secara berurutan adegan per-adegan, dari awal (jejer) sampai pada usai pertunjukan (tanceb kayon) pada setip episode lakon. Jadi pedoman ini sudah dikelompokkan dalam lakon-lakon tertentu. Pakem balungan ada yang dilengkapi dengan pe­tunjuk tentangrepertoar sulukan dan gending yang diterapkan pada setiap adegan. Pakem balungan juga ada yang dilengkapi dengan dialog-dialog pokok pada setiap adegan.

Wujud pakem balungan dapat disimak di antaranya pada:

a. Serat Pedalangan Ringgit Purwa yang disusun Mangkunagara VII;

b. Serat Pedalangan Ringgit Purwa susunan Atmacendana alias Naya­wirangka;

c. Balungan Ringgit Purwa (ngewrat 20 lampahan) dihimpun Ki Wirya­atmaja;

d. Pakem Lampahan Ringgit Purwa Warni-warni disusun Ki Siswa­harsaya;

e. Balungan Ringgit Purwa mawi Busananing Dhalang, Gendhing, Pratel­an Gendhing/Sulukan, dihimpun Marwata Panenggak Widada;

f. Serat Bharata Yudha, disusun Ki Slamet Soetarso.

g. Balungan Ringgit Purwa mawi Bantah Kawruh, Ki Marwata Pa­nenggak Widada;

h. Serat Pakem Pedalangan (Balungan Lampahan) Ringgit Purwa, oleh Kodirun.

Pakem balungan seperti yang dicontohkan di atas tersebar luas me­lalui berbagai penerbitan dan terjual di toko-toko buku. Perlu diketahui juga bahwa di kalangan dalang mempunyai pakem balungan yang disusun untuk kalangan terbatas berupa naskah tangan. Pakem untuk lingkungan terbatas demikian, yang terkenal di kalangan dalang Klaten, misalnya “Pakem Ngasin­an” dan “Pakem Tegalamba.” Ngasinan dan Tegalamba merupakan pe­tunjuk tempat tinggal penulis pakem, sebab pakem tidak resmi demikian itu lazimnya anonim.

(3) Pakem Pedalangan, pakem yang satu ini sudah tidak berupa ceritera garis besar, tetapi sudah sangat rinci dalam garapan satu lakon lengkap; yang memuat cakapan (dialog) lengkap dan narasi (janturan dan/ atau pocapan) pada setiap babak serta adegan. Kecuali itu, dalam pakem pedalangan ini ada juga yang memuat petunjuk “caking pakeliran” atau sabet wayang secara detail. Bahkan ada yang dilengkapi dengan kawruh (pengetahuan) dasar tentang pakeliran; meliputi wanda, mantram-mantram, cara memegang cempurit (tangkai) wayang, dan lain-lain.

Wujud pakem pedalangan yang dimaksud dapat dicermati pada be­berapa dokumen antara lain pada buku-buku di bawah ini.

1. Serat Sastramiruda, susunan KPA Kusumadilaga;

2. Jaladara Rabi, susunan Ki Reditanaya;

3. Serat Tuntunan Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi, dihimpun M. Ng. Nayawirangka;

4. Serat Tuntunan Andhalang Djangkep Sinau Tanpa Guru Lampahan ‘Parta Krama’ utawi Dhaupipun Dewi Bratadjaya Angsal Raden Arjuna, digubah R. Ng. S. Prabaharjana; dan

5. Pakem Padhalangan Lampahan Makutharama dan Wahyu Purba­sejati, dianggit Ki Siswaharsaya.

Apabila ketiga hal tersebut selalu berkaitan dengan cerita wayang¾ pakem balungan, pakem gancaran, dan pakem pedalangan¾disebut dengan pakem, bagaimana dengan buku-buku pengetahuan (kawruh) dasar pa­kelir­an, tanpa berkait langsung dengan masalah lakon, dapat disebut dengan pakem? Pertanyaan ini muncul, sebab dalam pem­bicaraan sehari-hari selalu menyebut pakem apabila sesuatu hal berkaitan dengan kebiasaan, terutama, masalah-masalah teknis pakeliran. Beberapa tulisan berkaitan dengan dunia pedalangan dan/atau pakeliran nonlakon antara lain adalah:

1. Bauwarna Kawruh Wayang, tulisan RM Sayid;

2. Teks Verklaring Sulukan, susunan Sutrisna;

3. Silsilah Wayang Purwa mawa Carita, karya Padmasukaca;

4. Nonton Wajang Kulit, karangan A. Seno-Sastroamidjojo; dan

5. sejumlah karangan tentang kawruh pe­dalangan yang dimuat di media massa berbahasa Jawa, seperti: Jayabaya, Panyebar Semangat, Mekar Sari, Parikesit, dan Kumandhang.

Akhir dari bagian ini, sementara dapat disimpulkan, bahwa pengertian semakin tidak jelas dan rancu, sebab segala hal yang berkaitan dengan teknis pertunjukan wayang selalu disebut dengan pakem. Hal ini semakin ber­tambah ruwet apabila ada sejumlah orang menyaksikan sebuah pertunjukan wayang yang berbeda dengan konvensi sebelumnya dikatakan telah me­langgar, paling tidak, disebut menyimpang dari pakem.

III. KEDUDUKAN PAKEM

Pakem sering disikapi sebagai peraturan yang tidak boleh dilanggar, seperti pernyataan A. Seno-Sastroamidjojo yang telah dikutip pada bagian awal tulisan ini. Dalam buku yang sama¾Nonton Wajang Kulit¾Sastro­amidjojo secara lebih tegas mengatakan: “Dengan perkataan lain merubah ‘sastra pinatok’ itu secara sewenang-wenang, sekalipun ke arah “per­baik­an” . . . berarti membuat kesalahan . . . (1958:136).

Kususumadilaga dalam Serat Sastramiruda[3] melampirkan satu teks lengkap dengan yang dikatakan: “iki ginawé babon lakon Parasara Rabi. Pada bagian pengantar dikatakan bahwa: “cariyos ugering pedalangan ing­kang sampun mupakat kanggé abdi dalang ing kadipatèn anom” (1930:1). Pernyataan ini memberikan pengertian bahwa pedoman lakon tersebut hanya berlaku di kalangan terbatas, kadipaten anom. Artinya, tidak harus diikuti oleh para dalang di luar kadipaten anom.

Ki Pujasumarta, dalang terkenal dari Klaten, angkatan pertama murid Padhasuka, berkaitan dengan pakem me­ngatakan bahwa: “pakem mono temené mung kanggo ancer-ancer para dalang sing lagi sinau mayang, yèn wis mayang temenan luguné kari gumantung marang kadéwasaning dalang. Sabab, lumrahé sing pada sinau mayang (di Padasuka) wis pada duwé sangu carané mayang, jalaran kabèh racak anak dalang sing wis payu mayang” (wawancara tanggal 12 Juni 1970). Perlu diketahui bahwa Pujasumarta sen­diri di kalangan dalang, di luar keraton, terkenal sebagai dalang yang sangat ketat mengikuti pakem Padasuka.

Ki Atmacendana alias Nayawirangka dalam pengantar bukunya, Serat Tuntunan Padalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi, mengatakan bahwa: “dene angsal kula seserapan saking para saged kulaklempakaken sarta kula laras kangge tuntunan pasinaon padalangan, . . . (1956:8). Demikian juga Ki Wignyasutarna dalam pengantar tulisannya, Diktat Pe­dhalangan Ringgit Purwa Watjutjal Lampahan Makutharama, mengatakan senada dengan pernyataan Atmacendana. Prabaharjana dalam Serat Tuntunan Andhalang Djangkep Sinau Tanpa Guru Lampahan ‘Parta Krama’ utawi Dhaupipun Dewi Bratadjaya Angsal Raden Arjuna mengatakan bahwa: “Panggubah kula lampahan Partakrama . . . kadamel langkung cekak nanging rehne ngengeti bilih punika serat tuntunan andhalang tumrap para ingkang nembe sinau pramila kaangkah jangkep, kenginga kangge tambah seserapan )Probohardjono 1966:3).

Mencermati sejumlah pendapat di atas, agaknya dapat disimpulkan bahwa kedudukan pakem lebih diperuntukkan bagi para dalang pemula atau calon dalang, sifatnya sebagai pedoman awal dan/atau ancar-ancar semata. Apabila pakem disikapi sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan secara ketat oleh dalang, mungkin terbatas pada lingkup tertentu, misalnya keraton.

Sampai dengan buku ini selesai ditulis belum pernah dijumpai seorang dalang yang menyajikan pertunjukan wayangnya secara ketat seperti pakem pe­dalang­an yang dipakai dan dianut; termasuk para dalang dan/atau guru dalang yang mengaku sebagai abdi dalem dalang keraton. Pendapat Sastro­amidjojo yang sangat tajam bahwa pakem tidak boleh dirubah dapat dikatakan “ngawur’ sebab tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam jagat pakeliran. Pernyataan tajam itu kiranya dapat dimaklumi sebab Adeg, Seno-Sastroamidjojo bukan dalang; barangkali informasi yang diterima ter­batas dari kalangan yang juga bukan dalang; kemungkinan juga tidak di­dasar­kan atas pengamatan yang jeli dan bersungguh-sungguh.

Pada masa kejayaannya, keraton memang memiliki wibawa dan/atau pengaruh yang besar, termasuk di bidang pedalangan; tetapi perlu diingat bahwa peredaran pakem keraton itu tidak merata dan meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Dalang-dalang di luar keraton lazimnya meniru kepada para dalang yang lebih populer dan/atau senior; biasanya telah memiliki cara ter­sendiri dalam melaksanakan pertunjukan wayangnya. Pada kenyataannya tidak semua dalang memiliki kegemaran membaca karena berbagai sebab. Dengan demikian banyak wujud pakeliran tidak sesuai, bahkan barangkali sama sekali berbeda, dengan pakem keraton.

Para dalang “tiru-tiru” itu selanjutnya, secara alami dan kreatif, dapat menyanggit sendiri pakelirannya dalam menghadapi segala permiantaan masyarakat yang selalu berubah. Sering terjadi para dalang “tiru-tiru” tadi lama-kelamaan menjadi dalang yang memiliki kepopuleran puncak di masyarakat luas. Ironisnya, yang terjadi sekarang, ada sejumlah dalang populer¾ yang nota bene sering dianggap perusak pakem¾diangkat men­jadi abdi dalem dalang di keraton, dengan diberi gelar kebangsawanan ter­tentu.


IV. PERBEDAAN-PERBEDAAN YANG TERJADI

Ketidakketatan para dalang dalam menyikapi pakem dapat diamati pada pelaksanaan pengajaran dalang di berbagai lembaga pendidikan pe­dalangan, meskipun mereka belajar pada guru yang sama. Pertentangan berkepanjangan sering terjadi hanya pada masalah-masalah tehnis kecil, yang sebenarnya secara kualitas tidak sangat berpengaruh; misalnya dalam hal pola dodogan dan/atau keprakan, pemilihan wayang, dan posisi cacakan wayang (pada cacakan atas atau bawah). Contoh lain adalah masalah kapan dalang mulai diperbolehkan membunyikan kepyak, keprak, kepyèk, atau kecrèk pertama kali dalam pakeliran? Paling tidak, di kalangan pedalangan gaya Surakarta, ada empat pendapat berkaitan dengan hal ini, yaitu pada:

a) Ada-ada Astakuwala Ageng setelah cakepan yang berbunyi “mung-jir” terakhior;

b) Ada-ada Girisa dalam jejer dan/atau adegan pasowanan njawi, bersamaan dengan pengucapan cakepan yang berbunyi: ya Kresna lakunira Parasurama;

c) saat memberi suasana yang tegang, greget, waktu gending srepegan dibunyikan, meskipun masih dalam jejer;

d) adegan yang mana saja¾termasuk di dalam jejer¾apabila sangat diperlukan.

Pendapat terakhir tersebut sesuai dengan keterangan Atmacendana dalam buku pakem pedalangan yang sering disebut, yang mengatakan bahwa:

Makaten malih panganggenipun kepyak salebeting jejer, sa­nadyan taksih salebeting jejer, manawi wonten perlunipun perlunipun kenging ngangge kepyak, kadosta: manawi wonten tamu sami ratu, mestinipun tangan kalih sami nyepeng ringgit, mangka gangsa seseg bade njantur, punika kenging ngangge kepyak, wosipun sadengah tindak ingkang bade keter, punika lajeng ngangge kepyak, sampun kenging kemawon (1956 I & II:46¾47).

Perbedaan juga terdapat dalam Serat Sastramirudha (Kusumadilaga) dan Jaladara Rabi (Reditanaya) yaitu pada awal teks janturan jejer. Per­beda­an itu dapat disimak dalam tabel berikut ini.

Serat Sastramirudha

Jaladara Rabi

Ing pundi ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka marang[4] sawiji, adi marang nga­luwih; dasa: sepuluh; purwa: kawitan. Sanajan kathah titahing dewa . . .

Syuh rep data pitana, anenggih wau kocapa nagari[5] ing pund, ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka sawiji, adi linuwih, dasa sapuluh, purwa kawitan. Sanajan kathah titahing dewa . . .

Menarik untuk dikaji selanjutnya, bagi yang berminat, agaknya sastra pinatok yang berbunyi syuh rep data pitana digunakan dalam janturan jejer baru dimulai semenjak zaman Reditanaya; meskipun rangkaian kosakata itu sudah ada semenjak Mpu Tanakung dalam Wrtasancaya, dalam bahasa Jawa Kuna, yang berbunyi: syuh rep nda ta tita hana.

Para mahasiswa ASKI Surakarta pernah dibingungkan atas pendapat para dosen luar biasa mereka, yang kesemuanya mengaku mantan murid dan/atau penganut pakem kasunanan, tentang praupan[6] Jembawatii. Pen­dapat yang pertama mengatakan bahwa Jembawati tergolong lanyap­an, sedang pen­dapat kedua sebaliknya, luruh. Dasar pemikiran pertama adalah karena Jembawati anak Trijata (lanyapan), sehingga berdasarkan gene tersebut tepat apabila Jembawati lanyapan. Pendapat kedua didasarkan atas konvensi yang berlaku dalam dunia pakeliran bahwa apabila raja berparas lanyap (Kresna) maka permaisuri (Jembawati) berdasarkan kelaziman pula berparas sebaliknya, luruh. Dengan demikian apabila raja dan permaisuri berdialog memudahkan dalang dalam menetapkan antawacana wayang.[7]

Perdebatan panjang pernah terjadi hanya alasan kecil, udanagara (kepantas­an), menyangkut cacakan wayang di gedebog[8] (pohon pisang). Contoh populer adalah tancapan saat Sembadra ber­sama para permaisuri Dwara­wati menghadap Kresna. Satu pihak mengatakan bahwa Sembadra harus ditancapkan di gedebog atas, sebab secara geneologis mereka se­jajar, bahkan lebih tua, apabila dibanding dengan ketiga permaisuri Dwarawati yang dicacakkan di gedebog atas. Pihak lain mengatakan sebalik­nya, gedebog bawah, sebab saat adegan itu (kedatonan) termasuk adegan resmi kenegaraan, status Sembadra di luar strata resmi.

Banyak masalah teknis menarik dalam studi tentang pakem, meskipun dalam gaya dan/atau komunitas yang sama. Syair atau cakepan yang berbunyi: “nembang tengara mundur” dan seterusnya pada pakem Jaladara Rabi (Reditanaya) diterapkan pada suluk patet nem (nama repertoar tidak disebut­kan) dan untuk menyertai kedatangan tamu dalam jejer (babak unjal). Pada pakem-pakem yang lain khusus diterapkan pada suluk patet Lindur sebagai pengiring mundurnya para prajurit setelah prang gagal serta isyarat per­alihan babak, dari bagian patet nem ke bagian patet sanga.

Permasalahan dapat direntang ke masalah udanagara, kepantasan, etiket, atau kesantunan; yang sering dipakai untuk mengukur baik dan buruknya sebuah pakeliran yang disajikan dalang. Sejumlah contoh kutipan dari buku pakem resmi keraton di bawah ini dapat dijadikan bahan diskusi.

Pertama, kutipan pocapan gara-gara pada Serat Sastramiruda yang berbunyi:

. . . mila rama saputra sami nami lurah, teka wonten jajare ora, mila gentos amarentah, anglurahi badane priyongga. Dangu Ki Lurah Semar tumurun saking ngarga, boya madha yen bendarane: manther cahyane, mancur senene, bagus warnane. Wangsul wulucumbu kawulane, wandane kaya gudel njerum, kang manther uyuhe, mancur dubure . . . (Kamajaya 1981:218).

Kecuali susunan pocapan seperti kutipan di atas tidak dijumpai dalam pakem yang lain, penggunaan kosakata uyuh dan dubur pantas dipertanyakan: apakah hal ini dapat diterima sebagai pedoman bagi para dalang keraton?

Kedua, kutipan teks dialog Kresna, sedang berbicara dengan anaknya (Samba) pada lakon Irawan Rabi (Naya­wirangka) tertulis: “Uwis ta, tak jaluk colokna matamu, yen atimu merem, mung kowe kang werit (1960 II & IV:37). Pantaskah sebagai seorang raja Kresna berkata colokna matamu?

Dalam berbagai maszab dan/ atau gaya pedalangan Jawa juga sering kita jumpai perbedaan-perbedaan pedoman tentang sesuatu, misalnya:

1. kecondongan kayon, di Kasunanan untuk bagian pathet nem condong (doyong) ke kanan; sedangkan di Mangkunegaran ke kiri, sebaliknya dalam pathet manyura di Kasunanan condong ke kiri di Mangku­negaran condong ke kanan;

2. antawacana raja dalam jejer, di Kasunanan ditetapkan dengan nada atau laras gamelan 6 (nem tengah) tetapi di Mangkunegaran harus nada 2 (gulu tengah);

3. penggunaan sulukan Jingking di Mangkunegaran ditetapkan bagi ksatria bokongan, di Kasunanan ksatria jangkahan, sebaliknya sendon Bimanyu atau Elayana di Mangkunegaran diterapkan untuk ksatri jangkahan di Kasunanan untuk bokongan[9]

4. di kalangan keraton Gathutkaca wanda guntur, di lingkungan dalang Klaten disebut wanda tatit, sebaliknya wanda tatit di Keraton oleh dalang Klaten disebut guntur;

5. Bima di Surakarta biasanya diceritakan berputera dua (Antareja atau Antasena dan Gathutkaca), di Yogyakarta puteranya tiga orang, yaitu: Antareja, Antasena, dan Gathutkaca.

Contoh-contoh seperti yang disampaikan di atas dapat diper­panjang dan banyak sekali, sampai hal-hal yang kecil. Seperti misalnya Kresna bertolak pinggang atau “malangkerik” di Yogyakarta; dan hal ini dirasa janggal bagi orang Surakarta.

Contoh-contoh yang dipaparkan tadi serta pengamatan yang sangat banyak terhadap sajian pakeliran, kita dapat merumuskan kesimpulan bahwa: tidak ada satupun bentuk pakem yang berlaku di sepanjang masa-- walaupun dalam daerah maszab dan/ atau gaya yang sama; dan juga tidak ada satupun bentuk pakem yang diakui oleh seluruh dalang atau seluruh maszab dan/ atau gaya pedalangan yang ada.

V. PELANGGARAN RAMBU-RAMBU PEDALANGAN

Sadar ataaupun tidak, ternyata banyak dalang yang tidak patuh ter­hadap pakem, sebagai rambu-rambu pedalangan. Saya mungkin tergolong aliran yang tidak menutup kemungkinan pelanggaran pakem-pakem itu. Sejajar dengan itu Saya pernah menyampaikan pendapat pada suatu Sarasehan Dalang 1984 di ASKI Surakarta demikian:

Awit pakem makaten ugi kathah sanget, gumantung jaman, kewontenan sarta saben kalangan (dhalang) anggadhahi pakem piyambak-piyambak. Kita mboten saged lajeng gampil mastani dhalang A salah sanggite, salah pakeme, salah lakone, . . . Awit manut pamanggih kula, saben dhalang anggadhahi panutan piyambak (Murtiyoso 1984:5).

Selanjutnya, berkaitan dengan mutu pergelaran wayang atau sajian pakelir­an, Saya berpendapat demikian:

Gesanging pakeliran punika boten awit saking lampahan, nanging gumatung dhateng moncering sanggit sarta boboting dhalang. Manawi dhalangipun sugih sanggit, cakap kasaged­an­ipun¾sabet, swanten, trampil ing samukawisipun sarta tanggap kawontenan jaman, lebet jiwanipun—kula pitados badhe bregas pakeliranipun (Murtiyoso 1984:7).

Pelanggaran terhadap pakem yang demikian ada yang memang di­sengaja, terutama para dalang yang kreatif, dengan terpaksa harus banyak mendalang di masyarakat. Dalang-dalng “laris” itu merasa wajib untuk selalu menyajikan pakeliran yang senantiasa segar agar dapat tetap mempunyai daya cekam terhadap penontonnya. Tetapi, ada pula dalang yang meng­ingkari pakem hanya didorong oleh satu kebutuhan demi selera penonton, sekalipun selera itu sangat dangkal. Ada pula dalang yang memang tidak pernah bersentuhan langsung dengan pakem manapun; padahal pakem sering dijadi­kan ukuran seseorang untuk menilai sebuah pertunjukan wayang.

Masalahnya sekarang adalah sejauh mana seorang dalang diperboleh­kan meninggalkan pakem? Sebab, Saya yakin sekalipun seorang dalang mempunyai kebebasan dalam menyanggit, sebagai upaya kemasan pakelir­an, pasti ada benang merah yang dapat digunakan sebagai kriteria dalam menetapkan penilaian. Berkaitan dengan hal ini, kiranya dapat diajukan beberapa pertanyaan sebagai bahan diskusi nantinya.

1. Bolehkah jejer dengan menampilkan tokoh bukan manusia (raksasa atau binatang)?

2. Apakah setiap jejer harus dimulai dengan adegan kerajaan?

3. Bolehkah menampilkan wayang-wayang baru seperti: pesawat terbang, sepeda/ motor, ambulans dan sebagainya?

4. Bagaimana dengan sanggit lakon yang jauh menyimpang dari ceritera yang sudah ada? Termasuk penciptaan lakon baru seperti: Gareng Tetak, Udawa Dodol TV, Aswatama Ketemu Penembak Misterius?

5. Bolehkah memasukkan ricikan non gamelan, sepeti: bas drum, klarinet, simbal, tambur, dan sebagainya? Bagaimana kalau bedug, rebana, atau selompret reog?

Pertanyaan di atas terutama Saya sampaikan kepada para ahli pedalangan dan para dalang sekarang. Sebab, kalau pertanyaan itu di­sampai­kan kepada para pakar di masa silam, jawabannya susah pasti tidak boleh. Masalahnya, siapakah orang-orang sekarang yang dapat dikategori­kan sebagai ahli pedalangan?

VI. PENUTUP

Secara pribadi, Saya sering berkata bahwa sekarang ini sudah bukan waktunya lagi untuk berdebat berkepanjangan dalam mencari kebenaran dari satu wujud pakem. Kesenian itu keberadaannya disebabkan adanya daya ungkap, daya kreativitas; dalam dunia pedalangan disebut dengan sanggit. Rasa-rasanya kurang layak bila kreativitas itu dibatasi oleh aturan-aturan. Pembatasan satu kreativitas tidak terletak pada aturan tehnis, tetapi terdapat pada kepedulian terhadap nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan/ atau bangsa sesuai dengan tanda-tanda zamannnya. Dengan demikian setiap ada perubahan suatu sistem nilai yang dianutnya, maka akan menimbulkan per­ubahan dari garapan suatu karya seni. Berkaitan dengan hal ini pakem yang utama yang perlu mendapat perhatian adalah moral, kemanusiaan,

Pakem sebaiknya tidak membatasi seketat-ketatnya sampai hal-hal yang kecil dan sangat tehnis serta tidak pokok. Sebab setiap usaha yang mengarah ke pembatasan akan dapat membelenggu kreativitas dalang. Kalau sampai kreativitas ini selalu dibelenggu, dapat diramalkan: pedalang­an akan mati.

Hormat selalu Saya sampaikan kepada setiap ada usaha pembaharuan lewat eksperimen-eksperimen yang serius di bidang pedalangan dan/ atau pakeliran. Saya mempunyai satu keyakinan bahwa pedalangan kita dapat hidup dalam masa yang sangat panjang disebabkan adanya penyesuaian pedalangan terhadap perkembangan zaman; juga melalui usaha pembaruan/ eksperimen atau yang semacamnya. Dukungan terhadap upaya pembaruan ini tidak berarti bagi semua pembaruan yang sekedar merubah tanpa per­hitungan nilai etis dan estetis.

Dalam dunia pakeliran kita mengenal konsep estetis yang mapan, yaitu adanya: regu, sem, nges, rengkep, tutuk, cucut dan mungkin masih banyak lagi. Sekarang ini agaknya konsep yang masih kuat itu sudah mulai dilupakan; atau paling tidak tuntutan regu, sem, nges, rengkep, greget, tutuk, cucut, dan sebagai­nya tadi intensitasnya sudah semakin tipis. Konsep itu terasa terdesak oleh satu konsep yang lebih murah; sehingga pakeliran hanya menonjolkan tontonan yang asal ramai, asal gobyog, asal lucu, dan yang sejenis dengan itu. Lama-kelamaan terasa kurang adanya keseimbangan antara perkembangan kualitas dan kuantitasnya. Kelanjutannya, hal-hal men­dalam yang pernah kita banggakan dalam pakeliran sudah digusur oleh hal-hal yang ringan, dangkal dan murahan. Alasan yang sering dipakai untuk membetengi diri, demi menuruti selera penonton; sekalipun selera yang kurang didukung oleh pemahaman atau apresiasi terhadap pakeliran.

Dampak dari larut pada selera penonton yang dangkal itu akan mengabur­kan penilaian sebagaian besar pengamat wayang. Dapat terjadi pakeliran akan merosot statusnya menjadi satu bentuk tontonan biasa¾seperti: dagelan, tayuban, akrobat, lengger, janggrungan dan sebagai­nya¾serta BUKAN SENI YANG ADILUHUNG lagi, seperti yang sering dibanggakan banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA

Feinstein (et al), Alan H.

1986 Lakon Carangan I. Surakarta: Poyek Dokumentasi lakon Carang­an ASKI Surakarta.

n. d. Lakon Carangan dalam Wayang Kulit Jawa: Suatu Tinjauan Berdasarkan Hasil Proyek Dokumentasi Lakon Carangan. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Depdikbud.

Groenendael, Victoria M. Clara van

1985 The Dalang behind the Wayang. Dordrect-Holand/ Cinnaninson-USA: Foris Publication.

1987 Wayang Theatre in Indonesia an Anotatated Bibligrapy. Dordrect-Holand/Frovidence USA: Foris Publication.

Hastanto, Sri

1988 “Pidato Pelepasan Para Wisudawan ASKI Surakarta ke-24.“ tanggal 15 Juli 1988.

Horne, Elinor Clark

1974 Javanese-English Dictionary. New Haven and London: Yale University Press.

Iyanger, KR Srinivasa

1983 Variation in Ramayana in Asia: their Cultural, Social and Anthopological Significense. Madras: Sahitya Akademy.

Kamajaya dan UJ Katijo Wp.

1966 Lampahan Bratayuda I¾V. Jogja: UP Indonesia.

Kamajaya (alih bahasa) dan Sudibyo Z. Hadisudibyo

1981 Serat Sastramiruda. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.

Kusumadilaga, KPA

1930 Serat Sastramiruda. Surakarta: De Bliksem.

Mangkunagara VII

1978 Serat Pedhalangan Ringgit Purwa I¾X. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.

Murtiyoso, Bambang

1984 “Lampahan Carangan Satleraman.” Makalah dipaparkan pada Sarasehan Dalang di ASKI Surakarta, tanggal 25 s/d 27 Juni 1984.

1988 “Kebebasan dan Keterikatan Estetis dalam Pakem Pedalang­an,” makalah dipaparkan pada Sarasehan Pedalangan yang di­selenggarakan Javanologi Surakarta bekerja sama dengan Panakawan, di Monumen Pers Nasional.

1995 “Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang,” tesis S-2/ Pasca Sarjana pada Program Studi Pengkajian Seni Per­tunjukan, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Nojowirongko al. Atmotjendono

1960 Serat Tuntunan Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi I¾V. Jogjakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawat­­an Kebudajaan, Dep. PP dan K.

1966 Serat Pedalangan Ringgit Purwa I¾III. Surakarta: CV “Maha­bharata.”

Padmosoekotjo, S.

1979-1986 Silsilah Wayang Purwa mawa Carita I¾VII. Surabaya: PT. Citrajaya.

Prawiroatmodjo

n.d. Bausastra Djawa-Indonesia. Surabaja: Express & marfiah.

Poerbotjaroko

1964 Kapustakaan Djawi. Djakarta: Djambatan.

Proohardjono, S.

1964 Serat Tuntunan Andhalang Djangkep Sinau Tanpa Guru Lampah­an “Parta Krama” utawi Dhaupipun Dewi Bratadjaja Angsal Raden Ardjuna. Surakarta: CV “Mahabharata.”

Reditanaya, Ki dan dialihtuliskan Sudibyo Z. Hadisudibyo

1978 Jaladara Rabi, Wrediningsih. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.

Sekretariat Naional Pewayangan Indonesia SENA WANGI

1983 Pathokan Pedhalangan Gagrag Banyumas. Jakarta: BP Balai Pustaka.

Soenarto Timoer dan SENA WANGI

1988 Serat Wewaton Padhalangan Jawi Wetanan I¾II. Jakarta: BP BalaiPustaka.

Sayid, RM

1958 Bauwarna Kawruh Wayang I & II. Surakarta: “Widya Duta.”

Sastroamidjojo, A. Seno-

1958 Nonton Pertundjukan Wajang-Kulit. Yogyakarta: PT Per­tjetakan Indonesia.

Siswoharsojo, Ki

1960 Pakem Lampahan Ringgit Purwa Warni-warni. Ngajogya­karta: tanpa penerbit.

1963 Pakem Padhalangan Lampahan Makutharama. Ngajogya­karta: tanpa penerbit.

1966 Pakem Padhalangan Lampahan Wahyu Purbasejati. Nga­jogya­­karta: tanpa penerbit.



[1] Makalah disampaikan pada Sarasehan Javanologi Surakarta, di Monumen Pers Nasional di Surakarta, tanggal 12 Oktober 1988.

[2] Dalam konteks tertentu kata gancaran diartikan sebagai bahasa prosa, padahal tembang jelas termasuk karya puisi.

[3] Salah satu dokumen resmi yang sangat populer di kalangan pedalangan gaya Surakarta.

[4] Kosakata yang diberi garis bawah menunjukkan perbedaan (tidak terdapat) pada Jaladara Rabi.

[5] Kosakata yang diberi garis bawah menunjukkan perbedaan (tidak terdapat) pada Sastra­miruda.

[6] Praupan adalah bentuk dan/atau posisi raut wajah wayang; paling tidak ada dua bentuk, yaitu lanyapan (mendongak) dan luruh (menunduk).

[7] Antawacana merupakan teknik penyuaraan tokoh wayang, meliputi: irama, keras lirih, tinggi rendah, lagu, dialek, diksi, dan intonasi suara.

[8] Gedebog, merupakan ajang untuk mencacakkan atau menancapkan wayang dalam suatu adegan; yang terdiri atas gedebog atas dan gedebog bawah.

[9] Dalam “Serat Sastramiruda” dikatakan: 2: suluk jingking, ginawe suluk ing wayang yen bambang metu lan pandhita, 3: suluk sedhon elayana, ginawe nyulyki angkate punakawan angiringake bambang…(Kusumadilaga 1930:60). Dengan kutipan ini semacam ada perubahan/ perbedaan pakem di kalangan keraton sendiri, antara zaman Kusumadilaga dengan sesudahnya (Padhasuka maupun PDMN).

1 komentar:

  1. Mohon maaf bapak.... Apakah saya bisa meminta kontak person bapak.... Saya ingin berdiskusi dengan bapak.... Saya mahasiswi sejarah UNESA yang ingin melakukan penelitian tentang pendidikan dalang padhasuka, mungkin bapak punya sedikit informasi

    BalasHapus